10. Tidak Boleh Ada Laki Laki Lain.

1450 Words
RAKA POV. Aku dan Gio sedang berjalan di koridor, namun sebelum kami sampai ke kelas. Kami mendengarkan seseorang mengobrol di balik dinding yang menghubungkan ke toilet. "Makanya! Lo tuh jangan lengah, dia cewek gatel. hati-hati, si Gio pasti bakal diambil sama si Reina itu!" "Lo masa gak lupa, kalau si Raka aja diambil sama dia!" "Iya, pacar gue diambil sama si Reina! Lo tahulah, gimana liciknya dia. Dia deketin si Raka dengan mengatas namakan sebuah persahabatan. Tidak tahu saja, kalau tuh cewek emang suka sama cowok gue!" "Gue lebih kesel lagi, masa cowok yang lagi gue incer udah diembat si Reina." "Siapa?" "Kak Anji, dia itu gak pernah ramah sama cewek. Tapi gara-gara si Reina gatel itu, Kak Anji jadi ramah sama dia, bahkan lupa kalau gue yang selalu deketin dia sejak awal." "Nah, bner Sel. Lo harus waspada, si Gio itu deket banget sama si Reina. Bisa saja tuh cowok malah mutusin lo gara-gara dia." "Kalian berdua mendingan diem deh, Gio gak mungkin ninggalin gue cuma buat tuh cewek." "Lo gak percaya sama gue?" "Bukan gitu, kalau kalian bilang si Gio bakal ninggalin gue gara-gara tuh cewek. Sama aja dengan kalian yang lebih percaya sama pesonanya cewek itu ketimbang gue. Kalian tahulah gue sama Reina itu cantikan siapa, makanya Gio mau sama gue." "Iya, kita tahulah itu. Lo gak perlu khawatir. Tapi yang jadi masalah si Gio lebih sering sama tuh cewek ketimbang sama lo iyakan? Dan lo bayangin aja pas malam minggu kemarin, dia malah dateng ke rumahnya si Reina ketimbang datang ke rumah lo." "Tapikan dia dateng gak sendiri, ada temen-temennya juga katanya." "Itu alesan dia doang. Mana ada, maling yang ngaku." "Iya bener tuh Sel, di mana-mana gak mungkin maling mau ngakuin kesalahannya." Percakapan mereka terus berlangsung, Gio terdengar mendengus lelah. Aku tahu siapa suara ketiga perempuan itu. Mereka Selli pacarnya Gio, lalu Jessi mantanku, kemudian satu temannya Jessi kalau tidak salah namanya Anita. Gio menatap padaku seolah sedang meminta persetujuan. Dan aku untuk saat ini masih belum bisa memutuskan apa-apa. Ini adalah masalah Gio, jadi biarkan saja dia yang menyelesaikannya. Melihat ekspresiku yang hanya mengangkat kedua bahuku masa bodo. Gio pun mendekat ke arah mereka bertiga. "Ada apa ya?" tanya Gio, aku masih berdiri di tempatku. Meski tidak melihat interaksi mereka. AKu bisa mendengarkan percakapan mereka. "Gio, kamu di sini?" Dia Sheli. "Kamu gak perlu dengerin mereka. Aku cuma sayang sama kamu." Aku tersenyum, si Playboy itu mulai sedang menjalankan aksinya. Ah, dia memang tidak jauh gilanya denganku. Jadi aku tidak bisa menyalahkan atau pun menghakiminya. Gio memang masih belum move on dari mantan pacarnya yang direbut Anji itu. "Benerkan? kamu gak kaya yang diomongin mereka?" Selli terdengar merajuk. Dan aku tahu, jika ada seorang gadis yang merajuk padanya. Maka Gio akan mengusap kepalanya dan mengecup keningnya. DASAR BUAYA! "Enggak lah sayang. Kamu tahukan, kamu sama Reina itu cantikan kamu. Jadi tentu saja aku bakal milih kamu!" Sial saja kamu Gio, karena ketika kalimat itu meluncur dari mulutnya. Reina tepat berada di sampingku. Aku hanya bisa meringis tanpa bisa memberitahukan pada Gio tentang kehadirannya, karena aku tahu apa yang akan dilakukan gadis itu pada Gio. Siap-siap saja, Gio kehilangan sebelah telinganya. "Hay Nana sayang ..." aku mengacungkan kedua jemari ku dengan berbentuk peace. Dan Nana hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian pergi begitu saja meninggalkanku. Semoga aku tidak harus kena hukuman seperti Gio. Sesampainya di kelas, Nana sama sekali tidak memperlihatkan sikap marahnya pada Gio dan aku. Dia bersikap biasa saja, dan ramah seperti biasa. Padahal aku sudah was-was kalau akan terjadi perang kesekian kalianya karena Gio membanding-bandingkan dia dengan perempuan lain. Nana tidak menyukai itu. Dulu, aku pernah mengatakan itu. Aku sedang merayu Karin, dan kebetulan Nana lewat di depanku. Aku mengatakan kalau Karin lebih cantik dari pada Nana. Karena Karin saat itu cemburu pada kedekatanku dengan Nana. Awalnya Nana diam saja, namun ketika kami hanya berdua. Aku benar-benar dihukum olehnya, telingaku dijewer sakit sekali. Dia juga tidak bicara padaku. Dan itu berlangsung selama tiga hari. Nana bilang, aku boleh berpacaran dengan siapa saja. Tapi Nana tidak suka mendengar dirinya di banding-bandingkan dengan perempuan lain. Aku meminta maaf dan mengerjakan PR nya selama tiga hari. Dan dari mulai saat itu, aku trauma dan tidak mengulangi hal itu lagi. Tapi sekarang ... "Reina! Kak Anji nyariin lo!" Suara dari arah pintu, membuat lamunanku buyar. Aku menemukan Anji yang sedang berdiri di sana. Ah, kenapa aku merasa kalau perubahan Nana ada hubungannya dengan Anji saat ini. Aku melihat Nana berjalan ke arah pintu dengan senyum ramahnya. Dan Anji, dia tentu saja membalas senyuman Nana dengan begitu ramah dan sok manisnya. AKU SUNGGUH SANGAT BENCI PADANYA! "Ada apa Kak?" Duh, Nana. Tolong jangan terlalu baik pada buaya itu! Dia terlihat menatap Nanaku lekat dan kurang ajar. Aku yakin sekali kalau dia memang sudah tertarik pada Nanaku. Kalian harus tahu, kalau Nanaku itu memang sangat cantik. Itu di mataku yang merupakan seorang sahabat. Bagaimana kalau dilihat oleh mereka lelaki yang menyukai Nanaku. Dia pasti sangat tergila-gila. Aku tidak boleh membiarkan Nana terlalu dekat dengannya. "Aku ingin bertemu denganmu nanti malam. Apa boleh aku ngajak kamu ke kafe Zio's nanti?" JANGAN NANA! AKU MOHON! DIA ITU BUAYA! Nana terlihat berpikir. "Gue bakal minta ijin ke Mamah dulu." Dan aku yakinkan kalau Tante Dyra enggak akan ijinin dia. TIDAK AKAN! TITIK! Dan Anji mengangguk. "Atau aku yang akan meminta ijin sama Tante Dyra. Kalau aku akan membawa anaknya yang cantik ini ke sebuah kafe. Apa kamu setuju?" Shiit! caranya murahan sekali. Tante Dyra menyukai laki-laki yang bertanggung jawab dan berani. Beliau pasti menyutujui permintaan Anji. Aku harus cari tahu bagaimana caranya agar Tante Dyra tidak bertemu dengan Anji. "Boleh, datang saja nanti malam ke rumah." Duh, Nana! tolong! Kamu janganlah terlalu polos. *** "Lo mau pergi sama si Anji?" tanyaku, saat ini kami sedang di kelas. Sekarang sedang istirahat, dan semua murid sudah keluar. Nana masih mencatatat, tadi aku membelikan roti dan s**u kotak untuknya. "Iya, kalau Mamah ijinin," jawab Nana, dia menoleh padaku, kemudian kembali menulis. Aku menghela napasku. "Kalau Tante Dyra gak ijinin?" "Ya di rumah aja." "Kalau gue gak ijinin?" Kali ini dia menatapku, kedua mata indahnya meneliti diriku dengan seksama. "Lo udah nulis belum? jangan sempe, di rumah gue yang harus nulis buat lo. Gue males tahu gak?" Dia memang sangat pandai sekali mengalihkan topik. Dan ini bukan untuk kali pertamanya dia seperti ini. "Na ... si Anji itu bukan cowok yang bener. Lo harus hati-hati lah kalau nyari cowok!" Nana berdecak. "Memangnya ada cowok yang bener di mata lo?" Aku terdiam, aku mengakui semua kesalahanku. Aku memang tidak pernah mengijinkan laki-laki mana pun dekat dengan Nana. Aku tidak percaya pada mereka. Aku takut mereka jahat sepertiku. Aku tidak ingin Nana terluka. Aku sungguh melakukan ini demi kabaikan Nana. Bukan aku egois dan membatasi setiap pergerakan Nana. Aku hanya takut, akan ada laki-laki yang berniat tidak baik padanya. Aku membingkai kedua sisi wajahnya. Aku sungguh sayang sama Nana. Nana adalah jiwaku, aku tidak ingin ada laki-laki mana pun menyakitinya. Aku ingin dia selalu bahagia, dan satu-satunya cara yang membuatnya bahagia adalah dengan cara jangan biarkan Nana bertemu dengan laki-laki lain, selain aku, Gio dan Daffa. Mereka pasti jagain Nana. Dan Nana sendiri tidak mungkin menyukai kami bertiga. Jadi aku rasa, Nana akan aman bersama kami. Tapi tunggu! Nana sudah tidak marah lagi mendengar Gio membanding-bandingkan dirinya dengan perempuan lain. Apakah itu artinya Nana mulai menyukai Anji. Sehingga dia tidak marah pada Gio dan aku. "Na ... " Dia menggeleng geli dan melepaskan wajah cantiknya itu. "Lo jangan kaya gitu ke gue, kalau Cantika liat, dia bakal marah sama gue!" Sungguh aku tidak ingin mendengar ini, dan menjauhkan wajahnya dari kedua tanganku. "Dia gak liat Na." Dan dia mendorong keningku. "Dia emang gak liat. Tapi dia bakal tahu, nanti ada mata-mata. Dan gue gak mau kena bully sama anak kelas sepuluh. Itu malu-maluin tahu gak?!" Aku mengacak kesal kepalaku. "Gue gak mau nulis! Nanti malem, lo harus nyatet di buku gue!" Dan ini adalah cara agar Nana tidak perlu pergi dengan Anji. "NO! lo nulis sendiri. Dan gue gak akan mau ngelakuin itu!" Nana berteriak kesal di dalam kelas. Aku tidak peduli, aku keluar dari kelas. "RAKA! GUE GAK MAU!" Aku hanya membalikan diriku dan menciumnya dari jauh. "Byee Nana ... jadi anak yang baik ya ... jangan lupa dimakan rotinya, dan diminum susunya!" "EH, s****n! GUE GAK MAU NYATET BUAT LO!" Dan teriakannya hanya jadi angin lalu saja buatku. Aku sungguh tidak akan membiarkan Nana pergi dengan Anji. Bagaimana pun caranya. Nana hanya akan aman denganku. Aku akan memberikan apa pun yang dia mau! Tanpa harus terlibat dengan laki-laki lain. Ya ... Nana harus aku jaga. Setidaknya sampai dia dewasa dan menemukan laki-laki yang bisa aku percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD