1. Perkara Nama

1171 Words
Pusing gue, dari Paud, TK, SD, SMP, SMA, dapetnya nomor absen pertama mulu! -Adnan Geo Pratama- • • • "ADNAN JUGA MANUSIA" "PUNYA RASA, PUNYA HATI" "JANGAN SAMAKAN DENGAN...." Seketika Adnan ― sang penyanyi rocker gadungan ―mendekatkan ujung gagang sapu di tangannya dengan mulut Edo yang duduk sebagai penonton. "MONYET SEJATI..." Cowok pemilik nama Edo itu melanjutkan dengan gaya bernyanyi ala rocker meniru Adnan. Plak Tanpa ragu Adnan menoyor kepala Edo. "Sembarangan lo kalau ngomong!" Bukannya membalas, Edo malah nyengir kuda. Mana ada yang berani sama Adnan. Si biang onar yang suka menciptakan keributan. Musuhnya saja ada di sana-sini. Tidak heran kalau catatan BK-nya sudah lebih dari satu buku selama satu semester. Baru saja ingin lanjut bernyanyi lagi, tau-tau sosok Bu Gilwa yang ramping sudah berdiri tepat di ambang pintu kelas X IPS 1. Dengan segera Adnan loncat dari atas meja. Kemudian menduduki kursinya yang terletak di pojok paling belakang sudut kelas. Melihat kelakuan Adnan, Bu Gilwa yang biasa dipanggil Bu Gil hanya bisa menarik napas berat. "Selamat pagi, semuanya," sapanya seraya berjalan memasuki kelas. "Pagi, Bu." Semua menjawab dengan serempak. Selepas meletakkan perkakas mengajarnya di atas meja guru, beliau bertanya, "Kalian tidak lupa kan, kalau hari ini akan ada hafalan rumus-rumus logaritma?" "Lupa, Bu," jawab Adnan dengan suara lantang dan kelewat santai. "Lo jones apaan, sih, yang diinget? Pacar aja kagak punya!" celetuk Asabel, musuh bebuyutan Adnan yang menjabat sebagai ketua kelas X IPS 1. "Inget dosa lah! Sori aja, nih. Gue bukan lo yang tiap harinya inget pacar doang." Adnan berkata layaknya anak pesantren yang sangat tekun agama. "Heleh, gaya lo! Dosa lo, tuh, udah tumpeh-tumpeh kayak s**u Jupe tau gak!" Untuk mendramatisir keadaan, sebelum menjawab Adnan menggelengkan kepala. "Astagfirullah, Anabel Anabel, orang udah meninggal masih aja lo dzolimi? Apalagi gue yang masih idup, ckck." "Heh, denger ya, nama gue A-SA-BEL, bukan Anabel! Lo kalau udah begok, ya begok aja. Tapi jangan gonta-ganti nama orang seenak dewek!" balas Asabel penuh dengan penekanan pada namanya. "Suka-suka gue dong. Mulut-mulut gue, kenapa lo yang sewot?" "Ya jelaslah, nama itu pemberian orang tua gue tau gak!" Di saat Asabel emosi menanggapinya, Adnan masih menimpali dengan santai. "Lagi juga, nama lo itu lebih cocok Anabel. Kayak boneka setan, HAHAHA," katanya sambil tertawa kencang. "Setan, lo tuh yang setan!" Kalau tidak ditahan oleh Jeje teman sebangkunya, mungkin kepala Adnan sudah benjol sekarang. Karena sebelumnya tangan Asabel hampir saja tergoda untuk melayangkan tempat pensil kaleng ke arah cowok itu. Semua yang berada di kelas hanya tertawa selama menyaksikan drama yang setiap hari dilakoni oleh Adnan. "Sudah-sudah, jangan ribut!" gertak Bu Gilwa. Sambil berjalan mondar-mandir di depan kelas, ia berkata lagi, "Untuk hafalan kali ini, ibu urut berdasarkan nomor absen, ya!" "Ck," Adnan sebagai satu-satunya murid yang merasa dirugikan berdecak kesal. "jangan berdasarkan absen dong, Bu," protesnya. Mendapat nomor absen pertama di kelasnya merupakan suatu problema yang sangat besar bagi Adnan. Pasalnya, jika ada hafalan guru-guru kebanyakan akan memanggil berdasarkan nomor urut absensi kelas. Itulah kenapa hampir setiap saat dia selalu menyesali namanya yang diawali oleh huruf A. "Iya dong, Bu." "Nggak apa, Bu. Menurut absen aja." Sebagian dari mereka yang sependapat dengan Adnan ikut menyuarakan pemikirannya. Namun sebagiannya lagi menentang pendapat Adnan. Seketika pro dan kontra pun terjadi. Hingga suasana riuh terulang lagi. "Tenang, saya akan kasih lima belas menit untuk mematangkan hafalan kalian." Ketika Bu Gilwa sudah duduk manis di kursinya sambil membaca buku, Adnan langsung menyikut Edo. Terlihat ada rencana terselubung di balik sorot matanya. "Izin ke toiletnya satu-satu. Biar doi gak curiga," bisik Adnan sambil sesekali menengok ke arah meja guru. "Sip!" ucap Edo sambil mengacungkan ibu jarinya. Tubuh Adnan yang jangkung seketika berdiri, berjalan mendekati Bu Gilwa. "Bu, saya izin ke toilet, ya?" Belum sempat Bu Gilwa memberi jawaban sepatah kata pun, sedetik kemudian Adnan menyambar lagi, "Oke, Bu. Makasih," katanya seraya berjalan keluar kelas. Tidak peduli dengan raut wajah Bu Gilwa yang kesal sampai ke ubun-ubun dengan melihatnya yang kian hari kian menjadi-jadi. Setelah beberapa menit menunggu Edo di gerbang belakang, akhirnya datang juga itu anak. "Lama banget lo, ngapain aja, sih?" todong Adnan pada Edo yang baru saja menghampirinya. "Gimana mau cepet, orang―" "Hei, ngapain kalian di situ?!" Jawaban Edo terputus ketika mendengar Pak Beno berteriak seraya berlari mendekat. Buru-buru Adnan memanjat pagar, meninggalkan Edo yang kelabakan mencari tangga kayu. Badan Edo yang besar membuatnya sulit untuk memanjat seperti Adnan. "Eh, Nan! Turun lagi sini. Bantuin gue manjat, kalau gak bantu cari tangga!" pekik Edo pada Adnan yang sudah berada di puncak pagar setinggi tiga meter lebih. Sejenak mata Adnan berkeliling sekitar halaman belakang sekolah yang banyak ditumbuhi tanaman liar. "Itu tangganya, tuh!" katanya kencang sambil menunjuk tangga kayu yang tertutup rimbunan semak-semak. Dengan cekatan Edo mengambilnya. Sementara Adnan sudah melompat dan berada di balik pagar. Jarak mereka dengan Pak Beno semakin dekat. Bagusnya, Pak Beno merupakan salah satu guru yang sudah berumur dan mudah lelah. Jadi cukup sulit bagi beliau untuk mengejar murid yang larinya cepat macam Edo dan jago manjat macam Adnan. Tanpa pikir panjang, keduanya memutuskan untuk ke warkop Bi Endah. Warung kopi milik Bi Endah adalah tempat bersemayamnya murid-murid bengal SMA Cempaka saat KBM sedang berlangsung. Karena kata mereka, bolos di area sekolah tidak akan bisa bebas seperti di warkop Bi Endah. Dan kelas sepuluh cuma Adnan dan Edo yang sering bolos di sana. Sisanya kebanyakan kelas sebelas dan dua belas. "Gue bingung, kenapa sih nyokap gue, namain gue Adnan. Kayak gak ada nama lain aja!" oceh Adnan setelah menghembuskan asap rokoknya dari dalam mulut. Sambil mencomot gorengan, Edo menjawab, "Emang kenapa sama nama lo?" "Pusing gue, dari Paud, TK, SD, SMP, SMA, dapetnya nomor absen pertama mulu! Coba kalau nama gue Zainudin atau Joko atau Santo atau..." Adnan berpikir sejenak, lalu akhirnya menyerah. "atau apa, kek. Yang penting jangan pake awalan A, gue mah seneng aja." "Itu nama lo udah bagus, anjing! Adnan Geo Pratama itu bagus!" tandas Edo di sela-sela kunyahannya. "Daripada gue, Edo Sardodo." "Gak gitu, Do. Kalau huruf depannya bukan A, sih, gak masalah. Asalkan gue gak dapet nomor absen pertama, atau paling gak nomor absen gue ada di deretan bawah-bawah lah." Saat Adnan sedang mengeluh perkara namanya pada Edo, tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang-orang berlarian. Masing-masing dari mereka membawa balok dan batu besar. "Woi! Curhat mulu lo bedua! Kita lagi dikepung!" Suara Kevin, si pentolan SMA Cempaka seketika mampu mengalihkan perhatian Adnan. Mendadak ekspresi Adnan berubah serius. "Sama anak mana?" "Biasa, SMA Warior. Cepet cari senjata, Nan!" Kini suara Fahri yang menjawab dengan sebuah batu besar di tangan kanannya. Adnan langsung membuang dan menginjak putung rokoknya. "b*****t!" umpatnya kesal. Setelah mengambil tongkat kayu yang cukup panjang, Adnan mempercepat langkah kakinya dengan emosi yang memuncak. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk, jari-jarinya mencengkram keras tongkat kayu itu. Ini sudah kali ke tiga SMA Warior menyerang SMA Cempaka di saat jam sekolah masih berlangsung. Permusuhan antara dua SMA itu terjadi sudah sejak lama. Semuanya bermula dari masalah sepele hingga mengakibatkan terciptanya dendam kesumat di antara kedua belah pihak yang berujung saling serang tanpa ampun. === To be continue... A/n: Welcome to Adnan's Story:) 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD