Niat adalah bagian terpenting dalam melakukan apa pun. Meski kuliah di universitas terbaik nomor 5 sekali pun, jika niatnya selama ini bagi seorang mahasiswi adalah dapat ijazah. Ya hanya itu yang ia pertimbangkan. Selebihnya, pasrah.
“Sumpah!! Terima kasih ya, Nay! Semua ini berkat kamu… aku gak nyangka dapat melepaskan kejombloanku yang telah melekat sedari jadi ovum ini,” ucap seorang siswi berambut panjang.
“Ah… Santai aja kali… Semuanya, is easy for me! Jangankan cuma sama ketua BEM, anak Bupati kita itu aja… Kamu tau gak sih? Dia! Cuti kuliah gara-gara saya dong yang jodohin! Hahay...” jawab gadis yang dipanggil Naya itu, ia menatap antusias pada klein lamanya, dan menanggalkan lebih dulu tangannya yang sibuk oleh pena dan buku. Kedua benda itu bukan untuk mengerjakan tugas. Tetapi, untuk membuat sketsa penjodohan klein selanjutnya.
“Oke, aku kembali ke kelas dulu. Uangnya udah aku transfer. By!”
Naya menyeringai senang, dengan seperti ini ia tidak perlu repot-repot menyela perdebatan kedua orang tuanya setiap pagi. Yang sialnya, tiap kali ia menyela, ia akan jadi amunisi nuklir amarah ibunya yang tidak pernah bertepi.
“Selesai!” Naya beranjak.
“Halo! Ded!” Naya mendorong keras bahu temannya yang sedang membaca buku itu sampai tersentak ke depan.
“Ke kantin! Aku bayarin! GASS!” Ia sudah melaju, tetapi temannya itu masih tidak beranjak sedikitpun.
“Kok diem aja... Ayok Dedyy!!” teriaknya. Semua anak kelas sudah tidak heran lagi melihatnya demikian. Ya, Naya adalah gadis paling tidak laku di kelas. Jadi, kemana-mana pasti selalu mengajak Dedy, anak lelaki kelas yang satu kaum absurd dengannya.
“Rokmu! Turunin!” perintah Dedy datar. Bagaimana ia dapat pergi dengan gadis yang sudah remaja 22 tahun, tetapi seperti preman 17 tahun.
“Oiya, Maaf!” Naya menarik ke bawah roknya yang ia cincing terlalu tinggi karena menghalangi langkahnya. Yang benar saja, rok itu sampai sobek, akibat tidak tahu aturan penarikan yang lembut.
Dedy menepuk jidat, seluruh teman telah menertawakannya. Namun, Dedy baru ingat, bahwa Naya tidak punya urat malu. Kecuali…
“Selamat pagi anak-anak!” Seorang dosen tinggi, kekar, berbaju seketat protokol kesehatan, dan berambut cepak datang.
Naya langsung menoleh ke arah pintu, mengambil alih matanya yang hendak lepas itu. Ia bergegas merapikan pakaiannya dan duduk rapi dengan tergesa-gesa.
Naya berusaha mengendalikan kakinya yang hendak naik ke kursi, menumpuknya rapat menjadi satu, dan ditutup oleh kedua tangannya, bergaya nan anggun.
“Iya, kalau ada Pak Herlan baru jadi cewek beneran,” lanjut Dedy.
Naya menoleh ke belakang dengan lembut, “Tolong Dedy diem dulu yah… Jangan berisik, Bapak Herlan akan mengajar.” Senyumnya tampak seperti waria, dengan gaya bicaranya membuat Dedy memutar bola mata, kembali membaca buku.
Selama pelajaran Naya sama sekali tidak mendengarkan apa yang dosen di depannya itu jelaskan.
Naya sudah seperti mengamati pintu surga dan tersenyum sendiri seperti orang gila.
Hanya Pak Herlan yang diperbolehkan mengenakan pakaian ketat seperti itu di sekolah. Sebab, ia juga sedang melanjutkan kuliahnya di jurusan kedinasan dan magang menjadi polisi di kecamatan, di mana Naya tinggal.
“Apa coba yang kurang? Sudah baik… tampan… seksi… gagah… pinter. Oh iya kurang satu–” Naya tidak menyadari gumamannya terlalu keras.
“Ada apa Naya?” tanya Pak Herlan, “apa ada yang kurang dari penjelasan bapak?”
Naya yang gila itu, langsung saja refleks berseru, “Istri, Pak. Kurang Aku!” Naya menutup mulutnya rapat-rapat. Apa yang ia katakan barusan?! Hatinya memaki tiada ampun.
Pak Herlan merubah raut mukanya,
“YA… Bapak memang tidak begitu senang mengajar di kelas ini! Jadi… kita sudahi saja untuk hari ini!” Dosen itu meninggalkan kelas, marah.
“Ah si Naya! Apaan sih, Nay! Mending loh kalau mau jodohin diri lo sendiri tuh liat-liat, deh. NGACA! Gak ada yang mau engga! Hahaha!” Sebuah tawa menyeruak ke telinga Naya, itu adalah suara Bella.
Ya! Dia bukan musuh atau saingan Naya. Tetapi, Naya tidak pernah suka akan gaya bicaranya, ia selalu bermodal ‘hanya bercanda’ menarik paksa topeng yang Naya kenakan.
Naya bangun dari tempat duduknya, membiarkan semua teman kelas menertawakannya, kecuali Dedy yang sama sekali tidak tertarik.
Ia menarik tangan Naya, “Kantin!” ajaknya.
Naya kembali tersenyum, “Hahaha… Pergi dulu ya guys… jangan rindu!” teriak Naya, sembari mengikuti langkah kaki Dedy yang menarik tangannya keluar kelas.
Dedy melepaskan tangan Naya, “Yang kalem, di kantin banyak orang,” ucap Dedy.
“Kalau sepi ya… di hatiku dong… hihi,” Naya kembali tersenyum dengan elegan.
“Ya udah. Kalau gak bisa kalem, pergi aja ke kantin sendiri.”
"Hey! Kan, Dedy yang ngajakin aku kemari."
"Terpaksa. Ya, mau gak? Dari pada di kantin sendirian, kayak orang ilang?!" sergah Dedy, sedikit mengancam.
“Hidih! Jangan salah ya… banyak tau yang gak malu dan mau berteman dengan Naya!” ujar Naya bersungut-sungut.
“Humph! Mana ada…” Dedy memasang muka mengejek, ia malas sekali berdebat dengan orang yang sulit diberi tahu.
“AAAA!! Kak Naya Kak Naya!”
“NAY! NAY! NAY!” Gemuruh suara membuat satu kantin melongo.
Dedy terpaksa mundur, segerombolan gadis-gadis bermacam tawon mengerubungi Naya di depan pintu kantin, dengan tiba-tiba.
Meski sebagian besar orang malu berteman dengannya. Tetapi, hampir tidak ada yang tidak mengenal siapa Naya Novitasari.
"Kak Naya, bantu aku!"
"Kak, ini ATM aku!"
"Nay! Lo seangkatan sama gue! Jadi bantu gue!"
“WOY! WOY! WOY! Tenang dulu…. Katakan yang jelas! Ada apa ini, Woy!” Naya berusaha melerai.
Tetapi, ia kewalahan sendiri. Sampai semester 3 ia berkuliah, baru sekarang dirinya merasa seperti artis. Ada yang bisa mengobrol dengannya di hadapan umum lebih dari lima menit saja, itu sudah rekor.
Nah sekarang? Ada apa tiba-tiba semuanya berlomba seperti ini? Ada yang menyuruhnya duduk, ada yang mengipasinya, menyeka keringatnya, menyodorkan uang seratus ribu, dua ribu, bahkan cilok, dan juga ada yang berebut nominal.
“Dua juta buat kakak!”
“Lima juta!”
“Sepuluh juta, Kak!”
“HOY!! DIEEEM! DULU!! Gue gak open BO!"
Mereka tidak juga mau diam. Masih baik jika yang mengerubunginya itu para pria. Ini wanita semua, dan Naya masih normal, ia tidak doyan yang sejenis.
"DIEEEMM!!" pekiknya kencang, mengguncang sampai ke atap kantin. Semuanya seketika langsung terdiam, bermacam anak TK yang dimarahi gurunya.
“Bicara satu-satu…. Ada apa?!”
Mereka kembali berebut.
Hingga, berselang beberapa menit dari saat ia mengendalikan suasana. Naya sudah tahu apa masalah mereka. Tidak perlu intro satu persatu, atau menjelaskan lagi. Naya sudah tahu bahwa sebenarnya tujuan mereka semua adalah... SAMA!
“Mereka semua meminta saya untuk menjodohkannya dengan SELEB KAMPUS ITU?! Oh, My God! Mereka gila!”
Naya memijat kepalanya di kelas. Semua anak kelas hampir mengadakan tasyakuran karena akhirnya Naya dapat duduk diam.
Siapa yang tidak mengenal pria itu? Naya juga mengenalnya, dan sejak kapan profesi keberhasilan biro jodohnya itu menyebar teramat luas sampai ke adik tingkatnya juga?
“Tapi masalah utamanya bukan itu Gusti… Masalah utamanya, cowok itukan satu orang, gimana cara jodohinnya sama lebih dari 50 orang yang menghubungi saya!! Mana ada yang sampe bawa akte tanah segala! Dikira saya ini apa Gusti?... Rentenir!” Naya memendam mukanya, jika dapat diutarakan di chat, dia ingin pakai emot menangis yang banjir-banjir itu.