TUJUH

2623 Words
Suasana di dalam aula Istana kerajaan Lewis tampak ramai. Semua penghuni istana termasuk beberapa rakyat sebagai perwakilan, hadir memenuhi aula tersebut.  Hari ini merupakan hari berlangsungnya ritual pernikahan pangeran Lucia dan Aeera.  Dekorasi mewah yang melatari aula tersebut menjadi bukti nyata bahwa pernikahan akan diadakan semeriah mungkin. Sesuatu yang wajar mengingat calon mempelai pria merupakan putra mahkota yang tinggal menghitung hari akan segera naik tahta menjadi penguasa kerajaan Lewis.  Suasana riuh dengan obrolan dari para siluman rubah yang sudah tak sabar menantikan ritual pernikahan segera berlangsung. Beberapa tetua kerajaan pun tampak sudah bersiap-siap karena mereka lah yang akan melakukan ritual guna meresmikan pangeran Lucia dan Aeera sebagai suami-istri nantinya.  Raja Alexis dan Ratu Adena duduk bersebelahan di kursi kebesaran mereka. Senyuman lebar tak pernah luntur di wajah mereka saat menatap ke arah aula yang sudah dipenuhi banyak orang. Mereka pun sudah tak sabar menyaksikan cucu mereka resmi menikah dengan Aeera. Rencana mereka akan berjalan mulus jika ritual pernikahan ini selesai nanti.  Sosok Aeera tampak sudah hadir juga di aula tersebut. Mempelai pengantin wanita itu tengah duduk di kursi pelaminan, menunggu kehadiran calon suaminya yang belum juga menunjukan batang hidungnya. Padahal menurut tradisi pernikahan di dunia mereka, seharusnya Lucia sudah hadir saat ini. Duduk bersama dengannya di kursi pelaminan selagi menunggu persiapan ritual pernikahan diselesaikan. Namun Aeera harus menelan kenyataan pahit dengan dirinya seorang yang duduk di kursi pelaminan tersebut.  Penampilan Aeera tak perlu diragukan lagi betapa mengagumkannya dia. Memang pada dasarnya dia memiliki paras yang cantik, sehingga hanya dengan sedikit polesan di wajahnya membuat kecantikannya semakin bertambah berkali-kali lipat banyaknya.  Gaun putih berlengan panjang dengan bagian bawahnya yang menyapu lantai, disertai jubah putih berhiaskan bordiran khas kerajaan Lewis di sepanjang kain menjadi pertanda bahwa sesaat lagi status dirinya akan segera berubah. Awalnya seorang gadis tanpa pasangan, sebentar lagi akan berubah menjadi wanita bersuami. Statusnya sebagai rakyat jelata, tinggal menghitung menit akan segera berubah menjadi putri kerajaan, putri mahkota lebih tepatnya. Jika Lucia naik tahta nanti, otomatis dirinya pun akan menyandang gelar sebagai Ratu kerajaan Lewis.  Aeera tak mempedulikan perihal status baru yang akan disandangnya. Satu hal yang dia pikirkan, sanggupkah dirinya menjadi istri yang sempurna untuk pria seperti Lucia? Aeera tahu perjuangannya sebagai istri pria itu pasti lebih sulit dari wanita mana pun. Suaminya berbeda dengan pria kebanyakan yang bertebaran di muka bumi. Pria itu sangat dingin, kejam dan bengis. Hanya dengan sekali pertemuan saja, Aeera sudah bisa menilai karakter calon suaminya.  Aeera mengembuskan napas pelan, saat membayangkan kehidupan pernikahannya nanti. Entahlah ... dia tidak yakin hidupnya akan bahagia. Sebaliknya dia teramat yakin, hidupnya akan selalu diliputi kesulitan. Namun Aeera tak gentar, dia sudah bertekad akan berjuang semampunya agar tidak mengecewakan Raja Alexis dan Ratu Adena yang sudah mempercayainya hingga memilih dirinya untuk menjadi istri Lucia.  Dalam kegugupannya, Aeera menyelipkan anak rambut berwarna seputih salju miliknya yang menjuntai, ke belakang telinganya. Rambut panjangnya yang mencapai pinggang itu dibiarkan tergerai indah. Tampak berkilauan saat cahaya lampu menerpa rambutnya.    Suasana dalam aula semakin ramai seiring berjalannya waktu. Aeera pun menundukan kepalanya dalam, memandangi telapak tangannya yang tampak pucat dan bergetar.  Terhitung sudah lebih dari empat jam mereka berkumpul di aula, menunggu kedatangan calon mempelai pengantin pria yang belum menunjukan batang hidungnya hingga sekarang.  Dalam benaknya Aeera berpikir, mungkinkah Lucia tidak akan datang? Mungkinkah pria itu tega mempermalukannya karena kabur di hari penikahan mereka? atau mungkinkah pria itu secara terang-terangan mengingkari ucapannya kemarin yang jelas-jelas menyetujui pernikahan ini? Berbagai pertanyaan kini terngiang di benak Aeera.  Raja Alexis menggeram di tempat duduknya, kesal bukan main karena cucunya belum juga hadir di aula pernikahan.  “Lucia, kemana anak itu pergi?” ucapnya seraya mendesis marah. Ratu Adena mengelus lembut punggung suaminya, berusaha sebisanya untuk menenangkan amarah sang suami yang tengah memuncak.  “Mustahil dia mengingkari ucapannya. Setahuku Lucia bukan orang seperti itu,” lanjutnya. “Sabarlah, suamiku. Cucu kita pasti datang,” sahut Ratu Adena, lagi-lagi berusaha menenangkan suaminya yang duduk gelisah di kursinya.  “Lucia yang aku tahu, meskipun dia kejam dan tak pandang bulu saat membunuh. Tapi dia tak pernah sekalipun mengingkari ucapannya. Mungkinkah sekarang dia berubah? Dia berubah menjadi seseorang yang tidak kita kenali lagi. Aku tahu dia sudah dewasa sekarang, tapi aku tidak menyangka semakin dewasa, dia justru semakin keterlaluan. Apa dia tidak memikirkan kita berdua yang akan dipermalukan jika dia sampai tidak datang?” “Dia pasti datang. Tolong, tenanglah.” “Aeera, bagaimana dengan anak itu? Hatinya pasti hancur jika sampai anak sialan itu tidak datang di hari pernikahan mereka. Gadis malang itu akan menjadi bahan olokan seantero kerajaan Lewis ini.” Raja Alexis tak hentinya menggerutu. Kulit wajahnya yang putih bak salju itu memerah sempurna. Kemarahannya sudah tak tertahankan lagi.  “Kita tunggu sebentar lagi. Aku yakin Lucia pasti akan datang.” “Empat jam kita duduk di sini, istriku. Aku tidak bisa menunggu lagi.”  Setelah mengatakan itu, Raja Alexis memberikan isyarat tangan pada beberapa prajuritnya untuk menghampirinya.  “Aku perintahkan kalian untuk mencari pangeran Lucia sekarang juga. Cari sampai ketemu. Jika dia menolak untuk datang, kalian seret saja dia datang kemari,” titahnya, pada beberapa prajurit yang kini tengah berlutut di hadapannya.  Serempak semua prajurit itu meneguk salivanya panik sekaligus takut. Menyeret sang pangeran agar datang ke aula ini? Jawabannya sama saja mencari mati. Mana mungkin mereka berani melakukannya, mereka tak mengerti kenapa Raja Alexis yang hafal betul betapa kejam cucunya itu, memerintahkan hal ini pada mereka.  “Tunggu apa lagi? cepat pergi!” bentaknya, kesal luar biasa karena para prajurit itu masih betah berlutut di hadapannya. “Yang Mulia, kami ...” “Aku tidak mau mendengar alasan apa pun. Kalian harus berhasil membawanya kemari dengan cara apa pun. Cepat laksanakan perintahku ini!!” “BAIK, YANG MULIA!!” sahut mereka bersamaan. “Jangan kembali sebelum kalian berhasil membawa Lucia kemari.”  Para prajurit yang ketakutan setengah mati itu saling berpandangan satu sama lain, sebelum akhirnya mereka menganggukan kepala pasrah.  Berpikir inilah detik-detik kematian mereka, para prajurit itu pun bergerak perlahan mulai bangun dari posisi berlutut mereka. Mereka memberikan penghormatan pada sang Raja dan Ratu, lantas mereka membalik badan, siap pergi.  Belum sempat mereka melangkahkan kaki dari tempat mereka berdiri, tiba-tiba pintu utama aula, terbuka lebar dengan suara gebrakan keras pertanda orang yang membuka pintu itu sengaja membantingnya kencang.  Semua orang yang berada di aula tersentak kaget, refleks menoleh ke arah pintu saat tatapan mereka terarah sepenuhnya pada sosok pria berparas tampan namun sayang tak memiliki ekspresi apa pun selain datar, kini tengah melangkah tegap memasuki aula.  Lucia De’Lewis, mengabaikan tatapan memuja dari para wanita yang tertuju padanya. Tatapan takut dan gugup dari para pria yang hadir di aula itu pun ikut dia abaikan. Fokus matanya sepenuhnya tertuju pada Aeera yang tengah duduk manis seorang diri di sebuah kursi mewah dengan hiasan bunga di sekeliling kursi tersebut. Itulah kursi pelaminan mereka berdua.  Lucia mendengus kasar, hatinya kesal bukan main melihat dekorasi di dalam aula yang menurutnya terlihat menggelikan sekaligus menjijikan. Tak pernah sekali pun dia berpikir akan berada dalam situasi seperti ini. Menikahi seorang wanita tak pernah seumur hidupnya, dia merencanakan hal ini. Jangankan merencanakannya sekadar membayangkannya pun dia tak pernah. Dia sangat membenci wanita. Sampai kapan pun penilaiannya pada wanita tidak akan pernah berubah.  Bagi Lucia, wanita merupakan makhluk yang tidak bisa dia percayai. Mereka juga lemah, hanya akan menjadi beban untuknya. Dan hari ini, karena tingkah kakeknya yang egois, mau tidak mau Lucia harus merubah prinsifnya untuk tidak akan pernah menikahi wanita mana pun. Faktanya hari ini dia bahkan datang ke acara ritual pernikahannya dengan gadis rendahan bernama Aeera. Jika saja Jeros tidak terus berceloteh mengingatkan ritual pernikahannya, mungkin Lucia benar-benar tidak akan datang.  Jika Aeera mengenakan gaun pengantin khas kerajaan yang mewah dan elegan, tidak demikian dengan Lucia. Pria itu hanya mengenakan pakaian yang biasa dia kenakan sehari-hari. Dia tak peduli, toh pernikahan ini tidak memiliki makna apa pun baginya selain hanya demi memenuhi syarat dari sang kakek agar dirinya bisa naik tahta.  Lucia berdiri tanpa kata di depan para tetua yang sudah berjajar rapi di depan aula. Sungguh malang karena para tetua itu tampak gemetaran mendapatkan tatapan tajam yang mengintimidasi dari mempelai pengantin pria.  Aeera berjalan seorang diri menuju tempat Lucia berdiri menunggunya. Sungguh miris, padahal para dayang istana sudah menjelaskan ritual pernikahan yang menjadi tradisi di keluarga kerajaan. Menurut intruksi para dayang, Lucia akan menggandeng tangannya dalam perjalanan menuju altar pernikahan.  Aeera tersenyum kecil, tak heran sedikit pun dengan sikap Lucia yang terang-terangan menunjukan bahwa pernikahan mereka hanyalah sebuah keterpaksaan.  Kini Aeera sudah berdiri tepat di samping Lucia yang berdiri kaku dengan tatapan tajamnya masih terarah pada para tetua.  Ritual pernikahan pun dimulai. Meski mereka merasa terintimidasi dengan tatapan tajam bak sinar laser milik Lucia, tapi para tetua itu tetap telaten menjalankan tugas mereka untuk menikahkan dua mempelai pengantin tersebut.  Suasana hening selama ritual pernikahan berlangsung, tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Satu-satunya suara yang terdengar, hanya suara dari para tetua yang tengah membacakan mantra-mantra aneh yang katanya merupakan ritual penting dalam upacara pernikahan di dunia mereka.  Sepanjang ritual berlangsung, senyuman selalu tersungging di bibir Aeera. Dia dengarkan dengan seksama alunan mantra-mantra yang baginya terdengar seperti sumpah pernikahan. Berbanding terbalik dengan Lucia yang harus menahan mati-matian keinginannya untuk mencabik leher para tetua di depannya. Tak dia sangka ritual pernikahan berlangsung selama ini.  30 menit berlalu, hingga akhirnya semua mantra ritual pernikahan selesai dibacakan para tetua.  “Silakan mencampurkan darah kalian ke dalam cairan ini,” pinta salah seorang tetua seraya menyodorkan sebuah wadah berisi cairan berwarna putih pada Lucia dan Aeera.  Tetua itu tersenyum dan mengangguk lega saat Aeera dengan santai menggigit ujung jari telunjuknya dan membiarkan darahnya menetes bercampur dengan cairan itu.  “Silakan giliran Anda, Pangeran.”  Tubuh tetua itu bergetar hebat saat tiba giliran dirinya menyodorkan wadah cairan lebih mendekat ke arah Lucia.  Sama seperti yang dilakukan Aeera tadi, dia pun menggigit ujung jari telunjuknya, lantas dia biarkan darahnya menetesi cairan tersebut.  “Silakan diminum airnya. Dengan ini kalian akan resmi menjadi suami-istri. Bukan hanya raga kalian yang akan menjadi satu. Darah, jiwa dan perasaan kalian pun akan terhubung satu sama lain.”  Tanpa ragu Aeera meminum cairan putih yang kini sudah berubah warna menjadi semerah darah itu dalam sekali tegukan. Meminum cairan itu setengah karena setengahnya lagi, Lucia lah yang harus meminumnya.  Lucia merebut kasar wadah cairan yang kini diulurkan padanya. Meminum cairan itu dengan raut enggan,sebelum dia lempar jauh wadah yang telah kosong itu. Sukses membuat semua tamu yang hadir menahan napas saking terkejutnya.  “Apa ritualnya sudah selesai?” tanya Lucia ketus pada tetua yang gemetaran tepat di depannya. “Sudah selesai, Pangeran. Saatnya memberikan tanda cinta Anda untuk istri Anda,” jawab sang tetua takut-takut dengan kepala tertunduk.  “Tanda cinta, ya?” gumam Lucia disertai seringaian yang tiba-tiba terbit di wajah tampannya.  Lantas dirinya memiringkan badan ke arah Aeera yang berdiri di sampingnya. Mencengkram tangan Aeera tiba-tiba dan menariknya kasar hingga tanpa sadar tubuh Aeera membentur d**a bidangnya.  Aeera menundukan kepalanya dengan jantung yang berdetak gila. Sedikit meringis saat merasakan jambakan tangan Lucia di rambutnya. Lucia menarik cukup kencang rambut Aeera, seketika membuat kepala Aeera mendongak ke atas, menatap langsung wajah Lucia yang memang jauh lebih tinggi darinya. Tinggi badan Aeera hanya mencapai bahu Lucia.  Masih setia memasang wajah datarnya, Lucia merunduk. Menurunkan wajahnya agar mendekati wajah Aeera.  Spontan Aeera memejamkan matanya saat hembusan napas Lucia menerpa wajahnya. Detak  jantungnya semakin menggila dikala bibir dingin Lucia menyentuh bibirnya. Awalnya hanya sebuah ciuman ringan biasa, saat tiba-tiba Aeera merasakan perih di bibir bawahnya karena Lucia yang sengaja menggigit bibirnya. Darah Aeera pun menetes dari luka itu.  Begitu melepaskan ciumannya, Lucia mendekatkan mulutnya ke depan telinga Aeera.  “Kita lihat, sejauh mana kau sanggup bertahan,” bisiknya, sebelum pria itu melenggang pergi tanpa kata dari aula. Meninggalkan istrinya yang mulai meneteskan air matanya dengan tubuhnya yang gemetaran.  ***   “Aeera.”  Aeera tersentak di tempat duduknya saat dirinya melamun sendirian di kursi pelaminan dan tiba-tiba mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.  Refleks Aeera menoleh, tersenyum lebar saat mendapati kedua kakaknya lah yang datang. Angela dan Amera.  “Kakak!!” teriaknya. Lantas dia memeluk kedua kakaknya secara bergantian.  “Aku senang kalian datang.” “Tentu saja kami akan datang. Ini kan hari pernikahanmu. Hari paling spesial untukmu. Keluarga kerajaan juga sudah sengaja mengundang kami.” Jawab Angela riang. “Selamat ya, Aeera,” lanjutnya. Aeera mengangguk dan tersenyum sumringah menanggapinya.  Ketika tatapannya beralih pada Amera yang tampak murung, seketika Aeera menghentikan senyumannya. Dia menelisik sekelilingnya dan baru sadar bahwa kakaknya hanya datang berdua saja. Kemana ayah dan adiknya?  “Ayah dan Alica mana? Mereka datang juga, kan?”  Satu pertanyaan ini dan sukses membuat Angela maupun Amera menundukan kepala mereka. Aeera yang memang cukup peka, menyadari ada yang tidak beres dengan keluarganya.  “Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada mereka? Apa Alica membuat keonaran lagi dengan kenakalannya?”  “Kita tidak akan pernah melihat kenakalan Alica lagi,” sahut Amera. Aeera mengernyitkan dahinya tak mengerti. “Kenapa? Alica baik-baik saja, kan?” tanya Aeera, tak dia pungkiri kini rasa khawatirnya mulai naik ke permukaan. “Alica sudah meninggal, dia dibunuh oleh seseorang.” Aeera membekap mulutnya seraya menggelengkan kepalanya dikala telinganya mendengar jawaban lantang dari Angela. “Tidak mungkin. Siapa yang membunuhnya?” “Kami tidak tahu. Kami ...” “Suamimu yang membunuhnya.” Amera menyela penuh emosi. Angela mengembuskan napas lelah karena adiknya yang gagal menahan emosinya. Padahal mereka sepakat tidak akan mengatakan hal ini pada Aeera. Setidaknya... tidak di hari pernikahannya.  “Suamiku yang membunuh Alica, maksud kakak ... Pangeran Lucia?” “Siapa lagi, pria kejam itu kan suamimu?” sahut Amera masih bernada penuh emosi.  Air mata Aeera berjatuhan teramat deras, hingga riasan wajahnya luntur karenannya. Namun dia tidak peduli lagi dengan penampilannya. Kabar yang baru didengarnya ini begitu sulit dia percayai.  “Tidak mungkin. Lucia tidak mungkin membunuh Alica. Dia baru saja menyelesaikan semedinya. Dia baru kembali ke istana ini kemarin. Kalian pasti salah, bukan Lucia yang membunuh Alica.” “Tanyakan pada ayah kalau kau tidak percaya,” jawab Amera ketus, lantas dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan Angela yang terpaku dan Aeera yang tampak hancur dengan kabar memilukan ini.  “Kak, katakan ini tidak benar.” Angela membuang muka ke arah lain saat Aeera menggenggam tangannya. Meminta penjelasan karena kenyataan ini sungguh tidak sanggup dia percayai.  “Kak, aku mohon jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?!” Aeera menjerit pilu, tak tahan lagi melihat kediaman kakak tertuanya itu.  Angela menghela napas sebelum dengan berat hati dia kembali menatap wajah adiknya yang kini tampak kacau karena dibanjiri air matanya. Memasang ekspresi serius dikala dirinya memutuskan untuk menceritakan segalanya pada sang adik.  “Yang dikatakan Amera benar. Alica dibunuh oleh Pangeran Lucia. Ayah sendiri yang melihatnya.” “Bagaimana bisa? Kenapa Alica bisa bertemu dengan Lucia?” “Alica seperti biasa membuat onar. Dia pergi ke perbatasan lagi. Ayah membuntutinya diam-diam. Saat itu Alica nyaris tertangkap oleh beberapa siluman anjing. Saat ayah ingin menolongnya, tiba-tiba pangeran Lucia muncul. Dia menyelamatkan adik kita dengan membunuh para siluman anjing itu.” Aeera sedikit bernapas lega mendengarnya.  “Tapi, setelahnya dia juga membunuh Alica. Ayah tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan Alica karena semuanya terjadi begitu cepat. Ayah sangat syok melihat kejadian itu.” “Mustahil. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?” sahut Aeera. Dia bekap mulutnya, sedang air matanya semakin deras mengalir, membentuk aliran sungai di wajahnya.  “Karena alasan itulah ayah tidak bisa hadir ke acara pernikahanmu. Dia tidak sanggup melihatmu menikah dengan pembunuh Alica.” “Kenapa ayah tidak mencoba menghentikan pernikahan ini? Kenapa ayah hanya diam saja?!” bentak Aeera. Dia kesal dengan sikap ayahnya yang tak biasanya ini. Padahal setahu dirinya, sosok ayahnya merupakan sosok pria pemberani yang tak takut pada apa pun selama itu benar.  “Emangnya apa yang bisa ayah lakukan? Kami hanya rakyat biasa. Tidak mungkin ayah bisa menentang Raja Alexis. Dia yang memintamu untuk menikah dengan Pangeran Lucia, kan? Lagi pula jika ayah menentang kehendak raja, kau tahu sendiri konsekuensinya seperti apa.”  Aeera terdiam. Tentu dia mengerti konsekuensi yang akan didapatkan ayahnya jika dia berani menghentikan pernikahan ini. Pihak kerajaan akan memberikan eksekusi mati bagi siapapun yang berani melawan kehendak raja. Bukan hanya ayahnya yang akan dieksekusi mati tapi seluruh anggota keluarganya akan ikut dieksekusi. Aeera tahu kediaman ayahnya merupakan cara sang ayah untuk melindungi keluarganya dari kejamnya hukum kerajaan Lewis.  “Setidaknya beri tahu aku sebelum pernikahan ini berlangsung. Kenapa kakak hanya diam menonton saat ritual pernikahan berlangsung tadi? Kenapa kakak tidak menemuiku dulu sebelumnya?” “Kau pikir penjagaan di istana ini tidak ketat? Jangankan memberitahumu, mendekatimu pun mustahil bisa kami lakukan. Kami baru diizinkan mendekatimu sekarang karena mereka mengizinkan kami mengucapkan selamat padamu.”  Aeera jatuh terduduk, dia merasakan lututnya tiba-tiba terasa lemas hingga tak sanggup lagi menopang berat badannya. Dia menangis histeris, meratapi nasibnya yang harus menikahi pria yang ternyata telah membunuh adik yang begitu disayanginya.  “Bagaimana ini? Aku dan Lucia ... seharusnya kami tidak pernah menikah,” gumamnya lirih, yang hanya didengar Angela yang ikut meneteskan air matanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD