Naya tengah pulang sekolah.
Selama ini hanya desas-desus meresahkan yang ia dengar dari sosok yang dijuluki Prince kampus itu.
Seperti apa orangnya, dan seganteng apa dia. Naya belum pernah melihatnya, pun ia tidak peduli. Lebih baik waktunya digunakan menginisiatifkan cara untuk pasangan selanjutnya yang harus ia stalk lebih dulu.
Ia memainkan ponselnya, duduk di pemberhentian bus, sembari menunggu kendaraan roda empat itu datang, ia sama sekali tidak melihat ke sekitar.
“Ya! Nice! Tanggal 14 agustus si cewek ulang tahun, jadi… saya tinggal memberikan ide dan merencanakan saja agar si cowok ini dapat membuatnya terharu. Setelah itu, paksa keromantisan! Apaan sih! Cowok gak bisa ngebucin…. Ck! Nope!” Naya bergumam sendiri, melihatnya seperti itu saja, semua orang urung untuk menunggu bus di halte yang sama, bahkan mereka banyak yang memilih untuk berdiri.
“Ekhem!” Suara batuk menggelegar keras di samping telinganya.
Naya menoleh, “Tch! Apa? Dedy juga mau dijodohkan? Sama siapa? Budget-nya berapa?” ujar Naya menaikkan sebelah alisnya, mengetahui bahwa hanya Dedy yang tidak phobia kepadanya. Meski butuh, atau tidak butuh.
“Gak perlu, pulang! Atau sebentar lagi, mendung itu semua, bakal pindah ke rumahmu.” Dedy beranjak setelah menunjuk awan yang mulai gelap.
Naya ikut beranjak, ia tahu, Dedy pasti akan mengantarnya ke rumah. Entah merasa senasib atau bagaimana, walau tidak tahu semuanya hanya Dedy yang paham bahwa keluarga Naya sedang tidak baik-baik saja.
“Itu tarok in, gak usah di bawa,” titah Dedy menunjuk pada 5 buah bingkai rusak pada gendongan Naya.
“Orang mau dibawa pulang, kok. Ngapain sih Dedy… sirik amat.” Alis Naya berkerut.
“Kamu yang ngapain! Bawain kayak gitu pulang–”
“Hemat tau! Inikan cuma rusak dikit doang, tinggal di lem, di cat, aku benerin dulu di rumah, besok dibawa lagi sama photo pahlawannya dilaminating, udah to, kalau Naya yang benerin pasti bagus.” Naya kembali menampilkan senyum elegannya, yang sebenarnya jika itu ikut dihemat, Dedy pasti suka. Tetapi, hal itu ditampilkan setiap saat, dan Dedy sudah sangat bosan melihatnya, eneg bahkan.
Dedy menekan kepalanya sejenak, “Terserah, yang penting gak nangis.” Ia meninggalkan Naya, berjalan ke seberang jalan, menuju ke motornya yang terparkir.
“Heh! Buku Kutu! Aku gak cengeng yah! Tanya aja semua temen pasti gak ada yang pernah lihat aku nangis!” Naya terus berceloteh, matanya ke depan, tangan kiri menyincing rok, dan tangan kanan menggendong 5 tumpuk bingkai beserta tas yang ia tenteng separuh.
Naya menyebrang.
TIN! TIN!
Brugh!!
Dedy tidak berkedip, semua bingkai yang dibawa Naya melesat tepat pada kaca mobil berwarna hijau. Mobil mahal, yang sekarang penuh lecet dan kacanya retak.
“ASTAGFIRULLAH! WALAUPUN PUNYA MOBIL KALAU NYETIR TETEP PAKAI MATA DONG!” pekik Naya yang langsung bangkit, walau sikunya lecet menghantam aspal, tetapi ia tidak perlu mengaduh, baginya luka seperti itu tidak perlu rasakan secara alay.
Pria yang di dalam mobil terkejut, tetapi tetap santai. Ia membuka pintu, melangkah keluar.
Naya ikut menatap pria di hadapannya. Yang tengah mengamati tubuhnya dari kepala, pundak, lutut, kaki itu.
“OH!” ujarnya pelan.
Naya tidak mengerti mengapa semua gadis kampus menatapnya sinis. Meski begitu, ia tetap tidak dapat mengelak, bahwa pria itu memang tampan.
“Tanggung jawab!” bentak Naya kasar.
“–mentang-mentang kamu orang kaya apa? Bisa mengendarai mobil seenaknya?! Pendzoliman atas pejalan kaki. Lihat! Bingkainya sudah hancur berkeping keping. Itu sayang… sekarang! Meski di-lem juga udah percuma, tidak akan lagi sama. DAN YA… SEMUA ITU GARA-GARA KAMU!
Tanggung jawab!" desak Naya.
“Oh. Udah? Kalau udah gue mau pergi." Ia membuka kembali pintu mobilnya.
"Heh!"
"Kalau nanti gue ganti semua bingkai lo, dan lo ganti kerusakan mobil gue, sanggup?” Pria itu menjentikkan jarinya.
Seketika semua gadis berlari ikut ke lokasi kejadian. “Kasih tau dia,” titah Pria itu penuh wibawa, tersenyum licik pada gadis-gadis di sekitar mobil dan melenggang pergi, menginjak seluruh isi tas Naya, yang berserak di jalan.
“AAAA!! TASKUU!!”
Sekarang apa? Mengapa semua gadis itu menatapnya kian aneh.
“Ganti rugi!!” teriak mereka bersamaan, Naya takut dan mundur perlahan dengan senyuman sok ramah.
Untung saja, Dedy kembali menyambar tangannya tepat waktu dan menyuruhnya naik ke atas motor.
“Bingkai pahlawannya?”
“Stress!!” ucap Dedy geram, mengegas cepat motornya, sebelum gadis-gadis itu datang.
“Dedyyy…. Tas aku rusak. Sebel deh, pengen beli seblak…”
“Gak usah alay cara ngomongnya. Biasa aja.”
“Hidih! Serius amet. Iya sih! Lagian, itu cowok siapa sih? Udah sok-sok-an, sok ganteng, sok cool, sok tampan, padahal mah…
-emang iya.”
Dedy menelan ludah. Ia selalu berdoa kepada Tuhan untuk memberikannya kesabaran, alhasil, doanya dijawab dalam bentuk musibah seorang Naya.
“Dia Keegan Prince. Kamu terlalu gak laku ya, sampe most wanted kampus aja gak tahu.”
“Hidih! Orang aku loh gak pernah jualan gimana mau laku. Huu… Apakah anda lihat tuan Dedy… Mari mampir ke rumah saya, di sana ada cermin yang besar, ajaib, juga dapat menyadarkan seseorang dari sisi omongannya,” jawab Naya malas.
Ia sudah turun dari motor Dedy, hendak masuk kerumah, dan demikianlah penawarannya untuk ucapan terima kasih.
Dedy tidak hirau. Ia langsung saja melaju, meninggalkan Naya masuk ke rumahnya.
Namun, ia tertawa sendiri di jalanan. Entah mengapa ia merasa itu lucu, dan sampai sesak menertawakan Naya tadi, menjadi ikut gila.
✧
“Assalamualaikum…” Naya menjejakkan kaki, ke dalam rumah, tanpa ekspresi.
“Waalaikumsalam, Naya! Kemari….” Naya mendekat, “–dengerin ibu… kalau diajak ayahmu pergi, jangan mau, ayahmu itu bisanya cuma nyusahin--”
“Hem…. ada apa to, Ma, anaknya baru pulang sekolah bukanya disuruh makan, malah di apain…”
“Alah. Gak usah mengalihkan perhatian kamu, Mas. Kamu pasti pergi buat ketemu gendaan-mu itu lagi, kan?”
Naya menatap kedua orang tuanya sendu. Ia berjalan masuk ke kamar tanpa suara.
“Makan dulu, Nduk,” titah ayahnya yang melihat Naya hendak masuk ke kamar.
Naya tetap melaju, ia masih sama. Setiap hari juga masih seperti ini. Ibu Naya terus memarahi ayahnya, dan ayah Naya bertelinga tebal.
Naya tidak mau paham dengan pertengkaran itu. Yang Naya tahu adalah, Naya tidak membenci Ibunya dan Naya juga tidak dapat menuruti permintaan ibunya untuk menyepelekan ayahnya.
Bagaimana ia dapat menyimpulkan ayahnya bersalah, jika ia saja tidak tahu apa yang tengah terjadi!
Air mata Naya menetes.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Naya ingin tidur nyenyak, tetapi tidak dapat.
“Ayah tidak pernah membalas atas kemarahan ibu, aku yakin, mau diapakan saja ayah pasti bakalan tetap diem, gak ngelawan, ayah, kan, gak bisa marah,” pikir Naya dengan ingus yang masih terisak.
Ia terlalu sulit untuk mengerti semua itu, Naya mengerti mengapa ia sangat bertentangan dengan sikap sang ibu. Sebab, hampir 80% sikapnya memang menurun dari sang ayah.
“Sampai kapan pun Naya tidak bisa membenci ayah. Maafkan Naya Ibu, juga… sampai kapanpun Naya tidak dapat meninggalkan Ibu demi ikut ayah pergi. Naya sayang kalian.” Naya menarik selimut untuk ayahnya yang kedinginan, mengeringkuk di depan televisi. Mencium kening ibunya, kemudian kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur.
Cling!
Hp-nya berdenting saat matanya hampir terpejam. Naya mengusap ingusnya asal.
“Halo Kak Naya… kenal aku tidak?” Tertulis pada pesan nomor yang tidak dikenal itu. Naya belum sempat mengetik untuk membalasnya, pesan itu masih bersambung.
“Aku Arinda adiknya Kak Herlan.”
Tulisan itu membuat Naya tercengang, melupakan segalanya. Bergegas ia membalas pesan itu.
“Tidak usah panggil Kak. Kan, lebih tua Kakak, jadi panggil Naya saja, Kak, hehe.…”
“Benar, nih ... tidak mau jadi kakak iparnya aku?”
Naya mendelik, jempolnya gemetar karenanya. Siapa yang tidak mau? Itu adalah harapannya sejak lama.
Seakan mengerti jalan pikiran Naya, gadis bernama Arinda itu menambahkan,
“Aku bisa bantu Kak Naya biar jadian sama Kak Herlan….”
“Aaa…. Makasih Kak Arinda…. Kakak baik banget, deh.”
“Eits. Selama jadi mak comblang untung tidak sih, Kak?”
Naya tertawa, perasaannya mulai gaduh.
“Untung,” jawab Naya sok polos saja.
“Eum… Kalau gitu Arinda juga mau untung dong…
-kita jadi simbiosis aja, Kak. Jadi kakak tidak perlu memikirkannya ribet.” Arinda memberikan penawaran.
“Boleh. Apa, ya, Kak?”
Otak Naya mulai tidak bekerja, yang terpenting sekarang adalah adik dosennya itu mendukungnya, kemungkinan bisa jadi 89% usahanya untuk mendapatkan Pak Herlan dapat terealisasikan.
“Aku bakal bantu Dirimu buat jadian dengan Kak Herlan…. tetapi kau harus berani menjamin, agar diriku juga menjadi kekasih Keegan Prince. Bagaimana? Setujukah? Ka- Kak Naya?” Arinda tersenyum licik dari balik ponselnya.