Sudah terlanjur, Naya benar tidak tidur sampai pagi, saat hampir terlelap, ibunya sudah menyorakinya kencang untuk bangun. Seumur sekolahnya, baru kali ini ia dibuat merasa ingin mengeluarkan isi otaknya.
Tugas tidak jadi masalah, banyak joki berkeliaran di pesan grupnya. Kuliah yang penting punya banyak pengalaman. Sudah itu saja, Naya ingin kuliah suka-suka, tidak kuliah juga mau apa? Mendengarkan orang tua bertengkar di rumah? Atau menikah tanpa jodoh seperti Pak Herlan? Ah! Naya sungguh tidak mau!
Terlebih, Naya pikir, ia kuliah juga tidak menjadi beban keluarga. Menggunakan waktunya yang sia-sia dengan bekerja di sekolah untuk membayar sekolah itu sungguh lebih baik.
Ratusan penawaran mengagumkan, indah, dan bergelimang datang dari gadis-gadis kemarin. Bahkan, ia sendiri sudah mempersiapkan kontes pemilihan untuk penjodohan Prince kampus itu. Namun semuanya batal, pasalnya, Naya telah merelakan dirinya untuk ber-barter hal dengan adiknya Pak Herlan semalam—menjadikannya kekasih.
“Selama ini, langkah pertama yang harus aku lakukan ketika akan menjodohkan dua orang insan yakni mengenal dekat keduanya. Sekarang, aku saja tidak ada yang dekat dua-duanya. It’s oke, anggap aja si cewenya ini selesai, karena sudah pasti mau. Tapi?! Si cowok ini bagaimana? Siapa sih ya namanya… itu….” Naya berpikir, ia berjongkok membelakangi sebuah kursi di halaman kampusnya. Kursi itu untuk meletakkan tas dan beberapa bingkai yang akhirnya terpaksa ia beli tadi.
Semua orang menatapnya heran, tapi sekali lagi, Naya sudah biasa dan tidak peduli. Ia suka berinteraksi dengan alam langsung, seperti tangannnya yang sekarang sedang menggambar-gambar abstrak di tanah berpasir tempat ia jongkok.
“Eum… Keegan…” Naya meyakinkan pikirannya dan teringat sesuatu, “-what! Siapa?! KEEGAN? KEEGAN PRINCE?!”
Ia sentak berdiri, memukuli kepalanya yang baginya payah.
[“Dia Keegan Prince. Kamu terlalu gak laku ya, sampe most wanted kampus aja gak tahu.”]
“ASTAGAA!! Itukan pria yang Dedy bicarakan kemarin. Berarti dia orang yang sama, dong? Manusia AC itu… dan aku harus dekat dengannya?” Naya mendesah bingung.
“Nay! Masuk sekarang pelajaran udah mau dimulai.”
Entah dari mana asalnya, Dedy tiba-tiba menarik tangan Naya.
Naya melepaskannya, menolak.
“Gak usah sok kenal, anda siapa, ya?” ujar Naya bergurau.
“Gak lucu–”
“Oh, iya…. Dedy yang baik hati, tolong bawakan bingkai Naya ke kelas ya... Naya ada urusan.” Naya mengambil semua bingkainya dan menaruhnya pada gendongan Dedy secara paksa.
“Gak boleh nolak,” imbuhnya.
“Heh! Mau kemana?” sergah Dedy berusaha menghentikan langkah Naya yang mengambil arah berlainan dengan kelas mereka.
“Nanti aku nyusulin, duluan aja,” jawab Naya tanpa membalik badan sedikit pun.
Dedy sebenarnya malu, muka tampannya akan ternodai dengan menggendong bingkai-bingkai tak begitu penting itu. Tetapi, itu Naya yang meminta, jika bukan Naya, siapa lagi yang akan menyusahkannya.
Naya bergegas menuju kantin. Ia tidak akan membiarkan membolosnya hari itu sia-sia. Ia tidak tahu persis di mana posisi pria bernama Keegan itu berada. Yang ia tahu adalah mobil mewahnya sudah berganti dan sudah terparkir di tempat biasanya, pasti pria itu sudah berada di kampus, kesimpulannya.
“Eum… Kantin!” Langkah tomboy Naya telah membawanya ke tempat yang tidak pernah sepi itu. Naya kesal, mengapa ia selalu menjadi pusat perhatian? Apa karena capung lemah yang ia tempel di atas kepalanya sekarang?
Naya menyapu pandangannya ke seluruh kantin. Seakan takdir benar-benar mendukungnya. Matanya menangkap pria yang menabraknya kemarin, sedang duduk makan di bagian tengah kantin.
Naya berjalan mendekat, tanpa menghiraukan bahwa di samping pria itu ada wanita sexi yang melayaninya makan.
Naya memesan minuman coklat kesukaannya, dan langsung saja duduk tepat di depan Keegan.
Keegan tidak hirau sedikitpun, dan Naya juga tidak memerhatikan bahwa gadis di sampingnya sedang naik pitam.
Bisik-bisik terdengar.
“Siapa gadis itu, dia gak tahu apa jika sedang mendekati kandang macan?”
“Lha, masak kamu juga gak tahu? Dia gadis yang viral di sosmed kampus, gara-gara ajang biro jodohnya,” rumpi beberapa gadis di seberang Naya.
Tanpa rasa bersalah atau apa pun, Naya langsung saja membuka percakapan.
“Kak, eum… mobil kakak kemarin parah, kah?” tanyanya tanpa ragu.
“Hallo, Dek! Please- deh, gak usah caper!” gertak Safaniya tiba-tiba. Gadis sexi yang berdiri di samping Keegan makan. Naya menatap gadis itu intens.
Keegan mendongak, menghentikan laju makannya. Ia tertegun, baru kali ini dirinya merasa gagal mengendalikan matanya sendiri.
Ia mengerjap, hatinya seperti terpaku, matanya mengamati sebuah wajah yang teduh, senyuman yang manis, bulu mata yang panjang dan lentik, dengan kornea mata coklat yang menawan. Satu hal yang membuat gadis di hadapannya itu berbeda, yakni seekor capung bermacam bross di ujung kepalanya.
“Hehe.. maaf ya, Kak tante, eh, Kak…”
“SAFANIYA!”
“Ya… Kak Safaniya. Aku gak caper, kok. Cuma ingin tanggung jawab aja, ya… siapa tahu, kan, ada yang butuh diganti,” ujar Naya semakin lirih.
“DUA PULUH LIMA JUTA!” bentak Safaniya kesal.
“Mahal banget, Kak. Ya udah deh… aku cicil ya?” Naya tersenyum kembali, Keegan belum juga melepaskan pandangannya.
“Sayang lihat dia! Dia ngeselin banget!”
Keegan tersadar.
“Haha… Masak gitu doang udah kesel. Kalau kesel ya pijit dong, Kak. Aduh! Kurang pengetahuan pasti… semester empat pakai jalur orang dalem,” racau Naya asal, dengan nada bicaranya yang sama sekali tidak pernah serius.
Keegan melihat ada seorang gadis di belakang Naya yang hendak mendekatinya, itu adalah salah satu fans fanatik yang Keegan berusaha hindari.
Keegan menarik tangan Safaniya, memberikan sebuah kode, ‘lindungi aku darinya,’ begitulah maksudnya demikian.
Naya masih terus meracau, “Kakak kalau marah itu yang beringas dong, bawa celurit kek, terus tebasin pohon di pinggir jalan, ambilin sampah, kan bermanfaat.”
Sungguhpun pembicaraan absurd Naya membuat Safaniya tidak fokus dan semakin sebal dengannya.
“Kak Keegan…” panggil Naya beralih.
“Ih… dasar Bocil!” ucapnya geram, meraih minuman coklat di hadapan Naya, membuka tutupnya dan menyiramkan pada kepala Naya.
Seketika perkataan Naya terhenti. Ia mengamati tubuhnya yang kini basah kuyup.
"Awhh…."
Keegan kaget. Ia menarik tangan Safaniya kasar, dan beranjak pergi.
"Oy! Bajukuuu…." teriak Naya.
Pak Herlan datang untuk memesan makanan.
Naya menjadi bahan tertawaan seluruh kantin.
"Tadi itu berlebihan!" kata Keegan di tempat yang menurutnya sudah lebih aman.
"Apaan, sih, Kak. Kan kakak yang minta!" Safaniya mendengus, melipat tangannya angkuh.
"Tapi gak segitunya!"
"Gue kesel sama tuh cewek, sok asik!"
"Lagian yang aku suruh usir bukan gadis itu, yang di belakangnya," tampik Keegan.
Safaniya melihat, "Zoya? Ouh ya udah sih! Gitu aja berlebihan amat. Lagian, kakak kenapa diem aja, sih? Tumben banget sama tuh cewek!"
"Kasian, Sa…." Keegan meminta Safaniya kembali memperhatikan Naya yang belum juga bangkit, tubuhnya penuh tumpahan coklat, bajunya kotor dan basah.
"Lihat, kan?! Ka-si-han!"
Pak Herlan yang sudah memesan makanan, baru sadar bahwa sumber tawa itu adalah Naya. Dengan sedikit iba, ia akui salut, pada gadis itu yang tetap melemparkan senyum pada orang-orang yang menertawakannya.
Sebuah almamater mendarat pada tubuh Naya yang basah.
"Bangun," suruhnya.
"Dedy lihat geh! Bajunya aku basah!" Naya mengadu.
"Udah pake jaketnya. Ayo ganti."
Keegan mengingatnya, itu adalah pria yang sama, pria yang menemani gadis yang ditabraknya kemarin.
Ya! Dia seperti mengenalnya lekat, bahkan seperti sering berjumpa.
Keegan berdecih. Entah mengapa ia sangat tidak suka pria sok pahlawan seperti itu, di hadapan umum.
Pak Herlan menatap keduanya yang melintas.
"Pak uangnya?" ujar ibu-ibu kantin yang menyadarkan lamunannya.
"Ya." Pak Herlan mengulurkan uang.
Keegan pergi, diikuti Naya yang membuntut.
Di depan pintu kamar mandi. Dedy melemparkan sebuah amplop coklat tebal.
Naya memicingkan matanya.
"Ini buat apa? Ah… Dedy suruh Naya ngajuin proposal magang, ya?..." ucap Naya asal.
"Kasih ke pria itu. Bilang semuanya sudah lunas. Biar cepet selesai."
Naya mendelik saat mengetahui tumpukkan uang di dalamnya Ia bingung sendiri dengan perasaannya. Dari mana Dedy mendapatkan uang sebanyak itu? Mengapa pula ia rela diberikan padanya? Padahal, tasnya yang sobek saja ia sepertimalas mengganti.