Bab 4

1038 Words
Mata Hermawan berkaca-kaca, ia meraih putrinya dari Danan ke dalam pelukan, mengusap punggungnya dengan lembut. Ia pun ingin Maira bahagia. Satu tahun hidupnya dihantui rasa bersalah karena sudah memaksa Maira bersama Nugra, pada akhirnya apa yang kamu perbuat itu justru membuat Maira trauma akan cinta. Satu tahun ini, ia bisa melihat putrinya itu berusaha terlihat ceria, berpura-pura sudah lupa padahal setiap malamnya masih mengenang luka. "Mai, dengan adanya Mama, Papa, dan kakak, bukankah seharusnya kamu sudah bahagia? Apa yang membuat kamu bahagia hanyalah cinta dan pria?"tanya Danan membuat Maira terenyuh. Ia beralih menatap Danan. "Tentu aku bahagia, Kak, tapi...aku butuh pasangan,"katanya serak. "Kamu nggak butuh itu, Maira, kamu belum siap untuk itu. Om, tolong...hentikan perjodohan ini. Kasihan Maira,"kata Danan memohon pada Hermawan. Hermawan menatap Maira dan Danan bergantian."Aku hanya sedang berusaha membuat Maira ceria lagi, bisa kembali menjadi anakku yang dulu." "Papa..." Maira memeluk Hermawan dengan erat. "Maaf, Pa...Maira banyak berubah gara-gara cinta." "Iya ...sudah, tidak apa-apa, sayang. Kita saling menguatkan ya. Kamu jangan sedih terus!"   "Kalau memang Maira masih trauma dikenalkan dengan laki-laki baru, bagaimana kalau Maira menikah dengan laki-laki yang sudah sangat dikenal,Om?" "Bagaimana maksudnya, Nan?" "Maira kan takut kalau dia dijodohkan sama laki-laki yang baru ia kenal Karen belum tahu karakter dan watak aslinya. Bagaimana kalau Maira menikah saja dengan pria yang memang sudah Om dan Maira kenal dengan baik sejak kecil?"kata Danan dengan lantang. Maira mengerutkan keningnya, masih tidak paham dengan maksud Danan. Lagi pula tidak ada pria dengan kriteria yang dimaksudkan oleh Danan tadi. "Siapa, Nan?" Danan berdehem, ia membetulkan posisi berdirinya. "Dananjaya, Om!" Suasana hening seketika. Maira dan Hermawan sama-sama bengong, benarkah Danan dengan ucapannya. Maira menatap Danan dengan aneh, bukankah mereka bersaudara, bagaimana Danan bisa mengatakan ingin menikahinya, apa mungkin karena ia kasihan. "Kamu serius?" "Iya, Om, saya serius ingin memperistri Maira jika diizinkan." "What?" pekik Maira, ia terkejut setengah mati. Ia dilamar kakaknya sendiri? Danan tertawa terbahak-bahak, kemudian ia mengusap puncak kepala Maira."Kaget ya?" Maira tidak menjawab, wanita itu malah menatap Danan dengan ngeri. Ia sulit membayangkan rasanya menikah dengan kakaknya sendiri. Lalu, ia menggelengkan kepala berusaha mewariskan pikirannya, tidak mungkin, ini pasti becanda. "Kakak becanda, serius amat sih!"lanjut Danan. Maira memanyunkan bibirnya,"bukan saatnya bercanda, Kak." "Dan bukan saatnya kamu sedih-sedih lagi,"sambung Danan tak mau kalah. Hermawan berdehem,"ya udah, Nan, biarkan Maira istirahat. Kita ke sini kan mau bicara banyak sama Pak Arya. Sebaiknya kita keluar aja. Mai, kalau memang masih sedih, ya sudah kamu di sini saja ya." Maira mengangguk, kemudian menutup pintu kamarnya setelah Hermawan dan Danan keluar. Ia berjalan ke tepi jendela, memikirkan waktu-waktu yang telah ia lewati setahun belakangan. Merelakan, Maira benci kata-kata itu. Ia merelakan laki-laki yang bahkan tinggal beberapa hari saja akan menjadi suaminya untuk wanita lain. Tapi, pada kenyataannya Nugra juga seperti tidak apa-apa ketika Maira memilih mengalah, itu lebih menyakitkan. Untuk mengatasi rasa sedihnya, Maira berbaring di kasur, kemudian memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Saking nyenyaknya, wanita itu tidur sampai menjelang magrib, itu juga dibangunkan eh ketukan pintu kamar. Sambil menguap, Maira bangkit dari tempat tidur, berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah pintu. "Ada apa?"tanya Maira pada Ryu. "Sudah malam, lampunya nggak dinyalakan," kata Ryu sambil menyalakannya. Maira tersenyum tipis."Thanks, aku ketiduran." "Semuanya pergi,"kata Ryu. "Maksudnya?" "Papa dan Mama kita, kakak kamu dan juga kakakku pergi, katanya mau meninjau lokasi." "Lokasi apa?" "Nggak tahu!"jawab Ryu singkat, benar-benar laki-laki tercuek yang pernah Maira kenal. Maira mengangguk-angguk saja, kemudian ia menyadari sesuatu."Eh, berarti di sini ada siapa aja?" "Cuma kita berdua, soalnya ART sama sopir kamu juga ikutan, mereka besok baru balik ke sini." Maira tertawa."Becanda kan?" Ryu menatap Maira datar."Nggak. Makanya nanti kita makan malam di luar saja. Aku tunggu di depan setengah jam lagi. Kalau nggak muncul, aku makan sendiri." "Astaga...kok gitu, yang sabar dong." Maira merengut. "Ya sudah setengah jam lebih satu menit,"kata Ryu lagi. Maira membelalakkan matanya."Oke-oke, tunggu di depan. Aku mandi dulu." Ryu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Maira masih berdiri di depan pintu, mengintip kemana Ryu pergi. Ia masih belum percaya dengan apa yang Ryu katakan, ia segera mengirimkan pesan pada Danan untuk menanyakan keberadaan mereka. Ternyata benar, mereka pergi, sesuai dengan apa yang dikatakan Ryu. Rencananya mereka akan kembali besok. Maira memegangi keningnya, kemudian segera mandi karena waktunya sudah habis sepuluh menit. Sepertinya Ryu adalah orang yang selalu serius dengan ucapannya, tidak berlebihan juga tidak kurang. Oleh karena itu Maira yakin, jika ia terlambat, maka Ryu akan meninggalkannya makan malam,padahal perutnya sudah keroncongan. Maira mandi dengan cepat,memakai pakaian tertutup karena udara di sini dingin, lalu berdandan natural saja, setelah itu ia menuju ke ruang tamu dimana Ryu sudah siap pergi. Pria itu melirik jam tangannya ketika Maira sudah sampai tepat di hadapannya. "Aku nggak terlambat kan?"kata Maira sambil nyengir. "Masih tersisa tiga puluh detik,"katanya tanpa ekspresi. "Oh..." Maira cukup takjub dengan jawaban ajaib Ryu, tadinya ia berpikir Ryu akan menjawab 'tidak apa-apa, masih banyak waktu kok'. Tapi, Ryu bukanlah orang seperti kebanyakan pria di dunia ini. Sebut saja Ryu ini adalah manusia langka dengan segala keajaibannya. "Ayo kita pergi,"kata Ryu sambil berjalan duluan. Maira mengikuti pria itu dari belakang. Di depan sana ada sebuah sepeda motor dan Ryu naik ke atasnya. Maira sedikit terkejut jika ternyata mereka akan naik sepeda motor bebek, untunglah ia tidak memakai gaun tadi. Rasanya apa yang ia pakai malam ini cukup sesuai dengan kendaraan Ryu. "Ayo naik!" Maira mengangguk, dengan hati-hati ia naik dan berpegangan pundak Ryu. Setelah itu, sepeda motor melaju melewati jalan bebatuan, cukup membuat jantung Maira berdegup kencang saat ban sepeda motor sedikit meleset. Ryu menghentikan sepeda motornya di sebuah restoran yang menyediakan menu utama Ayam, seperti ayam geprek, ayam bakar, ayam penyet, dan jenis makanan yang menggunakan ayam sebagai bahan utamanya. Baru saja kaki Maira dan Ryu melangkah masuk, mereka langsung disuguhkan pemandangan yang membuat hati Maira berdenyut. Wanita itu sempat menghentikan langkahnya sampai kemudian Ryu menoleh ke belakang dan memberinya kode agar terus berjalan. "Hei, Maira!" Yuki, adalah wanita yang ia lihat barusan sedang suap-suapan dengan Nugra. Detik ini juga Maira akan mengatakan 'munafik' pada Nugra, apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan. Maira mengentikan langkahnya."Hai!" "Sini gabung aja, kamu sendirian kan?"katanya dengan suara yang keras. Ryu menoleh ke sekelilingnya, tidak mendapati Maira, ia pun kembali ke posisi Maira yang sedang berhenti. "Maira, ayo...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD