PART 2

1846 Words
Waktu berlalu. . . Langit : Do, gue main ke rumah Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Langit kepada sahabatnya, Aldo. Langit ingin mengungsi kerumah Aldo, lumayan mengurangi penat. Padahal ini masih pagi. Perumahan Aldo cukup menenangkan, tidak banyak hal membisingkan. Tinggal dirumahnya sendiri membuat Langit stress berat, gadis cilik itu terus saja menganggu Langit. Pokoknya menyebalkan tingat parah untuk seorang Langit. Ditambah dengan kebawelan gadis itu, Langit benar-benar muak. "Kenapa lagi, Bos?" tanya Aldo sambil melempar sebotol kaleng soda kearah Langit lalu meneguknya, beberapa menit setelah Langit sampai di rumah Aldo. "Itu setan kecil itu, ganggu banget sumpah." Pagi-pagi saja Langit sudah emosian. Pagi ini Langit ngungsi di rumah Aldo menjadi pilihan. Pacar Aldo keluar dari kamarnya dan ikut bergabung dengan kedua lelaki itu. "Hallo, gue Zola. Pacarnya Aldo." Ujar Zola mengenalkan diri pada Langit. Ini kali pertama kali mereka bertemu setelah Aldo dan Zola memutuskan untuk menjalin hubungan yang sudah berjalan 2 bulan kurang-lebih. Cantik, cocok dengan Aldo. Aldo-Zola sudah saling mengenal hampir 3 tahun dan baru-baru ini serius menjalin hubungan. "Gue Langit." Balas Langit singkat. Aldo menarik pacarnya kedalam pangkuan lalu menciumi pipi pacarnya gemas. Langit yang menyaksikan itu hanya memutar mata malas. “Oi, gue masih disini ya!” tegur Langit sebal. Pamer kemesraan mesti banget di depan orang. "Ngiri bilang bos!!” ejek Aldo jahil. “Lo nggak punya pacar, Lang?" tanya Aldo pada Langit setelahnya dan dibalas dengan dengusan kasar oleh pilot muda itu. Hei, ini Langit Anugrahtama. Sejak kapan dalam hidupnya terencana untuk memiliki seorang pacar? "Gue nggak percaya sama namanya pacar, Do!" ujarnya sambil menatap kaleng sodanya dalam-dalam. Lalu tersenyum sinis. "Sumpah, lo kulot banget." Sunggut Aldo melempar bantal sofa ke arah Langit. "Hahaha. Tapi, jujur gue belum minat aja." ungkap Langit. "Alay sumpah. Sok kegantengan lo." Cibir Zola blak-blakan. Aldo mengiyakan perkataan Zola. Langit terkekeh mendengar cibiran Zola. Ya, benar. Ia alay, hanya karena ibunda nya disakiti oleh papa nya, semuanya merubah persepsi nya. "Gue percaya sama takdir jodoh aja. Buat nyari pacar, gue nolak deh. Udah, biar yang diatas mengatur." Sebenarnya nggak juga, Langit hanya mengatakannya untuk menghindar dari pertanyaan mengenai pacar. "Sok bijak banget omongan lo." Langit tertawa mendengar penuturan Aldo. Aldo memang telah berteman lama sekali dengan Langit, nggak ada hal yang Aldo tidak tahu tentang Langit. Walaupun saat ini mereka sudah jarang bertemu karena perbedaan Tempat tinggal dan pekerjaan, berkomunikasi adalah hal yang rutin mereka lakukan. Kehadiran  Zola ditengah-tengah mereka cukup mengasikan, tidak menyebabkan kecanggungan. Mereka bertiga larut dalam pembicaraan hingga suara bel menghentikan pembicaraan mereka. "Ara nya udah sampai. Gue ngambil baju dulu." Ujar Zola sambil berlalu ke arah pintu. Baju tempahan nya pada designer muda berbakat itu sudah selesai dikerjakan. Tak berapa lama, Zola kembali lagi dengan seorang wanita disampingnya. Sepertinya pengantar baju yang tadi Zola sebutkan. Sempurna. Gumam Langit dalam hati saat melihat teman nya Zola itu.  "Kenalin ini teman gue, Arabella. Dia yang buat baju ini." Jelas Zola sambil memperkenalkan temannya. Untuk seberapa detik, Langit terpaku melihat Arabella. Bibirnya yang tebal, kulitnya yang mulus, matanya lebar dan berwarna coklat terang, rambutnya lurus dengan tinggi badan proposional membuat Arabella bak dewi Yunani. Dan bagian favorit ku yaitu pipi nya cubit-able itu. Ya tuhan, bidadari dari mana ini? "Gue Aldo pacarnya Zola, dan ini Langit. Teman gue." Aldo memperkenalkan dirinya dan Langit. Entah datang dari mana keinginan Langit, tiba saja Ia mengulurkan tangan pada Arabella, untung saja disambut dengan senyuman indah. Enggak terbanyang kalau hanya diabaikan, biasa jatuh marwahnya sebagai lelaki. Arabella duduk berdampingan dengan Langit dan sukses membuat lelaki itu gugup setengah mati. Seumur hidup Langit, ini pertama kali Ia benar-benar terpukau terhadap wanita. Mati-matian Langit menjaga tingkahnya yang kentara sekali jika sekarang Ia sedang gugup. Semoga Arabella tidak mendengar detak jantung nya yang sudah konser.             ‘Hai gadis manis, bolehkah mulai dari saat ini aku menyukai mu? Menyertai nama mu di setiap doa ku nanti, semoga Tuhan mengabulkan permintaan kecilku, yaitu aku sangat ingin memiliki mu’ *** Langit POV Penerbanganku masih 2 hari kedepan, jadi aku masih bisa santai sejenak sebelum bekerja membanting tulang di udara. Aku turun ke lantai dasar rumahku untuk berenang. Sore-sore begini memang enaknya beranyun manja dengan kolam air. Rumah ini akan sepi senyap saat pagi sampai sore, hanya malam hari akan terdengar suara beberapa orang. Ya, palingan papa dan ibunya Clarisa yang pulang dari tempat kerja akan bikin gaduh. Papa sangat sibuk dengan perusahaannya, melupakan bahwa aku masih anaknya yang butuh kasih sayang dan perhatian. Jujur, semenjak bunda pergi, aku bukan hanya merasa bahwa kehilangan sosok ibu tapi juga sosok ayah. Papa nggak pernah ada waktu untuk ku. Benci kepada sosok papa semenjak itu aku tanamkan, walaupun sewaktu-waktu aku berharap bisa memaafkannya. "Aden, mau bibi buatin minum?" tanya Bik Dena saat aku sudah mulai turun ke kolam. Aku tidak terlalu suka dengan olahan tangan Bik Dena, rasanya jauh berbeda dari Bik Seri. Aku sedikit rewel, maaf. "Mau dibuatin jus stroberi, tapi Bik Seri yang buatin." Ucapku. Aku kurang menyukai apapun olahan Bik Dena. Untungnya Bik Dena nggak pernah mempermasalahkan itu. "Duh, Bik Seri nya lagi nggak ada." "Biar aku aja yang buat." Sebuah suara datang dari arah ruang tamu menginterupsi percakapanku dengan Bik Dena. "Zalna?" pekikku terkejut. Ia adalah sepupuku yang tinggal di Jogya. Ia satu-satunya sepupu perempuan yang paling akrab denganku, yang lainnya sudah berkeluarga jadinya agak sedikit renggang. "Hehehe, terkejut ya aku ada disini?" ujarnya sambil duduk dikursi santai di pinggir kolam. Aku mengangguk sebagai jawaban. Bik Dena sudah beranjak masuk kembali begitu melihat kehadiran Zalna. "Clarisa yang ajak loh." Ujarnya sambil tersenyum lebar lalu ku balas dengan dengusan kasar. Oh jadi sekarang Zalna sudah pindah kubu nih ceritanya? "Terserah deh. Sana main. Gue mau berenang." Usirku. Kalau sudah membahas Clarisa, aku terlanjur malas. "Tega lo ngusir gue. Gue datang buat jumpa sama lo, Kak." Rajukknya. Kalau gitu seharusnya kamu nggak datang bareng Clarisa, Zal! "Main sama yang ngajakin lo kesini aja sono." Aku kembali dengan renangku. Entah kenapa belakangan ini, Clarisa itu menjadi titik emosiku. Aku rela kalau di sewaktu-waku dia enyah dari pandangan ku, segitu muaknya aku dengan gadis itu. "Lo ngucapin nama dia aja nggak sudi, Kak! lo sama sekali nggak pernah berubah ya. Heran gue." "Kalau cuma karena mau ceramahin gue, lo bisa enyah sekarang juga kok, Zal. Lo jelas tahu gue emang gitu." Dia sendiri yang bilang  nggak mau kenal dengan ku, najis katanya. Lah, impas dong kalau aku nggak sudi menyebut namanya, haram. "Lo udah dewasa, Kak. Bukan anak-anak lagi." Tau kali. Nggak usah diingetin mulu, malah bawa-bawa umur. "Nggak perlu lo ingatin gue, Zal. Gue sadar kok." Zalna pergi meninggalkan aku sendiri yang sibuk dengan acara renangku, Ia pergi sambil menahan geramnya terhadapku. Biarkan saja, nanti juga baik sendiri. Sifat nyolotku akan sering kambuh kalau Zalna sudah menasehatiku tentang Clarissa. Walaupun sudah dewasa, rasa sakit hati yang menganga ini belum juga sembuh, setiap kali berjumpa dengan Bu Gin, Ibu nya Clarissa, luka yang mengering selalu kembali berdarah. Apalagi jika melihat papa sedang duduk berdua dengan Bu Gina, aku rasa nya ingin melenyapkan ibu tiriku itu. Entah sejak kapan jiwa bar-bar aku ini kian menjamur, untungnya aku masih bisa mengontrol diri, aku nggak tahu deh kedepannya apa aku akan kalap atau tidak. Aku benci semua yang terjadi di hidupku. Zalna kembali lagi ke kolam tempatku berenang dan ikut menceburkan diri, setelah aku menjadi pilot, kegiatan ini sudah jarang ku lakukan. Apalagi bersama Zalna, aku bahkan lebih akrab dengannya dari pada dengan adik yang satu rumah dengan ku. Kami sama-sama memiliki hobi berenang, jadi kegiatan ini paling menyenangkan kami lakukan bersama. "Gue kuliah di Jakarta." "Di sono kenapa emang?" tanyaku. Di Jogya bukannya ada juga universitas yang sangat melejit namanya di Indonesia. Apalagi otak Zalna yang memang sangat encer. Kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta ? Hidup disini itu nggak seenak kelihatan disinetron ya. "Pingin disini, lagian mas Deki tinggal sendirian di Jakarta." Ungkapnya. Deki adalah kakak tirinya, mereka tidak memiliki hubungan darah sedikitpun. Orangtua kandung Zalna memilih berpisah dan Ibu nya Zalna menikah lagi dengan seorang lelaki. Dari papa tirinya itulah  Zalna mengenal Deki, anak Papa tirinya dari pernikahan nya sebelum bersama dengan ibu Zalna. Aku juga cukup akrab dengan Mas Deki. Baik dan asik banget orangnya. "Lo nggak takut apa? Gimana kalau lo diapa-apain sama Mas Deki, gue nggak maksud apa-apa, Cuma parno aja." tanyaku. Ya, mereka benar-benar adalah orang lain walaupun ibu dan ayahnya sudah menikah. Kalian pasti sudah sering mendengar bahwa hubungan terlarang antar saudara tiri kan? Aku parno. "Takut apa? Lagian, gue pacaran sama dia kok." Aku yang tadi sedang menyelam buru-buru bangkit, mendengar penuturan Zalna membuatku terkejut bukan main. "Zaaaaal!” Pekik ku terkejut, “Lo pacaran sama mas Deki? Gila lo." Teriakku tak percaya. Sah-sah saja memang kalau mereka pacaran bahkan menikah. Tapi, come on, tabu banget nggak sih kalau pacaran dengan kakak tiri? Jadi ngeri, gimana kalau nanti aku yang kejadian gitu, dih najis banget. Aku dan Clarisa memang tidak dapat bersatu seperti  Zalna, tapi itu juga sedikit ngeri, bukan? "Santai aja, Kak! Gue sama dia masih backstreet kok. Masih takut kalau ibu bapak tau nantinya. Ya, gue sih berharapnya aman aja. Gue sayang banget sama dia, Kak." Ungkapnya sambil tersenyum lebar. "Sumpah, geli gue." Zalna malah tertawa terbahak-bahak mendengar penuturanku. Sama-sama mempunyai saudara tiri, jujur membuatku sedikit waspada. Rada geli-geli gitu nggak sih dengar nya ? Pacar ku adalah saudara tiri ku. Dih, amit-amit. ***             Malam ini benar-benar sepi sunyi yang teramat dalam. Aku nggak tau harus ngapain. Bikin stress karena meras benar-benar bosan. Ke diskotik ? Tambah pusing euy dengar music jedag-jedug. Ngumpul sama anak-anak? Belum ada niat buat jadi nyamuk sih gue. Teman-temanku rata-rata sudah memiliki pacar. Aku membuka ponsel pintar milikku dan mulai berselancar, beberapa menit sudah lewat aku nya hanya nge-scroll saja. Ya Tuhan, hamba mu ini gabut Sekali.             Oh ya, Arabella. Tiba saja aku teringat nama gadis itu.             Aku mengetikkan keyword namanya di papan selacar dunia maya ini, mana tau dapat. Aku yakin, semua orang sekarang sudah punya **. Cliiingg… Dapat gan. Aimak, cantik banget sih anak orang. Gila, seumur-umur Cuma Arabella yang bisa buat aku drunk sama dia. Kira-kira udah ada yang punya belum, Neng? Kayak kesan pertama bertemu itu loh benar-benar berkesan. Anak nya cantik banget, benar-benar bikin pangling. *** Arabella POV.             Malam yang sepi, sesepi hatiku. Galau judulnya malam ini. Masih di episode malam sepi ya guys. Demi apa, Andra baru saja mengundangku untuk ikut merayakan pertunangannya yang akan di selenggarakan sekitar 9 hari lagi. Ini sangat tidak baik untuk hatiku. Aku sudah ikhlas, suer deh. Tapi sah saja kan kalau aku masih berharap banyak dan juga ikut merasakan kesakitan ditinggal oleh kekasih? ya sah lah. Ini udah 2 tahun loh semenjak hubunganku dengan Andra kandas, tapi ya lagi-lagi itu, rasa cinta yang terlalu besar tidak bisa terhapus begitu saja.             “Asik bengong lo!” tegur Kayen sambil mengetok kepalaku dengan kaleng soda yang diambilnya dari kulkas.             “Sakit, Yeeen!”             “Biar lo sadar, mantan mau tunangan masih aja digalau-in.”             “Jangan asal nyablak lo, Yen!” omelku. Kayen malah tertawa keras. Emang benar sih, aku mikirin Andra. Ya tapi bisa nggak sih, nggak usah diperjelas gitu. Kan nampak banget aku ngenesnya.             “Katanya udah move on, mana? Mana?” cibirnya lalu tertawa lagi. Aku mendengus kasar. Benar, sulit banget buat move on deh ya. Nggak tau pasti apa yang sebenarnya aku galau-kan saat ini. Jika di tanya apa aku masih cinta sama Andra, jawabannya ya nggak, tapi kok masih sakit aja ya hatiku. Love is ribet deh ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD