3. Makan Sate

1057 Words
Raka POV Aku duduk di depannya, dengan dia yang menyembunyikan wajahnya di balik tumpukan kedua lengannya. Aku tahu Nana sedang menangis, dan lagi-lagi ini karena ulahku. Percayalah, aku tidak ingin ini terjadi. Aku hanya takut Nana terlalu dekat dengan Anji. "Na ... maafin gue ya ... " Tidak ada jawaban darinya, Nana selalu begitu kalau sedang marah padaku. Dia hanya akan diam, meski menangis. Kami ini memang sering sekali bertengkar. Tapi kemudian kami akan kembali baik-baik saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. "Gue cuma gak mau lo terlalu deket sama Kak Anji. Lo dengerkan, dulu Gio pernah bertengkar sama dia gara-gara cewek. Dan cewek itu sialnya malah milih Anji. Gio lepasin cewek itu, karena dia percaya kalau Anji bakal bahagia sama Anji. Tapi akhirnya apa Na, Anji mutusin cewek itu karena tergoda sama anak baru." Nana masih saja tetap terdiam. Aku perlahan meletakan kepalaku di meja yang sama dengannya. Menatap wajahnya yang masih berlindung di balik tumpukan kedua lengannya. Mengusap kepalanya perlahan, aku sungguh takut Nana tersakiti. Aku akan menghadang laki-laki manapun yang menyakitinya. Aku akan menginterogasi laki-laki mana pun yang mau mendekatinya. Nana tidak boleh seperti mamah. Nana harus bahagia dengan laki-laki mana pun yang kelak ia temui. "Na ... " Dia masih diam saja. Dan aku sungguh menyesal telah membentaknya. "Nah lo! si Nana lo apain?" Gio datang bersamaan dengan Lani dan Daffa. Ah, iya, belum aku memperkenalkan sahabatku yang lainnya. Dia Daffa, teman yang aku kenal di SMK ku ini, bersamaan dengan Gio. "Eh, gue kesel banget! Harga cireng sekarang gak ada yang lima ratus lagi ya?" keluh Daffa. Membuat Raka menatapnya dengan tidak habis pikir. "b**o! mana ada harga cireng lima ratus. Buat beli garam doang gak cukup lah!" sahut Gio gemas. Dan dorongan kesal dari Lani di keningnya. Daffa mengusap keningnya yang terkena ulah nakal tangannya Lani. "Gue kalau udah kayak, bakal jualan cireng. Harganya lima ratusan, jadi, anak-anak yang terlahir gak beruntung kaya gue. Bakal dapetin cireng dengan harga yang miring!" Daffa terlihat antusias. Membuat Raka hampir tergelak. Gio menggeleng lebih frustrasi. "Ya, kalau lo kaya, mendingan jadi bos cireng lah! dari pada jadi tukang cireng!" ucapnya, dengan suara keras, kesal. "Emang cireng bahannya dari apa ya?" Daffa terlihat berpikir. "Lo gak tahu?" tanya Lani gemas. Daffa menggeleng polos. "Selama ini, lo makan cireng, lo gak tahu tuh makanan terbuat dari apa?" Demi sponge bob yang tinggal di bikini bottom. Lani sepertinya ingin sekali memotong lehernya Daffa, termasuk diriku. "Anjim! Banget sih lo!" ujar Gio, dengan gaya alay t****k masa kini, diiringi dengan menepak keningnya frustrasi. Aku melihat pipi Nana mengembang. Aku yakin sekali dia sedang menahan tawa di balik kedua lengannya yang bertumpuk itu. Dan karena aku tahu Nana tersenyum, aku sungguh berterima kasih pada Daffa yang telah mengatakan hal lucu itu. "b**o plus oon! jadi begoon!" tambah Lani. "g****k tambah bodoh! jadi Godoh!" sahut Gio tidak mau kalah. Lengkap sudah penderitaan Daffa. Dia menatap Lani dan Gio secara bergantian. "Buaya tambah gatel. Jadi serasi!" serang Daffa tidak mau kalah. Dan sontak membuat Lani dan Daffa menjitak laki-laki itu secara bersamaan. Daffa berteriak, membuat murid anak penjualan yang baru masuk itu menatap pada kehebohannya. Termasuk Reina yang bangun, dan menatap Daffa dengan tatapan membunuhnya. "Berisik!" *** Aku, Nana, Lani, Gio dan Daffa. Kami berjalan di koridor. Kami akan pulang bersama. Biasanya kami akan bersama-sama ke rumahnya Nana. Kami akan makan malam di rumahnya Nana. Baru setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Kecuali aku yang kadang menginap di rumahnya karena kesepian tinggal sendirian di rumahku yang sebesar itu. "Eh, katanya sekarang rambutan harganya dua puluh ribu setangkai ya?" suara Daffa terdengar. Aku tahu, dia mulai akan berulah. Atau memang dia tahu, kalau Nana sedang marah. "Iya, kemarin nyokap gue beli," jawab Gio. "Mahal ya, coba aja kalau gue kaya. Gue bakal jualan rambutan. Harganya--" "Lima ratus lagi?" delik Lani, sepertinya kali ini gadis itu sangat sebal pada kelakuan nya Daffa. Daffa yang merasa kalimatnya dipotong Lani, dia mengerucutkan sepasang bibirnya. "Ya ... kurang lebih ..." Aku melihat Nana mengulum senyumnya. Dia sesekali melirik Daffa dengan ringisan gemas. Aku yakin sekali, kalau dia tidak sedang marah padaku. Dia akan menghajar Daffa seperti biasanya. Nana belum bicara padaku. Tapi nanti malam aku akan membelikannya sate ayam di pinggir jalan kesukaannya. Hampir setiap malam, kami selalu patungan untuk membeli sate di sana dan memakannya bersama. Aku bukannya tidak mampu membeli sate untuknya. Tapi Nana tidak mau gratisan, dia bilang. Dia tidak akan minta di traktir laki-laki mana pun, kalau bukan suaminya kelak. Aku tentu saja menghargai itu. "Anjim banget! Demi spongebob temannya si bintang oon! Gue pengin gorok leher lo!" Gio memiting lehernya Daffa di ketiaknya. Berhasil membuat Daffa merutuk kesal. "Bau gila!" "Gue pake rexona man siap gebet!" "Lah, dusta! palingan lo pake bedak BB!" "Anjim! bedak BB juga wangi. Cewek-cewek pada nempel!" "Lah! yang ada malah jadi burket! alias bubur ketek!" Kehebohan keduanya membuat setiap murid yang sama-sama akan keluar dari gedung itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Termasuk Nana yang saat ini mulai tertawa karena ulah keduanya. Dan Lani yang mengutuk Daffa dengan kekesalannya. "Gue yakin, gak akan ada cewek yang mau sama cowok bodoh kaya dia!" ucapnya dengan kekehan tidak habis pikir. Kami terus berjalan, dengan Daffa dan Gio yang masih saja sibuk berulah. Sampai di mana langkah kami terhenti, karena keberadaan Anji dan kedua temannya. Dia berhenti di depan Nana dan Lani. Tatapannya tentu saja tertuju pada Nana. "Hay, Re!" Iya, semua yang tidak dekat dengan Reina. Pasti akan memanggilnya dengan panggilan Re. Hanya aku dan Gio yang memanggilnya dengan sebutan Nana. Nana tersenyum tipis. "Eh, Kak Anji? Gimana pipinya, udah gak sakit lagi kan?" tanya Nana ramah. Anji membalas senyuman itu dengan manis, ia sesekali melirik padaku dan Gio, yang saat ini sudah tidak berulah lagi dengan Daffa. "Udah baikan ko, itu bukan masalah lah, Re." "Oh, syukur lah, Kak." ungkap Nana lega. "Tapi ... apa boleh gue minta tolong sama lo?" "Apa?" "Aku mau ditemani makan sate di pinggir jalan. Ya ... itu anggap saja sebagai perkenalan kita, dan permintaan maaf kamu?" Nana terlihat berpikir beberapa saat. Aku jelas tidak setuju, Nana selalu makan sate denganku. Kenapa sekarang harus makan sate dengan orang lain? "Na, kita kan ada janji makan sate malam ini. Jadi--" "Iya, Kak. Nanti kita ketemu di sana!" final Nana, membuatku lesu. Padahal, untuk permintaan maafku, aku akan mengajaknya makan sate berdua di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD