8. Penurut

1916 Words
Nana POV. Aku gak tahu ada apa dengan Raka, dan di sini aku merasa tidak salah sama sekali. Dia mengabaikanku, juga tidak menjemputku untuk berangkat bersama. Walau aku tahu, sejak Raka punya pacar, dia memang tidak lagi datang ke rumahku. Aku sungguh tidak berharap Raka selalu ada untukku. Tapi sikapnya yang mendadak diam dan cuek itu membuatku merasa terganggu. "Cieee ... boneka baru! Dari Mamahnya Raka ya?" tanya Lani, dia sedang memeluk boneka yang diberikan Tante Fania waktu itu. Aku melirik sekilas pada boneka itu, dan mengangguk pelan. Lalu kembali pada PR yang belum aku kerjakan. Lani sepertinya sudah mengerjakan PRnya. Sehingga saat ini gadis itu sedang santai tiduran di atas ranjangku. Ah,ya. Lani ini, dia memang selalu menginap di rumahku pada setiap malam minggu seperti sekarang. Biasalah, kami yang para jomblo ini, lebih suka memilih untuk berada di rumah, ketimbang harus keluyuran tidak jelas di luaran sana. "Gue jadi curiga, kalau Tante Fania memang ada niat buat jodohin lo sama dia." Mendadak tanganku terhenti beraktivitas. Aku menoleh pada Lani yang sedang berguling ke sana ke mari dengan boneka empuk berwarna pink itu. "Tante Fania pengin lo jadi mantunya!" tambah Lani lagi. Aku hanya terdiam dan memicingkan kedua mataku padanya. "Si Raka itu udah punya pacar, mana mau dia di jodohin sama gue!" Ya ... kalian tahu sendiri seperti apa type pacarnya Raka itu. Harus cantik, sexy, pinter, menarik, terkenal, dan segudang hal yang menarik lainnya. Dari semua mantannya Raka. Yang aku tahu, Raka memang sangat pemilih saat mencari pacar. Lihat saja contohnya, Jessy, dia anak kelas Tekhnologi informatika. Dia mempunyai prestasi yang terbaik di kelasnya. Dia juga juara saat melakukan rakitan komputer sekabupaten di Kotaku. Pokoknya Jessi ini sesosok cewek cantik dengan segudang prestasi. Jadi wajar kalau Raka memilih dia sebagai pacar. Meski ya ... pada akhirnya mereka tetap memilih putus. Yang kedua, Karin, dia anak Sekretaris 2 kelas sebelas. Dia adalah salah satu juara bahasa inggris antar anak sekretaris, dia sangat cantik dan mmm ... body goals. Dan yang aku tahu, pada saat Raka nembak Karin, gadis itu sedang pacaran dengan teman sekelasnya. Namun Karin tetap memilih Raka, karena ya ... bisa aku akui kalau si b******k itu memang mempunyai wajah yang ya ... bisa dibilang mematikan untuk para cewek. AKU ENGGAK YA! TOLONG KALIAN JANGAN SAMAKAN AKU DENGAN PARA GADIS BODOH ITU! Kemudian aku tidak ingat lagi gadis yang mana lagi setelah kedua gadis yang hebat itu. Karena kata Raka, selain kedua gadis itu. Masih banyak gadis dari SMA sekolah lain yang menjadi pacarnya tanpa sepengetahuanku. Ya ... lagi-lagi aku hanya bisa geleng-geleng kepala pada semua tingkah gila sahabtku itu. Semoga saja gue gak kebagian karmanya! Amiinnn ... "Dan si gila itu bakal mutusin ceweknya hanya karena mereka larang buat deket sama lo! Apa coba, si Raka kalau bukan suka sama lo!" Dan untuk alasan yang satu itu rasanya tidak mungkin. Raka memutuskan mereka bukan karena ia suka sama aku. Tapi karena dia memang enggak bisa jauh dariku. Dia butuh bantuanku untuk mengurus semua keperluannya, dari mulai makanan, sekolah, dan bahkan sampai ia tidur. Raka masih saja tetap bergantung padaku. Itu memang terjadi sejak kami sama-sama sekolah TK. Intinya setelah Om Hardiawan menceraikan Tante Fania. Kami sedang asik mengobrol, ketika ketukan dari luar terdengar. Aku membuka pintu dan mendapati Mamah di sana. "Eh Mamah?" Beliau tersenyum dan mengusap puncak kepalaku. "Ada Raka dan temen-temen kamu yang lainnya di bawah!" Untuk apa anak itu ke sini? Apa dia tidak pergi malam mingguan dengan Cantika? "Iya, Mah. Nanti Nana sama Lani turun ke bawah." Mamah mengangguk dan tersenyum. "Mamah sama Papah mau makan di luar, kamu mau pesen apa?" ah, kedua orang tuaku yang sangat romantis ini memang selalu membuatku iri saja. Aku menggeleng pelan. "Enggak usah Mah, cepet pulang aja. Biar anak-anak gak lama mainnya di sini." Raka, Gio, dan Daffa. Kalau tidak dusir sama Papa dan Mamah, mereka pasti pulangnya seenaknya. Mamah terkekeh. "Iya deh, Mamah berangkat dulu ya ... " Mamah pun pergi bersama Papah. Sedangkan aku turun ke bawah menemui teman-temanku. *** "Anjir! Harga bensin naik, gue tadinya gak mu ikut ke sini! kalau enggak diajak si Gio!" Kalian pasti tahu itu suara siapa. Manusia pelit dengan segala hal menyebalkannya. Siapa lagi kalau dia bukan Daffa. "Iya, gue sedih sama hidup lo. Sukanya gratisan mulu. Gue yakin, kalau gitu terus hidup lo. Lo gak akan punya cewek!" Dan itu suaranya Gio. "Cewekmah gampang! Nih sekarang gue bakal nabung banyak-banyak. Nanti kalau sudah terkumpul, gue bakal beli restoran, terus punya usaha. Cewek, kalau ada cowok yang kerennya biasa kaya gue, tapi duitnya banyak. Cowok ganteng kaya Raka mah kalah, kalau gak ada duitnya!" Aku terkekeh, Daffa ini memang satu-satunya temanku yang luar biasa. Mana mau dia ngeluarin uang untuk hal-hal yang enggak guna seperti yang dilakukan Raka dan Gio. Terutama yang ada hubungannya dengan perempuan. Aku kadang salut sama bocah yang satu itu. Meski kadang aku kesal dengan sikap gratisannya yang tidak tahu malu itu. "Aduh! sakit lah Na!" teriak Daffa, kalian tahu lah apa yang aku lakukan padanya. Aku sangat gemas pada sikap gratisannya itu. Sehingga aku selalu menjitak kepalanya kalau bertemu. "Lo kalau ke rumah gue, harus bawa oleh-oleh. Jangan cuma modal gratisan doang!" ucapku menyindir Daffa tentu saja. "Nah, dengerin tuh. Jadi cowok harus modal dikit!" sambung Lani, setelah ikut menjitak kepalanya Daffa seperti diriku. Dan sekali lagi membuat Daffa harus meringis kesal padaku dan Lani. Daffa mengacungkan jempolnya padaku dan Lani. Sedangkan Raka, laki-laki itu sepertinya sedang sakit gigi. Karena dia diam saja. Aku melirik padanya. "Lo kenapa ke sini?" tanyaku. Raka mengerjap beberapa saat. "Kenapa emangnya gak boleh?" jawabnya datar. Aku hanya menggeleng saja. "Ya enggak, kan lo punya pacar, kenapa gak malam mingguan sama pacar lo? "Gio juga punya pacar, tapi dia ke sini tuh," sindir Raka pada Gio. Dan membuatku menoleh pada laki-laki itu. "Iya, entar si Selli marah lagi sama gue!" Gio mengerucutkan kedua bibirnya. "Kan gue lagi bosen sama pacar, mending gini, kumpul sama temen. Kan seru tuh, bener gak Daff?" "Bener, kalau sama pacar, kita meski ngeluarin duit. Kalau datang kerumahnya Nana. Kita gak perlu ngeluarin du-- Huaaa!" Jitakan Lani membuat laki-laki itu berteriak kesakitan. Dia mengusap kepalanya yang terasa sakit. "Sakit! Lani gila!" Aku terkekeh, Lani menatap tajam pada Daffa. "Denger ya ... laki-laki kaya lo itu gak bakalan punya cewek seumur hidup! Jadi, lo bakal jomblo seumur hidup! Mati sana lo!" Lani mendorong Daffa ke lantai, sampai laki-laki itu terjerembap. Membuatku tergelak karena tidak tahan menahan kegilaan mereka. Gio mensyukur-syukuri tingkah lani. Ia sepertinya juga gemas pada Daffa. Namun entah kenapa mahluk yang bernama Raka itu tetap diam dan aku menemukan dirinya tengah menatapku, membuatku bingung karena jantungku jadi berdegup tidak karuan. "Lo mau minum apa?" aku bertanya pada Raka, karena dia diam terus. Aku pikir, mungkin dia sedang ada masalah. Raka akan bersikap seperti itu kalau dia sedang ada masalah. Atau dia sedang kangen pada Ayahnya. Raka menggeleng. "Tante Dyra dan Om Dewa pada pergi nge-date ya?" tanya nya. Aku tersenyum malu. Aku selalu di ledek oleh semua temanku tentang kedua orang tuaku yang selalu bertingkah seolah mereka adalah anak yang masih remaja dan menginjak pertama kali pacaran. Mereka sering keluar berdua dan membuat kami para jomblo sangat iri. "Gue iri sama Om Dewa, terus aja pacaran. Lagian, Tante Dyra itu tetep aja keliatan cantik meski udah punya lo!" Daffa menunjuk ku, dan membuatku hanya memutar kedua mataku jengah. "Andai aja, nyokap lo janda. Gue pasti mau nikahi beliau, setidaknya harta beliau banyak. Jadi gue gak perlu ngeluarin du---Huaaaa!" Kali ini aku yang menarik telinganya kuat sekali. Raka dan Gio meringis melihat telinga Daffa yang sepertinya akan lepas. Mereka berdua memang sudah merasakan bagaimana sakitnya jeweran dariku. Gio dan Raka sepertinya trauma dengan kekejaman tanganku itu. "Na, ampun Na! Ya Allah!" "Lo doain bokap gue mati!" aku semakin menarik telinganya kuat, dan membuat teriakan Daffa semakin menajadi. "Huaaa! sakit! Woy! tolongin gue!" Daffa meminta pertolongan pada Gio dan Raka. yang sayangnya hanya dihadiahi kedua cowok itu dengan sebuah ringisan ngeri saja. Tidak tahu saja, kalau kedua laki-laki itu sudah merasakan jeweranku. "Bunuh aja Na! Gue rela!" lani mengompori. "Lo terima nasib Daff. Telinga lo bakal hilang satu!" ujar Gio, membuat Raka tergelak, dan Daffa memeluk kedua kakiku. "Ampun Na ... gue bakal traktir lo makan sate! Jadi udah ya ... kasihan telinga gue. Para cewek bakal ilfil sama gue, kalau sampai telinga gue ilang satu!" "Gak apa-apa Daf, lo bakal jadi sakti kalau hilang satu telinga lo. Lo inget gak si Rawing, dia itu sakti gara-gara ilang satu telinganya. Siapa tahu lo juga bakal sakti, bisa terbang, gara-gara telinga lo ilang!" Aku mengulum senyumku ingin tergelak sebenarnya. Kalian mungkin tidak tahu siapa si Rawing itu. Dia adalah salah satu nama tokoh di cerita sunda yang katanya telinganya hanya ada satu. Dia Rawing namanya. Tapi jangan salah, pendekar yang bernama Rawing ini sangat sakti dan bisa mengalahkan banyak musuhnya. "Iya, Daff. Nanti kalau lo pengin sekolah gak perlu bawa motor dan habisin banyak uang. Lo cuma perlu terbang ala-ala si Rawing!"sahut Raka, semakin menambah daftar panjang ketakutan yang dirasakan Daffa. Dia mememeluk kedua kakiku erat sekali. (Dalam bahasa sunda, rawing itu sebutan untuk seseorang yang telinganya hilang. Jadi, orang yang tidak punya telinga. Dalam bahasa sunda, disebut rawing. Makanya lahirlah cerita si Rawing dalam dongeng Sunda.) "Na ... udah ya ... gue bakal kabulin apa aja keinginan lo. Asal lepasin telinga gue." sudah merasa puas, akupun melepaskan telinganya. Daffa menjatuhkan diri ke atas sopa, dan kakinya ia tumpangkan ke atas pahanya Gio dan Raka yang kebetulan duduk berdampingan. Yang di respon kedua laki-laki itu dengan gelengan kepala. "Na, si Daffa janji mau traktir lo sate! Ayo Na, jangan sia-siakan kesempatan ini. Kapan lagi lo bisa peras duitnya!" kalimat Lani, membuatku ingat pada janjinya Daffa. Hingga aku pun tersenyum setan. "Sekarang lo pergi dan beli sate!" Aku menatap tajam Daffa, dan menunjuk ke arah pintu. "Gue mau satenya banyak. Jangan cuma dua puluh tusuk. Gue mau lima puluh tusuk!" "Sekalian aja dua ratus tusuk lah Na!" kesal Daffa. Hal itu membuat Gio dan Raka tergelak untuk kesekian kalinya. Kebaikan mereka berdua, tetap membiarkan kedua kakinya Daffa di atas pahanya. Aku menatapnya datar. "Gue itu orangnya baik, lo gak perlu beliin gue dua ratus tusuk, karena gue bukan sundel bolong! Lo cukup beliin gue lima puluh tusuk aja!" kataku. Daffa beranjak dan berjalan ke arah pintu. Namun kedua langkahnya terhenti, kala melihat siapa yang ada di depan pintu. Aku kaget, karena tidak pernah mengundang Kak Anji untuk datang ke rumah. "Wah!Wah!Wah! Ada Kak Anji, ada apa nih? mau nge date sama Nana ya? wah ... asik, gue gak perlu beli sate nih, Kak Anji, si Nana mau sate tuh, beliin gih," Astaga! anak itu mulutnya! Dengan tergesa aku segera berjalan ke arah pintu dan kembali menarik telinganya Daffa. "Lo pergi, atau telinga lo gue goreng sekarang!?" Daffa meringis lagi. "Ampun Na ... gue pergi, iya ..." dia segera pergi, dan meninggalkan kami semua dengan berlari terbirit-b***t. Aku menatap Kak Anji. "Eh, ada apa Kak?" Dia melirik ke dalam di mana ada Raka, Gio dan Lani. "Lagi banyakan ternyata?" tanya nya. Aku mengangguk, "Kami emang lagi pada kumpul Kak." Dia mengangguk, "Tadinya aku mau ajak kamu keluar." Aku terdiam, aku melirik ke arah Raka yang tiba-tiba datang dan berada diantara kami. "Nana gak boleh keluar! Karena Tante Dyra dan Om Dewa sudah bilang sama gue! Kalau Nana gak boleh pergi sama cowok!" Aku tidak tahu kapan Mamah dan Papah mengatakan itu. Tapi kalau Raka sudah berkata seperti itu. Apa yang bisa aku lakukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD