Jika biasanya Jeros akan berjalan seraya menundukan kepalanya, bersusah payah mengejar majikannya yang selalu dan selalu meninggalkannya. Tidak demikian dengan sekarang, dia berjalan angkuh, menegakkan kepala bak seorang bangsawan yang tengah berjalan di antara para hambanya yang tengah memberikan penghormatan.
Bukan tanpa alasan dia bersikap angkuh seperti ini, melainkan karena dirinya merasa bangga menjadi pelayan setia sang Junjungan, Pangeran mahkota kerajaan Lewis.
Di depan Jeros yang berjalan dengan congkaknya dimana sesekali senyuman lebar tersungging di bibirnya dikala matanya menangkap beberapa pengawal istana dan para dayang bersujud memberikan penghormatan, sosok Lucia berjalan tegas tanpa mempedulikan sekelilingnya.
Suara gemerisik dari ujung jubahnya yang bergesekan dengan lantai bak suara mencekam yang sukses membuat orang-orang yang tengah bersujud itu gemetar ketakutan. Sang pangeran yang terkenal kejam kini telah menginjakan kakinya kembali ke dalam istana. Hanya dengan kehadirannya cukup membuat para penghuni Istana megah itu tahu, hidup mereka tak akan tenang lagi setelah ini.
Mereka harus berhati-hati menjaga sikap dan lisan mereka mulai sekarang, terutama jika di depan Lucia. Sedikit saja menyinggung perasaan sang pangeran, maka gantinya mereka harus siap melepaskan nyawa dari tubuh mereka.
Menjadi sesuatu yang wajar jika Jeros membanggakan dirinya di hadapan para siluman rubah yang tengah bersujud ketakutan itu. Keberadaannya di samping Lucia menjadi bukti nyata bahwa hanya dia satu-satunya makhluk di dunia ini yang berani berdekatan dengan sang pangeran. Hanya dia seorang pula, satu-satunya siluman yang bisa berbicara sesuka hatinya dengan sang calon Raja.
Seorang pengawal yang berjaga di depan sebuah daun pintu berukuran raksasa, tanpa menunggu komando, seketika membuka pintu saat Lucia sudah berdiri di hadapannya. Membungkuk hormat dengan kepala tertunduk karena nyalinya menciut, tak berani bertatapan langsung dengan mata tajam seorang Lucia.
Tanpa basa-basi, Lucia melenggang masuk ke dalam ruangan. Diikuti Jeros yang masih mempertahankan gaya congkaknya.
“Cucuku, selamat datang kembali di Istana.”
Raja Alexis yang tengah duduk di kursi kebesarannya, berujar dengan riang begitu sosok sang cucu kesayangan melangkah masuk ke dalam ruangannya. Senyuman lebar tetap setia terpatri di wajahnya meski Lucia tak menanggapi sedikit pun sapaan ramahnya.
“Lihat dirimu, Nak. Auramu sungguh berbeda. Sepertinya kau berhasil menyempurnakan kekuatanmu.”
“Lucia De’Lewis tidak mengenal kata kegagalan,” jawab Lucia sombong yang dibalas kekehan sang Raja.
Dia sudah tak heran dengan reakasi tak sopan cucunya itu. Bahkan di pertemuan pertama mereka ini setelah 50 tahun lamanya tak berjumpa, Lucia sama sekali tidak memberikan penghormatan padanya. Selain kakeknya bukankah dia ini seorang Raja agung yang dihormati seluruh rakyat di kerajaannya? Bahkan dihormati oleh seluruh siluman di dunia para siluman.
Tatapan sang Raja beralih pada siluman kerdil yang bersujud di belakang Lucia. Tersenyum kecil mendapati siluman kura-kura itu menjalankan tugasnya dengan baik untuk senantiasa menemani cucunya.
“Bangunlah, Jeros,” titahnya.
“Terima kasih Rajaku,” jawab Jeros seraya bergegas bangkit berdiri dari bersujudnya.
“Kau terlihat baik-baik saja. Sepertinya Lucia benar-benar menjagamu.”
“Menjaganya?” gumam Lucia, dia mendengus kasar mendengar ucapan kakekknya sontak membuat Jeros meneguk salivanya, panik luar biasa menyadari majikannya itu tersinggung dengan kata-kata kakeknya.
“Kakek tidak tahu seberapa sering aku harus menahan keinginanku untuk membunuhnya.” Keringat dingin kini bercucuran dari tubuh Jeros.
“Kenapa kau ingin membunuhnya? Dia pelayan yang setia. Dia selalu menemanimu kemana pun kau pergi. Sulit menemukan pelayan yang setia sepertinya.”
“Sayangnya dia bodoh. Jika saja dia tidak bermulut besar mungkin aku bisa sedikit menyukainya.”
Jeros menegang seketika, tubuhnya bergetar hebat mendengar pengakuan Lucia. Mengembuskan napas berat saat secara terang-terangan majikan yang sudah ratusan tahun dia ikuti itu ternyata benar-benar ingin membunuhnya selama ini.
“Aku justru merasa keputusanku memberikan Jeros sebagai pelayanmu saat kau berusia 25 tahun adalah keputusan paling tepat. Hanya dia yang sanggup menghadapi dirimu. Aku yakin pelayan lain akan langsung kabur begitu mengetahui sifatmu yang menyebalkan, Lucia.”
“Jika dia berani kabur dariku maka ...” Lucia melirik ke arah Jeros, seketika siluman kura-kura malang itu bergegas bersujud kembali.
“Saya tidak akan pernah meninggalkan anda, tuanku. Saya mengabdikan hidup saya untuk melayani anda.” Ucap Jeros dengan suara bergetarnya.
Raja Alexis tertawa lantang, menyaksikan interaksi antara Lucia dan pelayannya yang tak pernah berubah sedikit pun dari waktu ke waktu.
“Berhentilah membuat pelayanmu ketakutan Lucia. Aku tahu di dunia ini hanya Jeros lah satu-satunya orang yang tidak mungkin bisa kau bunuh. Kau membutuhkannya, selalu.”
“Seperti biasanya kakek selalu terlalu percaya diri, merasa paling mengerti aku. Nyatanya kakek tidak tahu apapun tentang aku.”
Raja Alexis berdeham saat melihat seringaian mulai muncul di wajah Lucia. Sepertinya nyawa Jeros akan berada dalam bahaya jika perbincangan basa-basi ini terus dilanjutkan. Dia pun memutuskan untuk merubah tofik pembicaraan.
“Aku senang kau masih mengingat tatakrama di dalam istana. Hal pertama yang kau lakukan begitu kembali ke istana adalah menyapa kakekmu ini. Aku terharu Lucia.”
“Huuh ... kakek salah paham ternyata. Aku datang kesini bukan untuk menyapamu melainkan untuk menagih hakku.”
Raja Alexis mengernyitkan dahinya menunjukan raut kebingungan meskipun dia sudah bisa menebak maksud perkataan cucunya itu.
“Usiaku sebentar lagi akan menginjak 300 tahun. Aku hanya ingin mengingatkan sudah tiba saatnya kakek lengser dari tahta. Dan mahkota itu sudah saatnya kakek serahkan padaku.” ucap Lucia dengan tatapan matanya tertuju pada mahkota yang bertengger indah di kepala sang Raja.
“Kau benar, aku juga mengingatnya.”
“Baguslah. Kalau begitu aku menantikan upacara semeriah mungkin untuk penobatanku sebagai Raja.”
Lucia membalik badannya, bersiap untuk melangkah pergi jika saja kata-kata kakeknya tidak membuat seketika dia mengurungkan niatnya untuk pergi.
“Aku akan menyerahkan tahta ini jika kau mau menikah dengan gadis pilihanku dan nenekmu.”
Lucia sempat membulatkan matanya sekilas sebelum dengan cepat dia memasang kembali raut datarnya. Lantas dia membalik badannya, menghadap kembali pada sang kakek.
“Menikah?”
“Ya ... usiamu sekarang sudah lebih dari cukup untuk menikah. Sudah saatnya kau memiliki pasangan hidup.”
Lucia tertawa lantang begitu Raja Alexis mengatupkan bibirnya. Sebuah tawa yang jarang sekali diperlihatkan Lucia.
“Apa kakek sedang membuat lelucon?”
“Apa wajahku terlihat sedang membuat lelucon?”
Lucia menghentikan tawanya, dia menggeram kesal saat menyadari wajah kakeknya tengah dalam mode benar-benar serius.
“Kakek tahu benar aku tidak mempercayai wanita. Aku tidak membutuhkan mereka. Wanita hanya akan menjadi beban. Aku membenci mereka.”
“Kau salah jika berpikir semua wanita sama. Tidak semua wanita seperti yang kau pikirkan selama ini.”
“Jangan membela mereka saat kakek pun ditinggalkan oleh istrimu. Apa kakek ingin aku bernasib sepertimu?” sindir Lucia. Raja Alexis geram, tak suka jika ada yang menghina istrinya tanpa terkecuali cucunya sekalipun.
“Nenekmu tidak pernah meninggalkanku. Dia menjadi seorang pertapa demi kerajaan ini juga. Lagipula setelah aku serahkan tahta ini padamu, aku juga akan mengikuti jejak istriku untuk menjadi seorang pertapa.”
“Begitukah? Kalau begitu bergegaslah serahkan tahtamu padaku agar kakek bisa secepatnya berkumpul lagi dengan istrimu.”
“Sayangnya ... sepertinya aku harus menunda keinginanku untuk bersama lagi dengan istriku, karena selama kau tidak mau menikahi gadis pilihan kami, mahkota ini akan selalu diletakan di atas kepalaku.”
Jeros bergegas mengambil jarak sejauh-jauhnya dari Lucia begitu merasakan aura mematikan yang menguar dari tubuh majikannya. Bisa dia tebak betapa besar gejolak amarah tuannya yang telah muncul ke permukaan.
“Kakek tidak bisa memaksaku. Tahta itu milikku walau bagaimana pun.”
“Aku seorang Raja, penguasa kerajaan ini. Keputusanku merupakan perintah yang harus dipatuhi. Lagipula aku masih memiliki banyak putra dan cucu laki-laki. Jika kau tetap menolak, kapan pun aku bisa mengganti putra mahkota.”
Lucia mengepalkan tangannya erat. Jeros mulai gemetaran, aura membunuh itu semakin bertambah besar. Jeros sangat hafal tabiat tuannya, bukan tidak mungkin Lucia akan membunuh kakeknya sendiri jika pembicaraan omong kosong ini tidak segera dihentikan.
“Kakek tidak bisa seenaknya mengganti putra mahkota. Ayahku merupakan seorang Raja karena aku satu-satunya keturunannya maka setelah dia mati, aku lah yang berhak atas tahta.”
“Tapi aku Raja disini, Lucia. Aku bisa memutuskan apa pun.”
Raja Alexis menatap datar wajah cucunya yang memerah karena menahan amarahnya. Dia pun bisa merasakan aura membunuh yang menguar dari tubuh Lucia, namun dia tak gentar sedikit pun.
“Setidaknya temuilah dia dulu. Setelah melihatnya, aku yakin kau akan menyukainya. Dia berbeda dari gadis lainnya. Bagaimana?”
“Jika aku tetap tidak menyukainya setelah melihatnya?” tanya Lucia. Raja Alexis mengangkat kedua bahunya seolah tak peduli.
“Artinya ucapkan selamat tinggal pada mahkota ini.” Sahut sang Raja seraya menunjuk ke arah mahkota yang bertengger di kepalanya. “ Karena aku tidak akan pernah menyerahkannya jika kau menolak menikahi gadis itu.”
“Ck ... baiklah, aku akan melihatnya. Semoga ucapanmu benar kakek bahwa dia gadis yang menarik.”
Raja Alexis tersenyum lebar, menganggukan kepalanya berulang kali.
***
Aeera berjalan dengan kepala tertunduk. Seorang pengawal istana baru saja memberitahunya bahwa Raja Alexis memintanya untuk mendatangi ruangan kebesarannya. Benaknya bertanya-tanya, kenapa sang Raja memanggilnya setelah tiga hari ini sang Raja tidak pernah menemuinya. Seolah keberadaannya dilupakan.
“Hmm ... kenapa Raja memanggil saya?” tanya Aeera takut-takut pada pengawal yang berjalan di depannya.
“Pangeran Lucia telah kembali ke Istana. Sepertinya pangeran ingin bertemu dengan nona.”
Detik itu juga Aeera menegang, kedua matanya membulat sempurna dengan jantungnya yang berdetak di luar kendalinya.
Seseorang yang dinantikannya sejak dirinya menginjakan kakinya di Istana ini, akhirnya kembali. Tak pernah menyangka dirinya akan segugup ini saat mengetahui sebentar lagi dirinya akan bertemu dengan calon suaminya yang misterius. Tak ada yang memberitahunya setiap kali dia bertanya tentang Lucia baik pada pengawal istana maupun para dayang. Selama tiga hari ini hanya sosok Lucia lah yang memenuhi kepalanya.
Aeera membungkuk hormat begitu dirinya kini berdiri di hadapan Raja Alexis. Diam-diam mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan guna mencari sosok calon suaminya yang seharusnya ada disana. Namun nihil, sosok pangeran itu tak terlihat dimana pun.
“Ada apa nak? Ada seseorang yang sedang kau cari?”
Aeera tersentak, cepat-cepat dia angkat kepalanya. Salah tingkah begitu mendapati sang Raja tengah tersenyum ramah padanya.
“Tidak, yang mulia.”
“Tidak perlu malu, aku tahu kau sedang mencari calon suamimu. Tenang saja, sebentar lagi kau akan bertemu dengannya.” Aeera tak bisa melakukan apa pun selain kembali menunduk untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya.
“Lucia bagaimana? Bukankah calon istrimu ini sangat cantik?”
Mau tak mau Aeera kembali mendongak, mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan sang Raja yang tentunya bukan ditujukan padanya.
Aeera tiba-tiba menegang saat telinga tajamnya mendengar suara langkah kaki seseorang yang berasal dari sudut ruangan yang gelap gulita. Dia menahan napas dikala seorang pria berparas luar biasa tampan keluar dari balik kegelapan. Rambut panjang seputih salju pria itu bergerak indah seirama dengan langkah kakinya yang tegas. Ternyata benar dugaan Angela dan Amera, ketampanan calon suaminya bahkan melebihi sang Raja agung.
Aeera bagai seonggok patung yang tak bisa menggerakan tubuhnya saat tatapan matanya bersinggungan dengan tatapan tajam pria itu yang terarah padanya.
Perasaan apa ini? Kenapa jantungnya terasa berdetak cepat bak ingin melompat dari rongga dadanya hanya karena keberadaan pria itu? seumur hidupnya, inilah pertama kalinya Aeera merasakan perasaan tak nyaman ini.
Aeera masih diam mematung saat pria itu berjalan menghampirinya, mengelilingi tubuhnya tanpa suara dan menatapnya seolah tengah menelanjanginya.
“Kau bercanda kan kakek? Bagaimana mungkin kakek memintaku menikahi gadis rendahan seperti dia? Dia bukan keturunan bangsawan, terlebih ekor tiga. Ck ... kenapa aku harus menikahi siluman rubah lemah sepertinya?”
Aeera merasakan sakit luar biasa di dalam hatinya, awal pertemuan mereka dan sang pengeran secara terang-terangan melontarkan penolakannya. Berbeda dengan Raja Alexis yang tersenyum tipis, tak heran sedikit pun dengan sikap cucunya itu.
“Dia gadis yang paling cocok untukmu. Percayalah aku dan nenekmu memberikan gadis terbaik untukmu.”
Lucia mendecih, membuang mukanya karena tak sudi lagi menatap Aeera.
“Bicaralah dulu dengannya agar kalian saling mengenal. Setelah itu beritahu aku apa keputusan akhirmu, Lucia.”
Raja Alexis melenggang pergi dari ruangannya, mengedipkan sebelah matanya pada Aeera saat dirinya melewati gadis itu yang masih berdiri mematung.
“Namamu?”
Aeera tersentak, suara baritone berat yang meluncur tiba-tiba dari mulut pria yang dia ketahui sebagai calon suaminya itu cukup membuatnya terkejut.
“Aeera Angelynne.” Jawabnya pelan.
“Apa rencanamu?”
“Maksudnya? Saya tidak mengerti maksud anda, pangeran?”
Lucia mendengus. Lantas dia melakukan sesuatu yang membuat Aeera terbelalak heran. Sebuah cahaya tiba-tiba keluar dari ujung jari telunjuk Lucia, cahaya membentuk sebuah benda yang sedikit demi sedikit mulai membentuk sebuah cermin berukuran besar.
“Lihat dirimu, bercerminlah. Apa menurutmu kau pantas menjadi pendampingku?”
Aeera menatap pantulan dirinya pada cermin yang dibuat Lucia dengan kekuatan sihirnya. Tidak ada yang salah dengan dirinya, Aeera meyakini itu. Hingga saat pantulan Lucia yang berdiri di sampingnya, membuat Aeera menyadari maksud perkataan sang pangeran.
Dari segi penampilan fisik, mereka sungguh berbeda jauh. Lucia mengenakan pakaian mewah layaknya seorang pangeran dari keluarga kerajaan. Sedangkan dirinya hanya mengenakan pakaian sederhana yang dia bawa dari rumahnya. Bahkan pakaian yang dikenakan para dayang di istana lebih mewah dibandingkan pakaian yang dikenakannya.
Saat Lucia mengeluarkan kesembilan ekornya, Aeera semakin menundukan kepalanya. Kini dia semakin menyadari perbedaan yang mencolok dari mereka berdua. Bukan hanya dari segi status bahkan dari segi kekuatan pun mereka sama sekali tak sebanding. Lucia seorang siluman rubah kuat dengan sembilan ekor. Berbanding terbalik dengannya yang hanya seorang siluman lemah ekor tiga.
“Kau menyadarinya sekarang? alasan yang membuatmu jangankan menjadi pasanganku, sekadar berdiri di sampingku pun kau sama sekali tidak pantas.”
Aeera mengepalkan kedua tangannya erat, berusaha mati-matian agar air matanya tidak menetes keluar.
“Katakan apa yang kau incar hingga kau menerima perjodohan ini? Kekuasaan? Kemewahan? Status?” Aeera menggelengkan kepalanya berulang kali tak terima dengan tuduhan bertubi-tubi yang dilayangkan Lucia padanya.
“Saya tidak mengincar apa pun. Saya datang ke Istana atas perintah dari Raja dan Ratu. Saya hanya menuruti perintah mereka.”
“Aku sarankan pergilah dari istana ini. Lupakan tentang pernikahan konyol itu. Jika kau pergi sekarang juga, aku berjanji akan melepaskanmu.”
Aeera tertegun, merenungi setiap kata yang baru saja dikatakan Lucia. Haruskah dia pergi? rasanya percuma dia menikah dengan pria yang tidak menginginkannya.
“Tidak. Saya akan tetap disini. Saya akan tetap menikah dengan anda karena inilah yang diperintahkan Raja dan Ratu. Saya hanya akan pergi jika mereka yang meminta saya pergi.”
Lucia membulatkan matanya mendengar jawaban tegas dan penuh keyakinan dari Aeera. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani membantah ucapannya. Dia menyeringai, sedikit salut dengan keberanian gadis itu.
“Kau tidak tahu siapa aku. Jika kau memaksa untuk menerima pernikahan ini maka jangan salahkan aku jika kau hidup menderita nantinya.”
“Saya tidak takut dengan ancaman anda ini. Saya sudah menerima sepenuhnya bahwa menikah dengan anda sudah menjadi takdir saya.”
“Aku bisa membunuhmu sekarang juga jika aku mau.”
“Artinya itulah takdir saya, saya harus mati di tangan anda.”
Lucia terdiam, gadis di hadapannya itu luar biasa berani. sedangkan Jeros berdiri dengan tubuh gemetaran tak jauh dari mereka. Berulang kali mengumpati tindakan bodoh gadis itu yang terang-terangan berani menantang tuannya.
“Berani sekali kau menantangku!”
“Saya tidak bermaksud menantang anda. Saya hanya ingin menunjukan kesetiaan saya pada Raja dan Ratu. Mereka sudah memilih saya untuk menjadi istri anda. Saya akan berusaha menjalankan tugas saya sebaik mungkin. Saya tidak ingin mengecewakan yang mulia Raja dan Ratu.”
Lucia memejamkan kedua matanya sebelum seringaian kembali terpatri di wajahnya.
“Jadi kau tetap menerima pernikahan ini?”
“Ya, saya tidak akan menolaknya.”
Jeros berlari dari tempatnya berdiri, seketika bersujud di hadapan Lucia saat dia melihat salah satu ekor Lucia melesat menuju Aeera. Dia sudah menebak apa yang akan dilakukan majikannya itu. Nyawa gadis malang itu sudah pasti akan melayang jika dia hanya berdiam diri.
“Tuanku, tolong jangan membunuhnya. Yang mulia Raja pasti akan marah besar jika anda menyakitinya.”
Lucia mendelik tajam pada pelayannya yang berani menghadangnya. Sempat berpikir untuk mengabaikannya jika saja suara Jeros tidak menyadarkannya.
“Demi mendapatkan tahta, lebih baik anda menerima pernikahan ini. Lagipula anda bisa membunuhnya kapan saja, tuan. Tidak harus sekarang.”
Lucia tersenyum tipis, mengurungkan niatnya untuk membunuh Aeera saat menyadari perkataan Jeros ada benarnya. Lantas satu ekornya yang sudah memanjang, kembali dia tarik ke bentuk asalnya.
“Jeros.”
“Ya, Tuanku.” Jawab Jeros masih dengan kening yang menempel erat pada lantai yang dingin.
“Panggil kakekku kesini.”
Tanpa pikir panjang, Jeros melesat pergi meninggalkan ruangan untuk menuruti perintah tuannya.
Saat memasuki ruangan, Raja Alexis tersenyum menyaksikan bagaimana cucunya yang menatap tajam Aeera. Merasa bangga karena dia telah memilih gadis yang tepat. Dia yakin kelak gadis itu akan mampu merubah pendirian Lucia yang keras bagai batu karang.
“Bagaimana Lucia? Jeros bilang kau memanggilku.”
“Aku akan menikahinya, kakek.” Jawab Lucia. Aeera tersentak kaget di tempatnya berdiri dan Raja Alexis yang tersenyum lebar tampak senang.
“Sudah ku duga kau akan menyukainya. Bagaimana kalau ritual pernikahan kalian dilaksanakan besok? Lebih cepat, lebih baik bukan?”
“Terserah. Lakukan sesuka kakek.” Jawab Lucia seraya mendengus kasar.
Aeera menegang saat Lucia melangkahkan kakinya dan tiba-tiba berhenti tepat di sampingnya. Panik luar biasa dikala pria itu tiba-tiba mendekatkan mulutnya ke telinganya.
“Bersiaplah hidup bagai di neraka.” Bisik Lucia pelan, namun sukses membuat Aeera gemetaran hebat.