Ayam Kecap

1007 Words
Sore ini Jordiaz telah rapi, siap berangkat ke BARRA lagi. Ia bilang, akan kembali ada rapat penting. Elleanor sebenarnya curiga. Karena suaminya hanya pergi sendirian. Tidak berdua dengan Zaldi seperti waktu itu. "Kok sendirian?" tanya Elleanor, seraya membuat simpul pada dasi suaminya. Jordiaz yang kelewat tinggi dan Elleanor si Bule Cebol yang tingginya mentok di 155 cm. Jarak tinggi mereka terlalu jauh. Jordiaz harus duduk supaya istrinya itu bisa mengikat dasinya dengan nyaman. Elleanor harus menelan pil pahit sekali lagi. Tentu saja karena sikap semena-mena suaminya kambuh. Ia tidak menjawab pertanyaan Elleanor. Ia hanya diam seraya menatap wajah sang Istri. Tatapannya tajam dan liar. Seperti seekor serigala yang mengendap mendekati mangsa di tengah malam. Membuat Elleanor takut sendiri. Takut tiba-tiba diserang. "Jawab dong, Mas!" pintanya. "Apa yang harus dijawab?" Akhirnya Jordiaz angkat bicara. Tapi bukan jawaban yang diucapkannya. Melainkan sebuah pertanyaan lain. Elleanor menarik napas. Berusaha meredam percikan emosi yang mulai timbul. Ia seharusnya sudah adaptasi. Tapi sulit. "Aku tadi, kan, tanya. Kok kamu sendiri aja?" "Memang kamu mau nemenin aku?" Jordiaz menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain. "Aish ... waktu itu, kan, kamu pergi sama Zaldi!" Elleanor langsung menuju pada inti. Basa-basi lawan Jordiaz tak akan memberi faedah apapun. Tatapan tajam Jordiaz tak lagi tertuju pada Elleanor. Ia menatap ke arah lain. Tatapan liarnya sirna sudah. Berubah menjadi sebuah tatapan penuh amarah. "Jangan sekali-kali nyebut namanya di hadapan aku!" Elleanor mengernyit. "Tapi kenapa? Dia adik kamu. Apa yang salah dengan nyebut namanya di hadapan kamu?" "Elle, kamu mau aku marah?" Elleanor menggeleng cepat. Tidak marah saja sudah mengerikan. Apalagi kalau marah. "Jadi ... menurutlah!” Elleanor mengangguk cepat. Tatapan mata mengintimidasi Jordiaz kembali melekat pada dirinya. Detak jantung Elleanor meningkat intensitasnya. Tubuhnya terasa seperti tersengat listrik ribuan volt. Jordiaz mengambil alih dasinya, kemudian mengikatnya sendiri. *** Sekarang Elleanor merindukan suaminya. Sial! Apa Elleanor terlalu murahan? Tidak. Bukan murahan namanya kalau dengan suami sendiri. Tapi tetap saja. Elleanor pernah jatuh cinta saat masih sekolah dulu. Seperti yang dideskripsikan dalam sinetron, jatuh cinta memang berjuta rasanya. Elleanor bahagia bersama mantan pacarnya, meskipun pada akhirnya mereka putus. Kemudian Jordiaz datang. Dalam waktu sekejap saja, Jordiaz berhasil menarik perhatian gadis itu sedemikian rupa. Elleanor tergila-gila pada suaminya. Perasaan Elleanor pada mantan pacarnya dulu, tak ada apa-apanya. Tak peduli bagaimana kasarnya lelaki itu. Tak peduli bagaimana dinginnya lelaki itu. Tak peduli dengan fakta bahwa Jordiaz mempersuntingnya dengan sebuah kebohongan besar. Elleanor benar-benar tak bisa menolak pesonanya. Jordiaz sangat ... argh ... Elleanor bahkan tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Jordiaz seperti seseorang yang keluar dari dunia fantasi. Seseorang yang selama ini hanya dalam impian liar si bule desa. Entah bagaimana perasaan Jordiaz padanya. Lelaki itu hanya terlihat penuh nafsu. Meski kadang-kadang juga manis, sih. "Kenapa, Nduk?" tanya Araya dari seberang sana. Elleanor mengubah posisi ponselnya ke telinga kiri. Ia sebenarnya kasihan pada ibunya. Pasti tadi ia sudah tidur nyenyak. Tapi mau bagaimana lagi? Elleanor sedang butuh teman bicara. Jadi, ia harus rela dibangunkan oleh anaknya sendiri. "Mas Jordi kayaknya lembur, deh, Buk. Jam segini belum pulang!" "Ini sudah jam setengah satu lho, Nduk? Kok bisa belum pulang!" "Nggak tahu!" "Wah, PNS jaman sekarang bisa lembur sampek semalam ini juga, toh!" Elleanor mendadak menutup mulutnya sendiri. Ia lupa dengan kenyataan bahwa hanya dirinya saja yang sudah mengetahui perihal kebohongan suaminya itu. "Iya, Buk!" jawab Elleanor sekenanya. "Tungguin, Nduk! Kamu jangan tidur dulu!" "Nggak kok, Buk. Ini emang lagi nungguin Mas Jordi." "Bagus, deh! Nanti jangan lupa bikinin dia kopi! Dan kasih makanan yang enak, biar dia seneng, dan capeknya cepat hilang." Elleanor mengangguk meskipun tahu Araya tak bisa melihatnya. "Aku juga udah niat gitu, Buk. Tapi aku bingung, mau bikin makanan apa." "Tadi pagi kamu belanja apa? Suami kamu punya kulkas nggak? Kalo punya, ada simpenan bahan makanan apa aja?" Elleanor menahan tertawa. Jangankan kulkas, membeli pabriknya saja Jordiaz bisa. "Iya, Buk. Sebentar ya!" Gadis itu segera turun dan berlari ke dapur. Ia sesekali menengok kanan kiri. Takut bila aktivitas malamnya mengganggu istirahat orang-orang. "Ada ayam, Buk!" Elleanor menyebutkan bahan makanan pertama yang dilihatnya. "Yaudah, itu aja! Kamu masih inget resepnya ayam kecap pedas, kan?" "Inget dong, Buk. Mana mungkin aku lupa resep menu kesukaan sendiri?" "Yaudah. Kamu bikin itu aja. Bumbunya sederhana, nggak ribet, tapi enak. Jangan lupa ditambah bumbu cinta, ya, Nduk!” Araya terkikik di sana. “Biar suamimu tambah klepek-klepek!" Elleanor merengut. "Ih, Ibuk apaan, sih!" Ia kemudian tersenyum malu-malu. "Yaudah. Makasih banget, ya, Buk. Aku doain Ibuk cepet dapet calon suami juga!" "Woh, Dasar anak kurang ajiiiiaaaaar!" Elleanor menjauhkan ponselnya dari telinga sebelum gendangnya pecah karena teriakan ibunya sendiri. *** Jordiaz memainkan helaian rambut panjang berwarna cokelat milik Elleanor. Gadis itu sama sekali tak mengacuhkannya. Ia masih sibuk menangis. Biarkan saja Jordiaz seperti itu, sampai ia menyadari kesalahannya sendiri. "Elle," bisiknya. Muak rasanya! Jangan bilang ini hanya sekedar usaha Jordiaz untuk meminta jatah. Tidak tahu diri sama sekali! Menyebalkan! "Maaf," bisiknya lagi. Elleanor terhenyak mendengarnya. Ingin rasanya ia tetap menangis, pura-pura tak peduli. Tapi tidak bisa. "Aku takut tadi ada yang lihat. Aku nggak mau mereka curiga. Mana ada, bule Australia bisa masak ayam kecap?" jelasnya. Elleanor mengalihkan wajahnya dari bantal kepada suaminya. "Itu ayam kecap pedas!" koreksinya. "Maksudnya itu." Jordiaz masih lanjut memainkan helaian rambut istrinya. Tersenyum tipis melihat wajah sembab dan berair. "Tapi apa perlu langsung dibuang seperti itu?" "Tadi hanya refleks." Elleanor menggeleng tak percaya. Sebegitu takutnya Jordiaz jika kebohongannya tentang latar belakang Elleanor terbongkar. Tapi ia sama sekali tak memikirkan perasaan Elleanor. Ia hanya mementingkan rahasianya. "Pokoknya aku kesel. Aku marah!" Bukannya semakin merasa bersalah, Jordiaz justru tertawa. "Cute!" "Aku marah lho. Malah dibilang cute!" "Memang cute." Jordiaz menelangkupkan tangan kokohnya pada tubuh sang istri. Ia tak berbicara apapun lagi. Mata Elleanor terpejam. Merasakan hangat dan nyamannya pelukan Jordiaz. Kalau begini caranya, mana bisa ia marah lama-lama? Jordiaz curang! "Elle!" "Hm?" "Apa belum ada tanda-tanda?" "Tanda-tanda apa?" Jemari Jordiaz bergerak perlahan. Membuat bulu - bulu halus di seluruh tubuh Elleanor berdiri. Hingga akhirnya tangan itu sampai di perutnya. "Apa belum ada tanda - tanda?" tanya Jordiaz sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD