SEMBILAN

2186 Words
“Tuanku!!”  Jeros tak hentinya berteriak memanggil sang junjungan yang berjalan cepat di depannya. Tak ingin kalah cepat dengan tuannya, Jeros tak kehilangan akal.  Begitu dia menggunakan kemampuan sihir miliknya, sebuah cahaya hijau tiba-tiba membungkus kedua telapak kaki mungilnya. Lalu secepat kilat cahaya hijau itu membuat kedua kaki Jeros meluncur ke depan. Meluncur terlalu cepat hingga berhasil mendahului langkah kaki Lucia yang berjalan jauh di depannya.  Pria yang berstatus sebagai putra mahkota kerajaan Lewis itu memicingkan kedua matanya saat melihat pelayan setianya tersungkur dengan wajahnya yang lebih dulu menyentuh tanah, tepat di depan matanya. Mendengus kasar karena sudah terbiasa melihat tindakan konyol pelayannya itu.  Jeros meringis kesakitan seraya memegangi hidung mancungnya yang bertubrukan dengan tanah pertama kali. Dia terlalu panik saat mengaktifkan sihirnya, alhasil dia kehilangan kendali dan berakhir mengenaskan seperti ini. Meski tak dia pungkiri, dirinya lega karena berhasil menyusul majikannya.  Jeros menegang saat mengingat majikannya. Memutar kepalanya dengan gerakan patah-patah saat dia berusaha melihat sang junjungan yang dia yakini masih berada di belakangnya. Jeros memekik kaget sekaligus takut, Lucia memiringkan kepalanya menatap Jeros dengan seringaian yang sukses membuat Jeros gemetaran detik itu juga.  “Tuanku, maafkan saya karena menghalangi jalan Anda,” ucap Jeros, saat sadar Lucia pasti marah padanya karena telah berani menghadang jalan pria itu. Cepat-cepat siluman kura-kura itu bersujud di depan Lucia. Sesuatu yang biasa dia lakukan dikala dirinya memohon ampun pada sang majikan.  “Minggir!”  Lucia mengatakannya datar, sedatar raut wajahnya kini. Jeros semakin gemetaran di tempatnya, tak tahu  harus memulai pembicaraan seperti apa agar Lucia tidak semakin marah padanya.  Sebenarnya niat Jeros mengejar Lucia sampai seperti ini hanya satu, dia ingin membujuk Lucia agar tidak menyakiti Aeera. Entah mengapa Jeros merasa iba pada gadis tak berdaya itu. Merasa kasihan jika gadis itu harus mati di tangan Lucia, apalagi saat ritual malam pertama mereka. Terlalu kejam menurut Jeros.  “Tuanku, Anda benar-benar akan pergi menemui Putri Aeera?” Tanyanya, basa-basi. Padahal tanpa Lucia menjawab pun, tentu Jeros tahu sang majikan akan menemui istrinya. Bukankah tadi Lucia sudah mengatakannya dengan jelas sebelum melangkahkan kaki?  “Memangnya Anda sudah tahu apa yang harus Anda lakukan nanti?” Lanjut Jeros, saat pertanyaan pertamanya tadi tak ditanggapi Lucia.  “Eheem ... maksud saya, ini kan pengalaman pertama Anda berduaan dengan seorang gadis. Anda tidak ingin meminta saya mengajari Anda?” Jeros berucap dengan takut-takut meski dia usahakan agar ekspresi wajahnya terlihat sebiasa mungkin.  “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Lucia cuek, sama sekali tak berminat meladeni pelayannya.  “Benarkah, Tuanku? Anda benar-benar tahu cara memperlakukan wanita dalam ritual malam pertama?” Jeros mengedipkan sebelah matanya pada Lucia, mencoba memasang raut wajah menggoda. Namun cepat-cepat dia merubah ekspresi wajahnya menjadi senormal mungkin dikala mendapati Lucia mulai menatapnya tajam.  “Begini Tuan,saya tahu Anda tidak menyukai Putri Aeera. Anda juga sangat ingin membunuhnya. Tapi ini ritual malam pertama kalian, mohon Anda menahan diri. Jangan membunuhnya malam ini. Kasihani dia, Tuan,” pinta Jeros, tulus. “Jeros.” “Ya, Tuan.” Jeros berbinar senang, akhirnya Lucia memberikan responnya. “Apa kau sedang melindunginya?” Jeros pun terpaku, dia teguk salivanya panik saat kebingungan harus menjawab apa.  “S-Saya ....” “Kau yang menyuruhku menemuinya. Dan sekarang kau mencoba menghalangiku?”  Jeros tersentak, kembali dia tempelkan keningnya di tanah.  “Bukan begitu, Tuan. Saya hanya ingin memohon agar Anda tidak membunuh Putri Aeera malam ini. Saya mohon kasihani dia.” “Apa aku mengatakan akan membunuhnya malam ini?”  Jeros mendongak, memberanikan diri menatap wajah sang majikan. Menggaruk tengkuknya seraya cengengesan tatkala dia sadar Lucia memang tidak pernah mengatakan akan membunuh Aeera malam ini.  “T-Tidak, Tuanku. Oh, jadi Anda tidak akan membunuhnya?”  Jeros spontan menundukan kepala saat Lucia melangkahkan kakinya mendekat. Kedua tangan Jeros yang menumpu tubuhnya yang tengah bersujud bergetar hebat, Lucia berdiri begitu dekat dengannya, tepat di depannya.  “Haruskah aku meminta izin dulu padamu jika aku ingin membunuhnya?” “T-Tidak, Tuan.”  Lucia berjongkok, tangan besarnya mencengkram kepala Jeros yang jauh lebih kecil dari telapak tangannya itu. Jeros semakin gemetaran, takut luar biasa. Sepanjang dia menjadi pelayan Lucia, tak pernah Lucia memperlakukannya seperti ini. Mungkinkah ini pertanda ajalnya telah dekat? Air mata Jeros bercucuran detik itu juga.  “Ampuni saya, Tuan,” mohonnya, lirih.  Dengan satu tangannya Lucia mengangkat tubuh Jeros dengan mencengkram kepala sang pelayan. Tatapan matanya datar seolah tak peduli dengan raut wajah Jeros yang kentara begitu ketakutan.  “Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan membunuhnya semudah itu. Gadis sialan itu harus merasakan penderitaan dulu sebelum mati. Kau mengerti Jeros?” “S-Saya mengerti, Tuan,” jawab Jeros, dengan air matanya yang semakin deras mengalir. “Kau mengerti apa yang harus kau lakukan mulai sekarang?” “S-Saya mengerti, Tuan.” Jeros menjerit saat Lucia mencengkeram kepalanya terlalu erat. Rasa sakit dirasakan Jeros tak ada ampun.  “Saya tidak akan ikut campur atau menghalangi Anda lagi, Tuan. Saya berjanji.”  Lucia tersenyum miring mendengar jawaban Jeros yang sesuai harapannya.  “Bagus. Sekarang, minggirlah,” ucapnya, lantas dia lempar begitu saja tubuh Jeros. Mengabaikan suara gebrakan kencang karena tubuh malang Jeros yang membentur kerasnya tanah.  Setelah itu Lucia melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Menuju Istana yang menjadi kediaman pribadinya, menemui sang istri yang pasti sedang menunggunya saat ini.    ***   Aeera duduk tenang di tempat tidur berbentuk menyerupai futon bed yang sudah tergelar di lantai. Futon itu dilapisi seprai dan selimut putih berbahan sutra sangat lembut dengan ukiran berbentuk rubah ekor sembilan khas kerajaan Lewis.  Jika gadis lainnya akan gugup bukan main dalam situasi seperti ini, dimana malam ini merupakan ritual malam pertamanya dengan sang suami. Tidak demikian dengan Aeera, gadis itu hanya menundukan kepalanya dalam dengan lelehan air mata yang tak hentinya lolos dari kedua matanya.  Dia tak peduli dengan penampilannya dimana seharusnya dia menyambut kedatangan suaminya dengan wajah cantik nan berseri. Wajahnya saat ini sangat jauh dari kata cantik. Kedua matanya bengkak dan berwarna merah. Bukan hanya mata bahkan hidung dan pipinya pun ikut memerah. Riasannya luntur dan digantikan dengan wajahnya yang basah oleh air matanya sendiri.  Kedua tangannya terkepal erat dengan gigi saling bergemelatuk. Membayangkan kejadian tadi saat dirinya menemui Raja dan Ratu, seketika amarahnya muncul ke permukaan. Tak seharusnya dia berada disini, seharusnya saat ini dia pulang ke rumah mungilnya. Berkumpul bersama ayah dan kedua kakaknya, serta mengunjungi makam sang adik yang tewas di tangan suaminya.  Aeera mendongak ketika mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Sedikit tersentak saat mendapati Lucia tengah berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu menatapnya datar, tanpa ekspresi. Padahal Aeera yakin Lucia menyadari dirinya tengah menangis.  “Apa ini sikap seorang istri saat melihat suaminya datang?”  Aeera mengusap air matanya dengan punggung tangannya begitu mendengar suara baritone Lucia yang berat menyapa gendang telinganya. Beranjak berdiri dengan enggan, lantas dia hampiri Lucia yang masih berdiri di tempatnya.  Aeera tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, sebelumnya para dayang sudah memberikan intruksi padanya mengenai pelayanan seperti apa yang harus dilakukannya pada ritual malam pertama ini.  Dengan enggan Aeera mengulurkan tangannya ke arah jubah mewah yang melekat di tubuh Lucia. Melepaskannya begitu saja tanpa meminta izin pada sang pemilik jubah. Ajaibnya Lucia tak berkomentar apa pun, dia biarkan Aeera melakukan apa yang dia inginkan.  “Duduklah, Pangeran,” ucap Aeera, berusaha menahan gejolak amarah di dalam hatinya. Dia menyentuh tangan Lucia yang ajaibnya tak ditepis oleh Lucia. Menuntun Lucia untuk duduk di depan meja kecil dimana di atasnya telah tersaji berbagai makanan mewah yang sudah disiapkan para dayang untuk mereka santap malam ini.  Dengan wajah datarnya, Lucia mengikuti Aeera. Dia duduk tepat di depan meja dengan Aeera yang duduk tepat di sampingnya.  Keheningan terjadi di antara mereka berdua, tak ada satu pun yang mengeluarkan suara.  Dengan tangan bergetar, Aeera mencoba menjalankan tugasnya sebagai seorang istri untuk melayani Lucia. Dia menuangkan air dari sebuah guci kecil ke dalam gelas. Lantas dia berikan gelas itu pada Lucia.  “Minum ini, Pangeran,” ucapnya, dengan kepala tertunduk. Tak berminat sedikit pun menatap wajah Lucia.  Lucia menerima gelas itu. Mendengus kasar dengan senyuman sinis di bibirnya saat indera penciumannya menghirup aroma dari minuman itu.  “Kau tahu minuman apa yang kau berikan padaku ini?”  Aeera menoleh, melirik sekilas pada gelas yang masih berada di tangan Lucia dengan isinya yang belum diminum Lucia setetes pun.  “Yang pasti itu bukan racun,” sahut Aeera, seraya kembali membuang muka ke arah lain. Aeera sendiri tak tahu menahu tentang minuman yang dibawakan para dayang. Tapi satu hal yang dia yakini, tidak mungkin minuman itu mengandung racun. Tak akan ada seorang pun yang berani meracuni seorang putra mahkota dan putri mahkota bukan?  “Sepertinya kau benar-benar berharap aku akan menghamilimu malam ini.”  Aeera tersentak saat Lucia melemparkan gelas di tangannya hingga gelas itu hancur berkeping-keping di lantai. Dan kata-kata Lucia tadi, sungguh Aeera tak mengerti maksudnya sedikit pun.  “Kau pikir aku tertarik untuk menyentuhmu?” “Apa maksudmu? Minuman itu dibawakan oleh para dayang. Mana aku tahu itu minuman apa?” Sahut Aeera, tak terima dengan tuduhan yang Lucia lontarkan padanya.  Meski pun dari ucapan Lucia itu, Aeera bisa menerka minuman apa yang baru saja dia berikan pada Lucia. Dia baru ingat dalam tradisi di dunia para siluman, pasangan pengantin akan meminum air yang telah diberi mantra agar mereka terlena dan kehilangan akal sehat. Sebuah minuman yang akan membuat hasrat biologis mereka naik ke permukaan, tujuannya hanya satu ... agar ritual penyatuan tubuh mereka berjalan dengan lancar. Bukankah memiliki keturunan menjadi tujuan utama dari sebuah ikatan pernikahan?  Aeera tersentak dikala tangannya tiba-tiba dicengkram oleh Lucia. Tubuhnya melayang begitu saja karena lucia mengangkatnya begitu mudah seolah tubuhnya seringan kapas. Meringis kesakitan saat tubuhnya dibanting kasar oleh Lucia ke atas Futon.  Aeera mencoba memberontak saat Lucia merangkak di atas tubuhnya, menindihnya tanpa ampun. Memejamkan kedua matanya tak ingin bersinggungan dengan iris sebiru langit milik Lucia yang begitu dekat dengannya. Wajah mereka nyaris menempel bahkan Aeera bisa merasakan hembusan napas Lucia di wajahnya.  “Dengan percaya diri kau mengatakan tidak memiliki rencana apa pun.”  Aeera bergegas membuka kedua matanya lagi saat kata-kata Lucia ini meluncur mulus begitu saja. Mencoba mendorong tubuh Lucia agar menyingkir darinya, namun berakhir sia-sia karena Lucia yang mencekal kedua tangannya terlampau erat.  “Bukan status, bukan kekuasaan, bukan kemewahan ... tapi kau memiliki rencana untuk melahirkan anak laki-laki untukku. Begitukah?”  Aeera mengernyitkan dahinya, dia benar-benar tak mengerti maksud perkataan Lucia. Jangankan melahirkan seorang anak untuk pria itu, sekadar disentuh olehnya pun, Aeera sungguh tak sudi.  Aeera menjerit kencang saat Lucia merobek pakaiannya dengan sekali tarikan. Pria itu benar-benar memperlakukan dirinya dengan begitu kasar seolah dirinya bukan seorang wanita tapi seonggok patung tak bernyawa.  Meringis kesakitan dikala kulitnya mulai dari leher sampai d**a yang tergores kuku tajam seorang Lucia De’Lewis. Pria itu menancapkan kuku panjangnya di sepanjang kulit leher dan kulit d**a Aeera yang terekspos jelas karena pakaian gadis itu yang terkoyak sempurna.  “Menyingkir dariku. Jangan sakiti aku, aku mohon,” pinta Aeera, dengan lelehan air matanya yang kembali meluncur deras.  “Kyaaa!!” Pekik Aeera, terkejut sekaligus kesakitan dikala Lucia mencabut sesuatu yang melingkar di leher Aeera. “Kalung ini bukti dari rencana busukmu.”  Aeera terbelalak, kalung dalam genggaman Lucia itu merupakan kalung yang diberikan Ratu Adena sebagai hadian pernikahan mereka. Sungguh Aeera tak tahu menahu kalung apa itu sebenarnya. Namun jika melihat wajah murka Lucia begitu melihat kalung itu, dia tahu kalung itu bukanlah kalung sembarangan.  “Dengarkan aku baik-baik w************n,” ujar Lucia, setelah dia melempar jauh kalung di tangannya. Dia kembali mencengkram Aeera, kali ini wajah Aeera yang dia jadikan sasaran.  Darah segar merembes keluar dari pipi Aeera yang tertancap kuku-kuku tajam Lucia. Aeera tak bisa menjerit atau pun meringis kesakitan karena tangan Lucia juga membekap mulutnya sempurna.  Dengan tenaga lemahnya Aeera memukul tangan Lucia yang membekap dan mencengkram wajahnya, berharap usahanya ini mampu menyingkirkan tangan Lucia darinya.  Lucia mendekatkan wajahnya pada wajah Aeera hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Menatap tajam pada kedua mata Aeera yang tak hentinya meneteskan air mata. Lucia senang dan puas karena tindakannya ini sepertinya cukup membuat gadis di bawah kungkungannya itu menderita. Memang inilah tujuannya mendatangi Aeera, dia ingin membuat gadis itu merasakan penderitaan secara perlahan karena berani bersi keras menerima pernikahan ini.  “Sampai mati pun aku tidak akan pernah menyentuhmu. Kau mau tahu kenapa?”  Aeera memejamkan kedua matanya. Dia tak ingin mendengar apa pun, dia hanya ingin Lucia segera pergi detik ini juga.  “Karena aku tidak membutuhkan wanita. Aku tidak percaya wanita. Aku sangat membenci wanita,” ucap Lucia, semakin mempererat cengkeramannya di wajah Aeera. Dia abaikan darah segar Aeera yang tek hentinya menetes bahkan menetes ke punggung tangannya.  “Menjauh dariku jika kau tidak ingin mati,” ancam Lucia, lantas dia lepaskan cengkraman tangannya. Dia pun beranjak bangun dari tubuh tak berdaya Aeera di bawahnya. Bangkit berdiri karena merasa urusannya dengan gadis itu telah selesai malam ini.  Aeera terisak pilu, dia pegangi pipinya yang tak hentinya meneteskan darah akibat luka cukup lebar yang diciptakan Lucia. Lantas dia bergegas bangun dari posisi berbaringnya. Menutupi dadanya yang tak terhalangi sehelai benang pun dengan kedua tangannya.  Tatapannya tertuju pada Lucia yang tengah memakai kembali jubah miliknya.  “Kenapa kau membunuh adikku? Apa salah dia padamu?”  Lucia melirik dengan ekor matanya ke arah Aeera.  “Membunuh adikmu?” Gumam Lucia. “Ya, dia masih sangat muda. Rubah ekor dua yang kau bunuh setelah kau selamatkan dari kawanan siluman anjing yang ingin menangkapnya di perbatasan. Gadis itu adalah adikku.”  Lucia memalingkan wajahnya ke depan, tak tertarik lagi melakukan interaksi apa pun dengan gadis yang berstatus sebagai istrinya itu. Meski nyatanya Lucia tak pernah menganggap gadis itu sebagai istrinya. Pernikahan ini dia lakukan hanya demi tahta. Jika bukan karena tahta, Lucia tak akan pernah menikahi Aeera atau gadis mana pun di muka bumi ini. Baginya cinta dan wanita hanyalah omong kosong belaka yang tak seharusnya masuk ke dalam hidupnya.  “Lucia!!” teriak Aeera, marah bukan main karena Lucia mengabaikan ucapannya. Pria itu melenggang tenang menuju pintu. “Aku tidak pernah mengingat orang yang aku bunuh,” sahut Lucia datar, lalu menghilang begitu saja dari hadapan Aeera.  Aeera membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang dia lipat. Membiarkan air matanya terus keluar sampai kering. Menggigit bibir bawahnya hingga mengeluarkan darah. Dan membiarkan isak tangisnya membahana di dalam kamar, meratapi nasibnya yang begitu sial ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD