Bab 3

1005 Words
"Ya, pokoknya aku nggak mau. Kubilang nggak mau ya...nggak mau aja! Aku bisa cari sendiri, sih!"lanjut Maira. "Memangnya aku seburuk itu sampai kamu mencak-mencak nolaknya?" Maira menatap Ryu heran. Sementara terdengar suara tawa yang tertahan, siapa lagi kalau bukan Danan. "Kok Kamu tersinggung?" "Ya iya, maksudku, ya nolak aja kayak biasa, nggak usah seolah-olah aku ini lelaki paling menjijikkan sedunia sampai segitunya kamu nolak." "Lah, baper!" Danan terkekeh pelan."Kayaknya kamu harus tanggung jawab deh, Mai, pertama kamu sudah rusakkan tart spesialnya. Kedua...kamu bikin tersinggung." Maira menarik napas panjang."Ya sudah, terus maunya gimana? Jujur saja aku belum siap untuk menikah. Maksudku...kalau misalkan ini kita dijodohkan, aku nggak bisa bulan depan nikah, dua bulan atau bahkan enam bulan pun aku nggak siap untuk itu. Aku butuh waktu." Ryu melipat tangannya di dada." Oke..." Maira memutar bola matanya. Kemudian ponselnya berbunyi, direct message dari Nugra. Mata Maira terbelalak, tapi, ia tidak membuka pesan itu, baginya itu akan menambah beban saja. "Oke, jadi, begini...." Danan menengahi kedua insan manusia yang sedang berdebat."Ryu, kamu mau dijodohkan dengan Maira?" Ryu terdiam. Maira dan Danan kembali bertukar pandang. "Aneh kan orangnya!"bisik Maira. "Iya, sih aneh!"balas Danan mengiyakan."Nggak usah mau deh, kalau sama ini. Nggak jelas." "Iya...sebenarnya, aku mau,"ucap Ryu jujur. "What?" Maira dan Danan berteriak bersamaan. "Apa-apaan ini, nggak deh?" Maira menghela napasnya dengan stres. Ia beranjak dari kursinya."Aku mau cari udara segar dulu deh, Kak,"katanya pada Danan. Maira berjalan ke sekeliling, ia pun tidak tahu arah tujuan. Tapi, ya sudah, yang penting jalan saja untuk menghindari pertanyaan atau pernyataan dari Ryu. Entah kenapa kali ini, tidak ada sisi yang menarik dari Ryu yang bisa meyakinkan hatinya kalau suatu saat Maira juga akan bisa jatuh cinta pada Ryu, sama halnya ketika ia jatuh cinta pada Nugra dulu. Dengan helaan napas berat, Maida terus berjalan hingga ia sampai ke tepi sungai. Di sana ada beberapa orang yang duduk di kursi serta rerumputan.     "Maira?" Maira mengerutkan kening karena tiba-tiba saja ada yang memanggil namanya di sini. Apa mungkin ada orang dengan nama yang sama. "Hai, Maira! Kamu di sini juga?" Akhirnya, Suara itu, suara yang pernah ia dengar sebagai orang yang ia anggap sangat baik dan cantik. Maira menatap orang itu lekat-lekat, berusaha tersenyum sekuat tenaga. "Hai, Kak...apa kabar?" "Baik!"balasnya ceria. "Kakak...kok pakai baju pengantin?" tanya Maira heran. "Kita lagi pra wedding di sini, kebetulan banget ya nggak sengaja ketemu." Yuki terkekeh pelan. Maira tersenyum tipis, jauh-jauh ia pergi ke sini, ternyata malah ketemu dengan Yuki, dan tunggu, katanya Yuki sedang pra wedding dengan Nugra? Wanita itu melihat ke sekeliling dengan waspada. "Aku pikir kakak malah sudah menikah tahun lalu." Yuki menggeleng."Nggak dong, kita pacaran dulu, siapin ini itu, dan...waktu itu kita sempat terganjal restu juga dari orangtua Nugra kan, tapi...sekarang sudah baik-baik saja kok. Kami sudah direstui." "Semoga lancar sampai harinya,ya, Kak,"ucap Maira dengan nada tercekat. "Kamu sama siapa di sini? Pacar kamu ya?"tanya Yuki ingin tahu. Maira menggeleng."Sama keluarga kok, Kak. Hmmm...ya udah kayaknya aku harus balik, takutnya dicariin, tadi pergi nggak pamit!" "Oh oke..." Yuki tersenyum penuh arti. Maira tahu, itu adalah senyuman kemenangan karena pada akhirnya ia lah yang mendapatkan hati Nugra, bukan dirinya . Dengan hati yang kembali terluka, Maira berbalik arah, menuju tempat tinggal Ryu. Sebaiknya ia pulang sampai saja dan istirahat di kamar dari pada ia berkeliaran di sini, tapi harus kembali membuka kisah lama. "Maira..." Suara lembut itu memanggil Maira. Maira membalikkan badannya, pria menggunakan jas hitam itu menatapnya sedih. Maira pun tak kuasa menahan air matanya. Ia membayangkan dulu, harusnya ia bersanding dengan Nugra, mengenakan setelan jas seperti sekarang ini, dan ia akan mengenakan gaun pengantin yang cantik. Maira tidak pernah bisa lupa kalau semuanya sudah selesai, tapi mimpinya menjadi pengantin harus ia kandaskan. Nugra menghampiri Maira, menatap wanita itu dengan sendu."Kenapa kamu nangis?" Maira menggeleng, tapi air matanya tetap mengalir. Dibiarkannya Nugra menghapus air matanya."Aku nggak apa-apa. Sudah." Ditepisnya tangan Nugra pelan. "Maira...aku tidak ingin pernikahanku dengan Yuki terjadi." Maira tersenyum lirih."Kalian sudah pra wedding, kan, bukankah kalian juga sudah mendapatkan restu, lalu apa lagi?" Wajah Nugra tampak sedih, seperti ada sesuatu yang ia pendam sendiri."Maira...aku..." "Nugra!" Suara itu memutuskan pembicaraan mereka, Nugra langsung pergi sebelum Yuki melihat ia dan Maira bicara. Maira hanya bisa melongo, kembali kecewa dengan sikap Nugra, kemudian ia menyadarkan diri bahwa Nugra bukanlah kekasihnya lagi. Maira membalikkan badannya kembali ke rumah. Begitu sampai, Maira berlari ke kamarnya. Danan yang melihat langsung mengikuti wanita itu. Baru saja Maira akan menutup kamar, Danan menahan pintunya dengan satu tangan. Maira menoleh kaget, air matanya sudah berjatuhan di pipi. Danan meraih wanita itu ke dalam pelukannya. Tangis Maira pun pecah. Danan membawa Maira masuk ke dalam kamar, menutupnya setengah."Kamu kenapa, Mai?" "Kak,"isak Maira."Aku ketemu Nugra!" "Terus?" Maira menggeleng,"nggak tahu kenapa, rasanya sakit sekali. Semua kenangan tentang kita muncul begitu aja, kenapa sakitnya harus sekarang, Kak, bukan dulu...di saat aku masih punya kesempatan untuk memilihnya." "Kamu nyesel mutusin Nugra waktu itu?" "Nggak tahu, dengar Nugra bilang kalau dia nggak mau nikah sama Yuki itu...kayaknya kedengaran tulus,"kata Maira lagi. Danan menggeleng tidak setuju, ia tidak akan pernah mengizinkan Maira kembali pada Nugra. Hubungan mereka sudah kandas dan sekarang Nugra sudah menjadi pasangan orang lain. Jika Maira kembali hadir di saat ini, artinya Maida sama saja seperti Yuki, merusak pernikahan orang. "Itu hanya perasaan sesaat kamu aja, Mai. Jangan terlalu percaya sama mulut laki-laki. Kamu hanya boleh percaya pada Papa dan saudara laki-lakimu!" "Papa juga nggak setuju!"kata Hermawan tiba-tiba. Pria paruh baya itu juga melihat Maira berlari, ia juga melihat raut kekecewaan dan kesedihan di mata putrinya. Merasa bersalah, ia pun mengikuti. Maira menyeka air matanya, menatap sang Papa."Bukankah Papa yang maksa-maksa Maira nikah sama Nugra, sampai apa pun yang Nugra katakan, Papa turutin semuanya." "Maira, itu kan dulu, sebelum Papa tahu semuanya," sanggah Hermawan. "Tahu apa?" Hermawan bingung karena ia keceplosan. Ini adalah sebuah masalah yang sebaiknya Maira tidak tahu."Ya pokoknya begitu, dia sudah menduakan kamu. Penyakit kayak gitu nggak bakalan hilang. Buktinya pas sudah sama Yuki, dia malah berpaling sama kamu. Apa itu namanya?" Maira tertunduk sedih."Pa...Maira ingin bahagia, kapan saat itu tiba, Pa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD