3. Garis Takdir yang Berbeda

1008 Words
Peserta terakhir keluar dari ruang wawancara. Semua orang menoleh ke arah perempuan cantik dengan tinggi semampai tersebut. Lalu tak lama kemudian, salah satu orang yang tadi mewawancara mereka, orang yang merupakan panitia dari acara wawancara juga keluar dari ruangan. “Baiklah, terimakasih semuanya!” seru ketua panitia tes wawancara di hadapan semua calon karyawan baru. “Hasil pengumuman akan di beritahukan setelah jam makan siang selesai. Kalian diharapkan berada di sekitar perusahaan saat mendapat hasil wawancara karena setelah hasilnya keluar, calon pellamar yang lolos akan langsung melkukan screening, pencetakan kartu karyawan dan juga office tour,” terang pria berkepala plontos itu panjang lebar. “Baik, Pak!” seru semua orang serentak, termasuk Ibra yang masih berusaha mendekati Salwa, gebetan barunya. “Salwa mau kemana?” tanya Ibra, menebar senyuman yang selalu ia pamerkan kepada targetnya. “Ehm.” Salwa melirik jam di pergelangan tangannya. Masih pukul setengah sebelas, cukup lama sampai jam waktu makan siang tiba. “Mungkin aku nunggu di kafe seberang, Mas,” jawabnya sopan. “Wah, kebetulan banget kalau gitu. Aku juga mau ke sana.” Ibra tersenyum semakin lebar. “Kita bareng aja yuk,” imbuhnya kemudian. Modus sekali pria satu ini. Salwa diam sejenak, menimbang nimbang tawaran dari pria yang baru saja dikenalnya beberapa jam yang lalu itu. Mengingat obrolannya dengan Ibra cukup lancar dan sepertinya dia pria yang baik, jadi Salwa akhirnya mengangguk dan mengiyakan ajakan Ibra. “Yes!” seru Ibra dalam hati. Modusnya berjalan dengan lancar. Ibra dan juga Salwa berjalan keluar gedung, beriringan menuju kafe yang letaknya tepat di seberang gedung Ganesha. Dari dalam gedung, kebetulan Kenzo baru saja keluar dari lift saat melihat mereka berdua lewat dinding kaca di depan lobi. Pria itu tengah mengantar kliennya ke depan lobi setelah mereka selesai rapat yang cukup alot. “Terimakasih, Pak Kenzo,” ujar Pak Ardi, petinggi perusahaan yang bekerjasama dengan Perusahaan Ganesha. Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Kenzo. “Sama sama, Pak Ardi.” Kenzo menerima uluran tangan Pak Ardi. “Semoga kerjasama kita bisa berjalan dengan lancar,” imbuhnya kemudian. “Tentu saja.” Pria akhir 50-an itu tersenyum jumawa. “Kalau begitu, saya pamit permisi. Kalau saja saya tidak ada acara makan siang dengan klien, mungkin kita bisa mengobrol di luar kantor sambil minum kopi,” kelakar pria itu lalu tertawa. Kenzo hanya tersenyum seadanya. Benar benar pria yang irit. “Ngomong ngomong.” Pak Ardi diam sejenak. “Apa kamu sudah menikah?” tanyanya kemudian. Kenzo sempat terkejut mendengar pertanyaan Pak Ardi barusan. Namun ia dengan cepat menutupi keterkejutannya dengan raut wajah datar. “Belum,” jawabnya singkat. “Hehm, menarik. Kebetulan anak saya juga belum menikah. Siapa tahu kalian cocok,” celoteh Pak Ardi kembali berkelakar. Meskipun kali ini bercanda yang mengandung sedikit rencana nyata. Kenzo adalah tipe pria mapan idaman semua orang. Mantu idaman yang masa depannya cerah. Di usia 28 tahun ia sudah menyandar gelar sebagai General Manager, dengan kerja kerasnya sendiri tentu saja. Mengingat orangtuanya berada di Amerika dan berbisnis di sana. Kenzo menatap punggung Pak Ardi yang semakin menjauh. Ia lalu menoleh kembali ke arah menghilangnya perempuan dan laki laki yang tadi. “Pak Kenzo!” panggil Aji, sekretaris Kenzo. “Hehm, ada apa?” tanya Kenzo menoleh ke arah sekretarisnya. “Apa kita akan kembali ke kantor pusat?” tanya Aji kemudian. Kenzo mengecek jam di pergelangan tangannya. “Jadwalku selanjutnya apa?” tanyanya kemudian. “Hanya mengecek beberapa file dan laporan, Pak.” Jawab Aji yang sudah hafal dengan jadwal Kenzo tanpa perlu melihat ke arah tablet. “Tidak ada rapat penting ‘kan?” tanya Kenzo lagi. “Tidak ada, Pak.” Aji menggeleng. “Ya sudah, kalau begitu kamu saja yang kembali ke kantor. Saya ada urusan sebentar. Nanti saya kembali setelah jam makan siang selesai,” ucap Kenzo pada akhirnya. Sebenarnya ia punya niat untuk menemui perempuan yang tadi. Perempuan yang namanya saja ia tidak tahu siapa. “Baik, Pak... Eh, tunggu sebengtar, Pak.” Aji mencegah kepergian Kenzo setelah mendapat notif email di ponselnya. “Sepertinya Pak Kenzo harus kembali ke kantor sekarang,” ujarnya kemudian setelah membaca email. “Kenapa?” tanya Kenzo, terlihat tak suka dan juga kecewa. “Pak Dilo sedang menunggu Anda di kantor pusat. Katanya Beliau ingin membahas iklan pariwisata yang sedang perusahaan kita kerjakan,” ujar Aji. “Bukanya kita akan membahasnya lusa. Sesuai jadwal yang sudah disepakati sebelumnya. Saya tidak suka mengerjakan sesuatu tidak sesuai aturan. Kalau ia ingin membahasnya, tunggu sampai lusa,” ujar Kenzo, tidak perduli jika orang yang ia bicarakan adalah Menteri Pariwisata Indonesia. “Masalahnya Beliau harus pergi ke Thailand selama 2 minggu ke depan, Pak.” Aji memperlihatkan email yang barusan di kirim ke ponselnya. Kenzo menerima ponsel Aji lalu membaca dengan cepat isi email tersebut. Pria itu menghel nafas pelan. “Ya sudah, kita kembali ke kantor,” ujarnya kemudian. Bukan karena isi email tersebut, melainkan siapa yang sudah mengirim email tersebut. Sebenarnya Kenzo tidak perduli jika Pak Dilo pergi ke Thailand yang artinya harus menjadwal ulang pertemuan mereka. Tidak ada previlage untuk siapapun, itulah prinsipnya. Hanya saja, orang yang mengirim email barusan adalah atasan Kenzo, yang artinya ia harus mengikuti aturan dimana sebagai bawahan harus menjalankan perintah atasan. Pak Gibran, atasan Kenzo meminta pertemuan di ajukan menjadi hari ini dan Kenzo bisa apa selain menerimanya. Kalau tidak ada perintah langsung, Kenzo tidak segan segan untuk membatalkan pertemuan. Harus sesuai jadwal yang ada. Jika di tunda, terus harus menunggu jadwal yang baru. Kenzo akhirnya kembali ke kantor bersama Aji dan juga salah satu asistennya. Ia memang tidak bekerja di perusahaan Ganesha ini, tetapi ia bekerja di Perusahaan G5lima, perusahaan pusat yang merupakan perusahaan induk dari Ganesha dan beberapa anak perusahaan yang lainnya. Mobil yang ditumpangi Kenzo dan juga dua oranglainnya melintas di depan kafe yang terletak tepat di samping gedung Ganesha. Kenzo sempat melirik ke arah kafe, ia melihat perempuan tadi tengah mengobrol dengan laki laki yang tadi bersama perempuan itu. Mereka sepertinya cukup dekat. "Mungkin memang bukan hari ini," ujar Kenzo dalam hati. "Atau mungkin memang tidak berjodoh," gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD