PART 3

2345 Words
"Den, disuruh Tuan turun ke bawah." Ujar Bik Dena menyampai pesan dari papa untukku. Apalagi sih mau nya? mau nggak mau aku menuruti kemauan Papa. See, Bu Gina duduk disamping papa sambil lenyeh-lenyeh manja. Dulu aja, Bunda ku nggak pernah digituin deh sama papa. Segitunya ya cinta sama Bu Gina? Bu Gina itu ibunya Clarisa. Satu hal yang masih membuatku bingung, Clarisa itu anak siapa sih? Kok nggak ada mirip-miripnya sama ibunya tapi malah mirip banget sama aku. Ok, kita satu bapak. Tapi ada kek satu petunjuk jika mereka ini emang ibu-anak. Bingung deui. "Apaan?" tanyaku begitu sudah berdiri dihadapan kedua orangtua ini, cih malesan banget harus ngelihat mereka. Apalagi posisi Bu Gina itu, sumpah muak banget aku lihatnya. Mereka pikir, umur mereka masih tujuh belasan kali, dunia milik berduan doang. Pa, kok malu-maluin sih?! "Sampai kapan kamu bersikap nggak sopan gitu, Lang?" tanya papa menajam dengan menahan geramnya.  Sampai nggak ada lagi sakit di hati aku, Pa! Sampai aku tau kenapa papa jadi orang terjahat yang pernah aku jumpai, sampai Bu Gina minggat dari papa, sampai Clarisa nggak pernah manggil papa dengan sebutan 'Papa' lagi. Dumel ku dalam hati. "Langit naik aja kalo gitu." ujarku sambil mengambil ancang-ancang mau kembali ke lantai atas. Apa banget, aku malas banget kalau papa udah ngomong gitu. Dari samping, aku bisa melihat Bik Seri memberi peringatan dengan gelengan kecil. Ya, aku sudah tahu kodenya itu. Dia panutanku saat ini, nggak ada alasan aku harus nolak dia. Udah deh, Bunda kedua. Kalau Bu Gina, dia hanya parasite dalam hidupku, bagian yang nggak pernah penting. "Duduk, Lang." titah papa tegas dan aku menuruti kemauannya. "Besok sore, Papa dan Mama akan mengunjungi perusahaan Eyang yang ada di Belanda. Kemungkinan kami akan pulang 3 bulan mendatang karena sekalian liburan juga." Jelas papa panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut. Kenapa harus repot-repot ngelapor sih ya? Ngebebanin aku aja. "So?" tanyaku yang belum bisa menangkap maksud papa. Papa itu hobi banget deh basa-basi nggak jelas, terus nanti akhiranya nyusahin. Jangan bilang kalau aku harus mengurus perusahaan, jujur aku sama sekali nggak ngerti masalah itu. Aku bukan orang yang sanggup berlama-lama di dalam ruangan dan b******u ria dengan dokumen-dokumen yang tebal itu. Aku nggak ngerti bisnis, secuil pun tidak. "Kami titip Clarisa. Tolong jagain dia" BOOM. "A-apa?” tanya ku terkejut. “No. Nggak ada titip-titipan ya. Emang nya Clarisa bolu talas bogor, dititip segala. Langit nggak mau. Lagian besok Langit ada penerbangan." Ujarku menolak keras permintaan papa. Kan, nggak salah aku bilang, akhirnya pasti nyusahin. Aku harus menjaga Clarisa? yang benar saja. Aku nggak akan sudi melakukan itu. Bisa-bisa jadi jelly itu anak aku kerjain nanti. Jiwa Zeus ku sudah cukup terasah selama ini. Jangan biarkan aku mempraktikannya. Kalau kemarin aku hanya menampar nya, bisa-bisa aku cekik itu anak lama-lama lalu Rest In Peace deng. Aku paling nggak bisa nahan emosi kalau sama gadis satu itu. "Kami tau, Lang. Kamu kerja. Tapi dia Cuma punya kamu di Jakarta." Kini giliran Bu Gina yang angkat bicara. Gue tau lo cuma alesan. "Bawa aja sekalian sana." Ujarku dingin. Cuma punya aku? Emang aku siapanya dia coba? Oh, adik tiri ya. Tante-tante nya itu mana? atau nggak eyangnya deh. Titip ke siapa kek. Ngapan juga nitip ke aku. Udah tahu aku musuh banget sama itu anak, nggak benar nih orangtua. Lagian, Clarisa bukannya udah kuliah? Udah gede dong, ngapain dititip lagi sih. Ngeri banget ditinggal 3 bulan gitu ah, gimana kalau nanti malah kejadian kayak Zalna. Astaghfirullah, kok malah melenceng sih!!. "Sekali aja, Lang. Kamu tega banget sama papa." Mohon papa padaku. Yang tega sebenarnya siapa sih Pa? Langit? Papa banyak guyonan deh. Papa yang tega sama aku dan Bunda. Papa yang nggak pernah nyadar, Pa. "Sok iye aku ngeiya-in Pa." "Cukup Papa dan Mama aja yang kamu benci, Lang. Jangan Clarisa, Dia adik kamu juga, Nak!" "Aku nggak mau Pa. Ngerti nggak sih?" ujarku jengkel. Aku harus mendebat perkara ini sampai tuntas. "Kamu cukup jagain dia kalau kamu ada di rumah, that's it." Jelas papa lagi. "Kenapa nggak dititip ke tante nya atau siapa gitu?" tanyaku menawar. Sekilas Bik Seri lewat dari belakang sofa tempat papa duduk dan memberi kode 'jangan ngebantah'. Sok iye deh si Bibi, gitu amat sih. Nggak tau apa aku bakal menderita kalau ngejagain dia. Duh aku menyerah dengan terpaksa, dicatet ya. Ini hanya sebuah penyiksaan dan paksaan. "Lang, papa mohon!"             "Iya deh, iya." jawabku malas. Lord, semoga ini bukan keputasan yang salah , Aamiin Akhirnya papa dan Bu Gina tersenyum lebar ke arahku sambil mengucapkan terimakasih. Apa banget gini. Kayaknya 3 bulan kedepan aku bakal jarang nangkring di rumah. Stress banget Langit, Ya Lord. "Tenang, uang jajan dia masih papa yang nanggung kok." Terserah Pa, Langit mah apa. Gimana suka papa aja deng, aku nggak tertarik ngebahas yang ginian. Bukan masalah uang jajan, Papa! Masalah Internal jiwa dan batiniah ini teh. Papa nggak bakal ngerti juga.  Aku kembali ke latai atas untuk meratapi nasib. Gini amat, Gusti. *** Papa dan Bu Gina sudah berangkat 3 jam yang lalu, itu artinya kini sepenuhnya Clarisa tanggung jawabku. Belum apa-apa aku udah ngerasa ini ngeberatin banget, duh nggak ikhlas nih ya. Aku ngelakuin ini karena Bik Seri, kalau nggak mana mau. "Den, Bibi harus balik ke Bogor ini ya, Mbak Hera mau lahiran." Lah ini Cuma becanda kan? jangan-jangan supertrap lagi. Bik, jangan balik dong. "Ahh, bibi gitu mah." Rajukku. Egois juga sih. Mbak Hera mau brojol malah aku tahan emaknya jangan pulang. "Ada Bik Dena kok, Den." "Ikut juga deh ke Bogor." "Nggak, itu adek kamu gimana. Jangan macam-macam ya." Ujarnya dengan nada tegas. Nih Bik Seri, kalau udah gini, nyeremin banget. Kan udah aku bilang, beliau sudah seperti bunda kedua bagiku, kalau aku ngeyel tetap aja ditegur. "Ih, malesan banget, Bik. Ikut aja ya?" pintaku lagi berusaha merayunya. "Nggak, itu mantu Bibi udah nunggu diluar. Bibi langsung caw ya, Den." Aku hanya berenggut saja. Sumpah nggak asik banget nih kalau udah gini, Cuma ada Bik Dena yang masakannya nggak aku suka ditambah si kunyuk itu. Lengkap sudah penderitaanku malam ini. Aku hanya meratapi kepergian Bik Seri dengan sedih, pasti Bik Seri bakal sibuk sama cucu barunya itu. Huff, semua nya pergi. Clarisa turun dari lantai atas dengan dandanan lengkap, mau kemana ini? Belum juga satu hari, udah mulai bertugas aja aku tuh. "kemana lo?" tanyaku. Clarisa hanya memutar matanya malas dan berlalu begitu saja. Gini nih remaja, pas kita buang mau nya disayang-sayang, pas kita perhatian malah dikacangin. Songong banget ini bocah. Aku berjalan mendekatinya dan menahan langkahnya. Jangan bilang kalau dia mau ke diskotik. "Apaan sih?"tanyanya jengkel. "Ke bar lo?" tanyaku. "Kalau iya kenapa? lagian papa nggak ada." Ujarnya. Aku tertawa mengejek lalu menoyor kepalanya. Kan, songong banget ini bocah. Baru 3 jam papa ngancir dari rumah, ini bocah langsung berulah. "Balik ke kamar lo. Sekarang!!!!" ujarku tegas. Bukannya menuruti, Clarisa malah mendorongku kebelakang dan mencoba kabur. Aku mengejarnya sampai di pintu gerbang rumah. Lalu menjambak rambut lurusnya. Astaga, udah  mirip di drama-drama gitu kagak? "Mau lo apa sih, Cla? Gue udah baik ya mau jagain lo." Kataku sambil menyeretnya kedalam. Clarisa meringis sakit sambil memukul tanganku. "Ngapain juga di rumah. Cla nggak ada teman. Lepasin gue, Brengsek.” Makinya. Udah deh, makian dan kata kotor udah jadi sesuatu yang wajib di setiap pertemuan kami. "Baca buku lo. Katanya lo udah mahasiswa. Kok males-malesan." Hardikku. "Suka-suka gue dong." Sumpah ya anak ini nyolot banget. "Masuk nggak lo?" tanyaku penuh ancaman, bukannya takut, gadis cilik ini malah menyipitkan matanya dan membuang mukanya. "Nggak, gue nggak mau." Oke, berarti itu emang yang terbaik buat kamu. Aku udah nggak mau nahan-nahan lagi. Aku mendorong tubuhnya keluar dari pintu utama rumah, tidak lupa satu tolakkan di kepala udangnya itu. "Terserah lo. Kalau lo kenapa-napa, lo lapor sama bapak lo sana." Aku menutup pintu rumah dengan sedikit membanting. Nih gini, yang paling aku benci dari gadis labil itu, banyak bacot nya, akhlasless. Lebih baik aku tidur sekarang, yang ada lama-lama aku stress kalau ngehadapin itu bocah. Bik Dena melihatku dari arah dapur lalu menggeleng pelan. Duh, gawat nih kalau Bik Dena bocor. "Bik, jangan bilang sama Bik Seri ya!" Pintaku. Bik Dena hanya mengangguk pelan, untung baik. Ok, aku butuh tidur sekarang. *** Malam terus berlarut, sudah jam 2 dini hari, Clarisa juga belum pulang. Langit yang sedang tidur pun terbangun, teringat-ingat akan adik tiri nya yang keras kepala itu. Walau kadang kali, Langit suka memaki dan memarahi Clarisa, tapi jauh di dalam hatinya, sebenarnya ada sedikit rasa sayang untuk adiknya itu, namun tertutup sempurna oleh rasa benci dan dendam yang berkepanjangan. Langit mengacak rambutnya pelan dan turun menuju dapur. Ia ingin mengisi perutnya dengan mie instan. Makanan kesukaan semua umat manusia. Clek... pintu utama terbuka dan tampaklah Clarisa yang sedang di papah oleh kedua temannya. Sepertinya mereka semua sedang dalam keadaan mabuk, tapi Clarisa lebih parah. "Kak, tolongin dong." Seru salah satu teman Clarisa pada Langit. Bukannya menolong, Langit malah kembali fokus dengan mie intans nya. "Dia pingsan kak." Ujar yang satunya lagi. Pingsan? kok bisa? "Gimana cerita nya si kunyuk itu pingsan?" tanya Langit. Kedua teman Clarisa meletakkan tubuh lunglai Clarisa ke atas sofa. "Sebenarnya tadi Clarisa hampir diperkosa, Kak! Mungkin karena shok banget, makanya pingsan." Langit menatap kedua teman Clarisa sengit. Hampir diperkosa katanya. Langit hanya ber-oo-ria. Terkesan tidak ngin peduli. Teman Clarisa sudah terdiam kikuk tidak tahu harus melakukan apapun, apalagi melihat sikap cuek Langit. "Yaudah, makasih ya. lo kalo mau nginap, naik aja ke atas. Bocah ini biarin aja disini." Ujar Langit dengan tenang lalu menyendok mie instans buatannya. Kedua teman Clarisa dibuat bingung dengan kelakuan Langit, serius gitu aja respon nya ? Tak berapa lama kemudian, Clarisa siuman. Langit yang sedang duduk di seberangnya hanya menoleh sedikit lalu kembali memerhatikan tayangan bola yang sedang berlangsung. Kedua teman Clarisa yang tidak beranjak dari sisi Clarisa tersenyum senang melihat temannya sudah bangun. Namun, kembali punah ketika melihat sikap dingin mlik Langit. Mereka jadi meragukan, itu kakak nya atau apa sih? Kok batu banget. "Sini lo, setoran dulu." Titah Langit pada Clarisa yang kini sudah duduk sambil mengumpulkan sisa nyawanya. Entah apa maksud setoran yang diucap Langit, Clarisa hanya menurutinya.Tanpa babibu, Langit menjitak kepala Clarisa dengan keras, biasanya hanya toyoran, kini sudah naik level. Bukan sekali, tapi hampir tiga kali. "Otak udang." Maki Langit. Clarisa meringis sakit. "Ada otak nggak di pakai." Satu jitakan lagi mendarat di kepala Clarisa. Kedua temannya melihatnya sambil bergidik ngeri melihat kekejaman kakaknya Clarisa. "Kalau tadi lo beneran diperkosa gimana?" Clarisa diam seribu Bahasa lalu menangis lagi. Langit menahan geramnya dengan meremas rambutnya kasar. "Huhuhu...Kenapa kak Langit peduli?" tanya sambil terisak menangis. "Masyaallah, udah gue bilang sama elo, Cla. lo tanggung jawab gue, lo tetap aja adik tiri gue. Emak lo nitip elo ke gue. lo sadar nggak sama apa yang elo perbuat? Pulang-pulang emak lo dari Belanda, eeeh, anak gadisnya udah bunting aja, diperkosa pula. Nggak mikir lo?!" ceramah Langit panjang lebar sambil sesekali menoyor kepala Clarisa. Mendengar penuturan Langit, Clarisa menambah volume tangisnya. Kenapa Ia segitu tololnya, tidak memikirkan panjang kedepan. Jika dlihat-lihat, Langit sudah seperti emak-emak yang nasehatin anaknya jangan pacaran. Ngomel aja kerjanya. "Tidur sono." Titah Langit. Mau tak mau Clarisa menuruti perkataan Langit. Ketiga gadis muda itu naik ke lantai atas untuk beristirahat. Beruntung saja Clarisa tidak jadi di gagahi. Entah apa yang akan langit lakukan jika hal itu benar-benar terjadi. Sebenarnya tadi, Clarisa hangout bersama kedua temannya. Memang, selama memasuki bangku kuliah yang sudah berjalan tiga minggu ini, ada yang mendekati Clarisa, namanya Tomi. Ia dua tingkat diatas Clarisa. Kebetulan tadi, Tomi juga berada di bar yang sama dengan Clarisa. Jadilah mreka memutuskan untuk mojok sebentar. Clarisa yang hanya mengenal Tomi secara Cuma-Cuma tidak tahu kebrengsekan seniornya itu, jadilah Ia hampir diperkosa. Untung saja kedua temannyaa bergerak cepat untuk menyusul. *** Arabella POV Nggak pernah dalam hidupku merasa deg-degan hanya dalam sekali tatap, sumpah. Tapi Langit, dia berbeda. Setelah pertemuan perdana kami, aku terus teringat akan Langit. Sumpah, dia itu suami-able banget sumpah! Badannya itu agak sedikit lebar, tinggi badannya kebangetan, dih, tampangnya apalagi, ganteng rupawan. Apalagi kata Zola lelaki itu adalah pilot. Ahh pasti gagah banget kalau dia pakai seragam. Aku bergitu terpesona dengan 2 hal dari Langit itu, pertama wajahnya dan kedua adalah cara Ia berbicara, lugas dan mendalam, suaranya seksi gila. Aku benar-benar takut jika perasaan ini adalah jatuh cinta. Aku benci apapun itu mengenai cinta. Bulshit semuanya. Dia bisa buat aku lupa untuk membenci lelaki sesaat. "Kenapa sih, Ra?" Tegur Kayen melihatku senyum-senyum nggak jelas. "Nggak ada kok." cuma mikirin pilot ganteng  yang aku jumpa kemarin itu.  Aku sama sekali tidak pernah melihatnya yang sedang memakai baju pilot, ah jadi penasaran se-hot apa Langit jika dalam balutan seragam pilot. "Jangan-jangan gejala nggak waras kali lo!" Kayen meraba dahiku mengecek suhu badanku. KUrang aja si Kayen, untung teman baik.  Pengen aku musnahkan juga ini Babon. "Babon gila. Gue masih sehat." Sewot Arabella. "Abisnya lo sih, nggak jelas banget." Ujarnya sambil menimpukku pakai bantal sofa. "Lo tahu apa, Andra tadi belanja di butik lo sama Izona." Ungkap Kayen memulai ghibah malam ini. Emang ini mulut si Kayen harus dirukiyah. "Stop ngurusin hidup orang lain, Kayen!" ujarku jengah. "Orang lain lo bilang? Andra itu mantan tersayang lo, Ra!" Benar-benar nih Babon sinting ini. Ngapain juga diperjelas posisi Andra itu. "Terserah." aku meninggalkan Kayen sendirian di runag tamu, ogah ghibah masalah mantan sama itu manusia. Andra adalah mantan terindahku. Kurang setia apa aku selama itu terus bertahan disamping Andra? Dia masih belum jadi siapa-siapa seperti saat ini waktu itu, masih sama-sama berjuang untuk mewujudkan mimpi. Ya emang dasarnya cowok, nggak bisa bertahan ketika dia udah sukses. Andra diterima menjadi seorang manejer  di sebuah perusaan besar saat itu, lalu hubungan kami tidak jelas. Aku sibuk mengerjakan skripsiku dan Andra mulai sibuk dengan pekerjaannya. Umur kami terpaut 2 tahun, jadilah dia lebih cepat bekerja. Nggak pernah aku merasa sesal seperti ini, memperjuangakan cinta bersama orang yang telah berkhianat dibelakangku. Selama 2 tahun kami berpacaran, ternyata Andra memang sudah duluan selingkuh hati dengan wanita lain. Begitu Ia sukses, selingkuh jiwa dan raga pun dibabatnya. Aku benci, kenapa harus aku yang menjadi orang yang diselingkuhin? Nggak elit banget. Jangan tanya gimana hancurnya aku saat itu, stress skripsi ditambah diselingkuhin pacar. Runyam banget sumpah. Mulai dari itu, aku menanamkan prinsip untuk tidak lagi berkomitmen hati dengan lelaki, aku menolak keras lelaki mengusik kehidupanku.  Tapi sepertinya aku tidak bisa menepis Langit dari kehidupan fantasi liarku. Dia sudah menjadi canduku. padahal cuma beberapa jam saja kami menghabiskan waktu. Oh Lord, bagaimana ini solusinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD