9. Musuh Baru

1215 Words
Raka POV. Aku tahu, ini bukanlah hakku melarangnya pergi dengan laki-laki lain. Tapi entah kenapa aku sungguh tidak senang melihat Nana akan pergi dengan laki-laki lain, selain aku dan Gio. Aku tidak pernah keberatan kalau Nana pergi bersama Gio, entah kenapa perasaanku mengatakan kalau Nana akan aman saat pergi bersama Gio. Nana mempersilahkan Kak Anji masuk ke dalam rumah. Dari pada dia pergi dengan laki-laki lain. Aku tidak apa-apa si Anj**ng itu berada di sini. Minimal aku bisa melihat apa saja yang mereka lakukan. Maksud aku, aku tahu kalau Nana itu tidak akan macam-macam, tapi si Anji ini cukup harus diperhatikan dengan sangat ketat saat berhadapan dengan Nanaku. Anji duduk di sopa yang behadapan dengan kami. Aku dan Gio duduk dengan bersandar pada sopa, lalu bermain ponsel. Nana masuk ke dapur dan Lani untuk mengambil air. s**l saja, aku tidak suka melihat Nana begitu repot harus mempersiapkan suguhan untuk laki-laki menyebalkan itu. "Tahu dari mana rumahnya Nana?" tanya Gio pada Anji. Aku sih, sangat malas berinteraksi dengannya. Kalau Gio, meski dia sangat marah pada lelaki yang sok kegantengan di depan kami ini. Gio tetap mau berinteraksi dengan Anji. Kalian bisa bayangkan, perempuan yang kalian sukai direbut Anji dan pada akhirnya dicampakan begitu saja. Anji bukan hanya telah melukai hatinya Gio. Tapi dia pun telah menyakiti hatinya cewek yang disayangi Gio. Kalau aku jadi Gio, aku enggak akan pernah mau bertemu lagi sama jenis manusia seperti Anji. Jangankan berinteraksi, bahkan bertemu kami saling melempar tatapan pun aku merasa najis. "Aku nyari di Tata usaha!" jawabnya. Ah, iya. Anji ini memang bahasa aku-kamu. Dia memang agak sopan kalau dalam bahasa, tapi tingkah lakunya sama saja denganku. Entah kenapa aku sangat kesal pada sikap sok baiknya itu. intinya, AKU BENCI ANJI***! ok Anji. Gio menatapnya sekilas. "Ngapain nyari alamatnya Nana?" Duh, Gio kamu itu kenapa mendadak jadi polisi sih? "Karena aku memang ingin berteman dekat dengan Nana!" Wait! Siapa yang menyuruhnya memanggil Nana! Gio terkekeh. "Lo ngapain manggil Nana? Lo tahu gak, yang boleh manggil Nana itu cuma kami berdua. Lo siapa? Lo panggil aja Reina, jangan macem-macem!" Anji terlihat datar saja. "Memangnya kenapa kalau aku manggil Nana? dia juga temenku, kami--" "Dia temen gue! sejak kapan jadi temen lo? Eh, kejadian bola kasti itu, meski nya lo lupain aja. Jangan anggap gara-gara peristiwa itu, lo sok-sokan deket sama Nana! Inget ya, Nana itu cuma temen kami!" Bagus Gio! Biar lelaki yang sok kegantengan itu tidak harus terlalu percaya diri. Aku sungguh ingin menyumpal mulutnya dengan kaos kaki setelah seminggu tidak pernah di cuci. Mereka berdua terus saja berdebat. Sampai Nana dan Lani datang membawa minuman dan cemilan. Gio lebih dulu mengambil cemilan itu dan dijauhkan dari Anji. "Kalau mau makan cemilan, mendingan beli sendiri. Ini buat gue aja!" Aku tahu, Gio hanya menyindir Anji. Namun aku juga kesal karena belum mengambil kue itu. Aku pun merebutnya dari Gio, membuat Nana berdecak kesal. "Awas aja kalau wadahnya jatuh!" ancam Nana pada kami berdua. "Silahkan diminum Kak, maaf seadanya." Suara Nana yang ramah pada Anji, menyedot perhatian kami berdua. Aku dan Gio mengehntikan tingkah kami. Aku segera mendekat ke arah Nana Dan sengaja tidur di pahanya. Membuat Nana berdecak, namun tidak menyingkirkan kepalaku dari pahanya. Dia mengambil ponsel dan sepertinya membaca cerita w*****d yang ia sukai. Tentu saja ceritanya Entilee yang dia sukai. "Erlangga ini posesif banget, gue kayanya enggak betah kalau jadi Qiana," ucap Nana pada Lani. "Eh, justru gue seneng kalau jadi Qiana, gue berasa jadi cewek istimewa!" Lani terdengar menggebu-gebu. "Berarti lo seneng punya cowok posesif, si Daffa posesif tuh kayanya kalau punya cewek!" celetuk Gio, membuat Lani menepak kepalanya. "Najing aing!" (aku) Aku tergelak, dan memeluk pinggang Nana kuat sekali. Membuat Nana menarik telingaku kuat. Dan aku tahu pada saat itu Anji menatap tidak suka pada kelakuan gila ku ini. Dia tidak tahu saja, kalau Nana akan selalu mementingkan ku ketimbang siapa pun yang ada di sini. "Lo bangun lah! Gue lagi baca juga!" kesal Nana. Tapi aku tidak menghiraukannya. Aku mengambil cemilan dan menggigitnya. "Ini buatan lo atau Tante Dyra?" tanyaku. "Gue sama Mama," jawab Nana. "Kamu pinter bikin kue ya ... rasanya enak." Anji ikut menimbrung. Aku rasa, dia mulai merasa diabaikan oleh Nana. "Ah, enggak juga. Gue cuma lagi pengin aja, itu juga mamah yang maksa nemenin bikin kukis," ucap Nana. Aku mengarahkan kukis yang aku makan sepotong pada mulutnya Nana. "Cobain deh, rasanya enak!" lihat saja, si Anji menatap pada kami dengan delikannya. Nana yang memang sudah biasa berinteraksi denganku seperti ini. Membuka mulutnya dan menerima suapanku. "Hmmm ... " Dia bergumam dengan kedua matanya yang masih tertuju pada ponselnya. "Kapan-kapan, boleh gak aku diajarin bikin kukis. Aku mau bikin di rumah, biar kalau mau cemilan kau enggak perlu beli." Anji sepertinya tidak mau kalah dariku. "Nyari saja di google, itu lebih gampang ko," aku yang menjawab lebih dulu. Karena Nana aku suapi kukis bekasku lebih banyak. Sehingga gadis itu tidak bisa menjawab pertanyaan Anji, dan memakan kukis itu. Meski sebelah tangannya bergerilya di telinga. Rasanya sakit sekali, tapi aku puas, melihat wajah Anji yang memerah karena jawabanku itu. Aku sarankan saja, jangan macem-macem sama Nana. Dia banyak pawangnya. "Boleh ko kak, nanti kapan-kapan ya ..." Si Nana ini memang kelewat baik. Aku mendengus kesal. "Lemah, bikin kukis aja gak bisa!" kesalku. "Emang kamu bisa?" tanya Anji padaku. "Bisa lah, kan ada di google. Jaman sekarang tuh mau belajar apa aja gak perlu ngeribetin orang lain. Kita bisa belajar sendiri secara otodidak! "Tapi biasanya kalau belajar langsung dengan ahlinya akan semakin bagus hasilnya!" Anji berkata. "Ya kalau gitu, lo cari guru aja! Kan gampang!" "Buat apa nyari guru yang lain, kalau yang berbakat ada di depan mata!" "Buat apa ngerepotin orang! kalau lo bisa lihat di Google!" "Buat apa lihat di google, kalau dengan ahlinya hasilnya lebih bagus!" "Buat apa--" "Nana! Yuhuuu! Abang bawa sate!" Suara Daffa yang nyelengking, membuat perdebatan kami berakhir. Nana tanpa basa-basi berdiri, membuat aku jatuh ke lantai, dengan Anji yang menahan senyumnya cih, sok manis. Dan Gio juga Lani tergelak mengejekku. Awas saja, mereka akan aku balas. "Maaacih ..." Nana mengambil sate itu dan segera membawanya ke dapur. Daffa berjalan ke arah ku dan menjatuhkan diri di sopa. "s**l, duit gue abis!" dia menggerutu, yang tentu saja tidak bisa ia lakukan di depan Nana. Karena ia tahu apa konsekuensinya. Aku terkekeh, begitu juga Gio dan Lani. Kami sungguh menikmati penderitaan Daffa saat ini. "Kamu beliin Nana sate? Berapa? biar saya ganti uangnya?" Sialan Anji! Siapa dia yang mau menggantikan uangnya Daffa. Aku sungguh berharap kalau Daffa menolak tawarannya lelaki busuk itu. "Wah! Beneran Nih, lo mau ganti duit gue?" Anji mengangguk. "Iya, biar aku ganti." Sial! Si Daffa memang kurang ajar. "Ok, sini lima puluh ribu!" Daffa menengadahkan tangannya pada Anji. Membuat Anji mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Uang berwarna merah, yang tentu saja membuat si mata duitan Daffa langsung hendak mengambilnya. Namun tentu saja itu gak akan aku biarkan. Aku menepak tangannya Daffa, dan memberikan uangku padanya. "Pake duit gue aja. Gue masih mampu ko, buat jajanin Nana!" Aku berhasil meletakan uang berwarna merah ditangan Daffa, dan membuat Anji menatap padaku dengan tidak suka. "Jangan mentang-mentang banyak duit, lo mau beli temen gue! Asal lo tahu, Nana gak butuh apa pun dari lo!" Anji tidak bicara, namun aku tahu mulai saat ini Anji adalah musuhku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD