7. Jelous

1199 Words
Raka pov "Stop! gue capek!" Saat ini aku dan Gio sedang bermain basket. Gio mungkin kesal dengan caraku bermain. Pasalnya aku seperti orang yang sedang kesurupan. Aku tidak mengindahkan permintaan Gio yang memang menolak permintaanku untuk bermain. Selain karena ia sedang ada masalah dengan kekasihnya Selli yang cemburu pada Nana. Permainan ku ini memang agak sableng kalau dilihat - lihat. Aku memukul atau pun menendang kakinya Gio, hanya karena laki-laki itu yang menurutku kurang cepat merebut bola dariku. Saat ini aku butuh lawan yang lebih emosi dari pada diriku. Aku ingin menghabiskan tenagaku. Dan satu lagi, aku sedang tidak mengerti dengan emosiku yang tiba-tiba meledak seperti ini. "Gue rasa, lo gila!" Bentak nya lagi, ketika aku menendang tulang keringnya. Dia geleng-geleng kepala terlihat tidak habis pikir melihatku. "Lo lemah banget sih, gitu aja lo gak becus. Katanya anak basket!" sindirku, percayalah aku memang sengaja mengatakan itu. Aku benar-benar sedang ingin bertengkar dengannya. "Orang kuat itu, bukan berarti biasanya meledak-ledak kaya lo! Orang bisa di bilang kuat, kalau dia bisa tenang saat lo ada masalah!" Aku tidak tahu kenapa Gio berbicara seperti itu. Apakah dia tidak tahu kalau aku sedang emosi. Apakah dia ingin melihatku memukulnya? "Emang lo pernah tenang kalau ada masalah? lo juga pernah saling pukul sama Anji. Iyakan? enggak udah munafik deh lo!" Dia terlihat tersenyum kecil. "Gue yakin, lo lagi gak sehat. Coba bilang sama gue, lo kenapa?" Dia duduk di sisi lapangan, dengan diriku yang perlahan ikut duduk di sampingnya dengan napas yang tidak beraturan. "Gue pengin putus dari Cantika!" Dia yang sedang menatap ke arah sisi lapangan, tiba-tiba menatapku dengan cepat. "Maksud lo?" Apa dia kurang mengerti dengan apa yang aku katakan. Kalau aku memang ingin memutuskan Cantika. Kenapa dia harus bertanya segala, apa dia tidak pernah memutuskan seorang gadis? "Lo gak b***k kan? ulangku. Dia tersenyum kecil. "Ini cewek yang keberapa yang lo putusin? maksud gue, sekarang alasannya gara-gara apa lo pengin mutusin dia?" Sebenarnya aku pun tidak mengerti kenapa ingin memuruskan Cantika. Hanya saja, aku merasa kalau dia tidak cukup bisa untuk menyaingi Nana. Maksudku ... "Kalau lo emang gak suka sama si Cantika, kenapa juga lo mau jadiin dia pacar lo." Aku sendiri bingung pada diriku sendiri. Hanya saja, perasaanku semakin kacau dengan keadaanku saat ini. Dengan kedekatanku dengan Nana. Aku tidak ingin terbawa perasaan, tapi mengatakan perasaan pun bukanlah hal yang bijak. Aku tidak ingin Nana menjauhiku. "Ya kan, gue pikir, dia bakal cocok untuk gue. Tapi setelah ke sini, ke sini lagi, gue jadi ngerasa agak kurang srek." Gio berdecak. "Lo gak boleh lah, mainin cewek terus. Nyakitin mereka terus, gak punya hati lo!" Dih, emangnya dia sendiri punya hati? Selama ini, dia sendiri sama saja. Pacaran sana-sini tapi enggak ada yang bener-bener ia pertahanin. Selalu saja ada yang kurang, selalu saja ada yang enggak srek. Apa bedanya denganku? "Emang lo punya hati?" tanyaku padanya, membuat Gio menatapku tajam. "Setidaknya gue gak pernah bawa-bawa Nana. Gue gak pernah putusin cewek, dan Nana sebagai tameng. Gue gak suka kalau para cewek-cewek itu bully dia." Aku mendengus, "Lalu kenapa si Sheli harus cemburu gara-gara lo deket sama Nana? Gue denger, si Shelii marah gara-gara lihat lo deket sama Nana. Kapan lo deket sama Nana di depan cewek lo?" "Itu gue gak sengaja ketemu Nana kemarin. Bukan sengaja kaya lo!" "Gue punya alesan, kenapa sampai bikin Nana kaya gitu," "Alasan lo gak jelas! Itu sama aja dengan lo yang mau nyakitin Nana!" Entah kenapa aku tidak suka mendengar kalimat itu. Aku tidak pernah ingin menyakiti Nana. Dia akan selalu gue jaga."Gue enggak pernah nyakitin Nana ya, lo jangan sembarangan!" Aku tiba-tiba menarik kedua kerah bajunya. Aku tidak mengerti, kenapa aku semarah ini hanya karena Gio mengatakan kalau aku telah menyakitinya. Aku merasa tidak pernah menyakitinya. Justru Nana yang tidak pernah mengerti dengan perasaanku. Dia tidak pernah peka dengan usaha yang aku lakukan selama ini. "Wait! Wait! Kenapa lo marah sama gue? Benerkan apa yang gue omongin, lo udah nyakitin Nana. Lo udah biarin para cewek-cewek itu bully dia. Apa gue salah?" "Cewek-cewek itu sudah gue putusin! Gue udah gak peduli sama mereka gara-gara mereka bully Nana!" "Dan lo sekarang mau mutusin Cantika! Apa lo sehat?" "Enggak ada urusannya sama Nana! Gue mau mutusin dia, karena gue emang udah gak nyaman. Lo enggak usah ikut campur!" "Gue bukan ikut campur! Kalau lo mutusin si Cantika. Itu sama saja dengan lo yang ngasih jalan agar si cantika bully si Nana! Masa gitu aja lo gak faham!?" Ada apa dengan diriku, aku sungguh tidak senang dengan bentakan Gio. Sekalipun apa yang sedang ia katakan saat ini adalah sebuah kebenaran. Tiba-tiba saja aku menonjok Gio. Dan Gio tentu saja tidak terima dengan perlakuan ku ini. Hingga ia pun membalas perlakuanku. Pada akhirnya kami jadi saling menonjok. Hal ini membuat keadaan di sisi lapangan menjadi berisik. Anak-anak perempuan berbisik-bisik. Dan entah berapa menit kami berdua bergelut di sana, kala teriakan seseorang yang aku kenal berada dekat di sampingku. Teriakan seseorang yang selalu membuatku dan Gio kalah meski hanya dengan tatapan tajamnya saja. Nana berdiri di sana menatapku dan Gio secara bergantian. Gio meringis, begitu juga dengan diriku. Lalu tidak lama kemudian kami berdua mendapatkan jeweran yang sangat kuat. Kami di giring ke arah UKS secara bersamaan. "Na ... udah dong, sakit nih, telinga gue. Yang salah itu si Raka, bukan gue." adu Gio. Dia melirik padaku. Kami sampai di UKS, Nana duduk di antara aku dan Raka. Dia tidak biacara, tapi tatapannya seram sekali. "Harusnya gue enggak usah dateng! biar Pak Djoko aja yang langsung bawa kalian ke ruang BK!" Dia mengobati luka yang ada di rahangku. Dan entah kenapa, aku hanya bisa diam. Saat Nana menarik telingaku kuat, dan bicara pedas. Tidak seperti Gio yang balik ngomel dan merasa tidak terima. Meski pada akhirnya, Nana tetap kembali memukul laki-laki itu karena perlawanannya itu. "Ampun lah Na ... gue gak salah. Yang salah itu dia!" rutuk Gio lagi. "Kalian sama saja, Kalian mestinya dihukum dengan membersihkan semua kelas yang ada di mutiara ini! kerjaan kalian bikin gue kesel! Kaya anak kecil banget!" Lihat, dia mendorong keningnya Gio kuat sekali. Sehingga laki-laki itu terjengkal ke arah belakang dengan mengaduh. Selesai urusannya dengan Gio, dia menatap tajam padaku. Lalu mengobati rahangku dengan geleng-geleng kepala terlihat pusing. "Seharusnya si Cantika yang ada di sini, kenapa harus gue? " ucapnya kesal. "Bener tuh Na, punya pacar gak ada gunanya banget!" sambung Gio, dia tiduran di atas kasur UKS. Aku hanya memutar kedua bola mataku jengah. Sesekali tatapan kami bertemu, tatapan Nana yang tajam padaku. Dan diriku yang entahlah seperti apa menurutnya tatapanku ini. Tapi ... hari ini aku senang dia perhatikan. Dia mengurusku lebih lembut dari pada dengan Gio. Mungkin karena aku tidak mengomel seperti yang dilakukan Gio. Selesai, Nana mengakhiri aktivitasnya. Dia menatap padaku dan Gio secara bergantian. "Gue mau ke kelas, awas aja kalau kalian berulah lagi. Kalau mau mati, mati aja. Gak usah bikin gue kesel!" Dia memang sesadis itu, namun entah kenapa hal itu malah membuatku tersenyum tanpa bisa kuhindari. Nana sudah keluar dari ruang UKS, meninggalkan aku dan Gio yang masih merasa nyut-nyutan dengan luka kami masing-masing. "Gue tahu apa penyebab lo mutusin banyak cewek! Aku melirik Gio. "Apa?" Dia tersenyum kecil. "Lo suka Nana kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD