LIMA

2382 Words
Alica mengerjapkan matanya beberapa kali, rasa kebas pada punggungnya akibat membentur kerasnya tanah karena dilemparkan oleh siluman anjing yang menangkapnya tadi, membuat suara ringisan kesakitan tak hentinya meluncur mulus dari bibir tipisnya.  Dia pandangi sekelilingnya, terpaku di tempat saat dua bola mata bulatnya menangkap sosok pria asing yang telah menyelamatkannya kini sedang lahap menyantap makanannya. Dia bergidik menyaksikan pria yang dari penampilannya tampak mempesona namun tidak dengan kelakuannya. Pria itu bagaikan monser yang tengah lahap menyantap daging musuhnya. Beberapa siluman anjing yang baru saja menjadi lawan pria itu, kini berakhir mengenaskan dengan menjadi santapannya, seakan-akan sudah begitu lama sang pria tidak pernah makan. Dia terlihat rakus.  Suara kunyahan daging mentah oleh gigi-giginya mampu membuat indera pendengaran Alica terasa ngilu mendengarnya.  Jika mengingat-ingat lagi alasan dirinya bisa berakhir di tempat ini, ingatan Alica menerawang pada kejadian beberapa jam yang lalu.  Alica merenung seorang diri setelah masa hukuman yang diberikan ayahnya telah berakhir. Dirinya akhirnya dibebaskan dari ruangan gelap gulita nan pengap.  Awalnya, Alica merasa senang karena dirinya akhirnya bebas, dia bisa menghirup kembali udara segar di luar ruangan. Namun, mengingat sosok penolongnya sudah tak ada lagi di rumah itu, seketika keceriaan lenyap dan digantikan oleh kesedihan.  Alica mulai meneteskan air matanya, kepergian Aeera sangat berpengaruh pada dirinya. Dia sadar kini tak ada lagi sosok kakak baik hati yang selalu peduli dan menyelamatkan dirinya dikala tertimpa masalah.  Di rumah itu dia hanya akan tinggal bersama ayahnya yang selalu memperlakukannya dengan kasar serta kedua kakak yang selalu mengabaikannya.  Cukup lama dia menangis seorang diri, meratapi nasib menyedihkannya yang mau tak mau harus dia terima.  Dia hapus jejak-jejak air mata di wajahnya saat sadar tidak seharusnya dia bersedih seperti ini. Kakaknya pergi bukan karena sengaja meninggalkannya, tapi karena sang kakak akan menempuh kehidupan barunya bersama seorang pria yang beruntung karena akan menikah dengan kakaknya tersebut.  Alica tersenyum lebar, otak kecilnya terus berpikir apa yang harus dilakukannya untuk menyambut kabar gembira ini. Kakak kesayangannya akan segera menikah.  Dia memikirkan lekat-lekat benda apa yang bisa dia berikan sebagai hadiah pernikahan untuk kakaknya nanti.  Senyuman lebar tersungging di wajah ayunya kala dirinya mengingat sesuatu yang menurutnya sangat cocok untuk dia berikan pada Aeera di hari pernikahannya nanti. Dia sudah berjanji akan menghadiri acara pernikahan kakaknya. Demi apa pun, dia akan berusaha untuk menepati janji itu.  Lantas Alica pun melangkah keluar dari rumahnya. Sosok ayahnya tak terlihat di dalam rumah begitu pun dengan kedua kakaknya. Tak ada seorang pun dari anggota keluarganya itu yang memberitahukan keberadaan mereka saat ini pada Alica.  Alica tak heran, sesuatu seperti ini sudah menjadi hal yang biasa baginya. Dia memang selalu diabaikan, tak pernah dianggap ada oleh ayahnya dan kedua kakaknya itu.  Tak perlu berpikir dua kali bagi Alica untuk berlari cepat meninggalkan rumahnya. Dia akan pergi ke suatu tempat yang akhir-akhir ini sering dikunjunginya. Meski dia ingat Aeera sudah memperingatkannya untuk tidak menginjakan kakinya lagi di tempat itu, tapi keinginan besarnya mempersiapkan hadiah untuk sang kakak, akhirnya membuat dirinya memutuskan untuk mengabaikan nasehat kakaknya.  Tak dia gubris setiap orang yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Beberapa yang mengenal dirinya menunjukan kepedulian mereka dengan menanyakan kemana dirinya akan pergi, namun Alica tak menjawab.  Gadis itu hanya tersenyum tanpa menghentikan laju larinya.  Dia terus berlari, tiada henti. Jarak yang jauh, kedua kakinya yang mulai lelah, tak dia hiraukan. Satu hal yang dia pikirkan, dia ingin segera tiba di tempat tujuannya secepat mungkin.  Kedua kaki rampingnya baru berhenti saat dirinya akhirnya tiba di tempat tujuannya. Sebuah area yang sering disebut sebagai wilayah perbatasan antara daerah kekuasaan siluman rubah dan daerah kekuasaan siluman anjing.  Banyak orang yang mengatakan tempat itu sangat berbahaya, terakhir kali ayahnya marah besar dan menghukumnya dengan mengurungnya di ruangan gelap gulita karena ulahnya yang mendatangi tempat itu. Sekali lagi dia datangi tempat itu, tak peduli sepenuhnya jika seandainya ayahnya memergokinya lagi dan berakhir dengan memberikan hukuman yang lebih berat padanya.  Alica tersenyum sumringah ketika benda yang sejak tadi terngiang-ngiang di kepalanya, kini terpampang di hadapannya. Cepat-cepat dia hampiri benda itu yang tidak lain merupakan sekumpulan bunga aster yang tumbuh liar di sana dalam jumlah tak terhingga. Kelopak bunganya yang indah serta warnanya yang beraneka ragam menarik minat Alica untuk membuatkan sesuatu untuk sang kakak.  Dengan gesit dia memetik beberapa bunga beserta tangkainya. Membentuk tangkai itu menjadi sebuah lingkaran. Berulang kali dia melakukan percobaan dengan meletakan tangkai yang telah berbentuk lingkaran itu ke atas kepalanya, memastikan bahwa hiasan kepala itu akan pas di kepala kakaknya.  Dengan telaten, dia menghias tangkai itu dengan kelopak-kelopak bunga aster yang telah dipilihnya. Sengaja dia memilih bunga yang berbeda warna agar hiasan kepala itu semakin indah dipandang.  Senyuman lebar kembali tersungging di bibir tipisnya tatkala hiasan kepala yang menyerupai mahkota terbuat dari bunga aster itu akhirnya dia rampungkan. Menurutnya Aeera yang pada dasarnya memang memiliki paras yang cantik pasti akan semakin terlihat mempesona jika mengenakan mahkota bunga itu.  Diam-diam dia tersenyum geli, membayangkan kakaknya yang mengenakan mahkota bunga buatan tangannya sendiri.  Mungkin Alica sudah melesat pergi dari tempat itu, jika saja telinganya tak mendengar suara gemerisik dari arah semak-semak. Dengan gerakan perlahan Alica memutar lehernya, dia terpaku seketika saat mendapati beberapa pria asing yang jika dicium dari aromanya merupakan siluman anjing, bermunculan dari balik semak-semak.  Alica mengambil langkah seribu tanpa pikir panjang, cukup dengan melihat seringaian yang tercetak di wajah pria-pria itu, dia tahu dirinya dalam bahaya.  Padahal Alica sudah berlari secepat yang dia bisa, sayangnya kecepatan berlari para pria itu jauh melebihi dirinya. Dalam hitungan detik, dirinya didorong dan jatuh tengkurap di atas tanah.  Seorang pria yang mereka panggil Pangeran Andreas tampaknya hendak melecehkan Alica. Pria itu berniat merobek pakaian Alica, Alica meronta hebat berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan pria yang kini mengunci pergerakannya. Namun usahanya berakhir sia-sia dikala pria lainnya ikut membantu pria bernama Andreas itu untuk memegangi tubuhnya.  Alica tak sanggup melakukan perlawanan lagi, hanya air mata yang mulai menetes serta jeritan yang tak hentinya meluncur dari mulutnya yang bisa dia lakukan. Saat pria bernama Andreas itu hendak menurunkan celananya, Alica pejamkan kedua matanya rapat-rapat, tak sudi melihatnya.  Dia tak ingin menyerah sebenarnya, tapi apa daya dirinya yang lemah tak mungkin sanggup mengalahkan keenam siluman anjing yang kini mengerumuninya.  Saat dirinya mulai pasrah dan berhenti melakukan perlawanan, sebuah keajaiban pun terjadi.  Alica tak merasakan lagi cekalan dari para pria yang tadi memeganginya. Pria bernama Andreas dengan sigap mengangkat tubuhnya, lagi-lagi mengunci pergerakannya dalam dekapan pria itu.  Saat Alica menatap ke arah depan, dia seolah membeku dalam dekapan pangeran Andreas. Di depan sana terlihat seorang pria luar biasa tampan yang tiba-tiba muncul. Detik itu juga Alica merasa harapannya untuk selamat muncul kembali ke permukaan. Pria misterius itu, mungkinkah dia datang karena ingin menyelamatkannya?  Alica tersenyum girang dalam hati, apa yang dipikirkannya benar adanya. Pria asing itu benar-benar datang untuk menolongnya. Hal lain yang membuat Alica takjub dengan pria asing nan misterius itu, selain parasnya amat memukau, dia juga memiliki kekuatan dahsyat yang bahkan tak sanggup ditandingi oleh Andreas dan kelima anak buahnya.  Alica menjerit kaget saat dirinya melayang karena Andreas yang tiba-tiba melempar tubuhnya ke tanah. Alica hanya mampu bersungut-sungut, melontarkan berbagai umpatan kasar pada Andreas yang dengan pengecutnya melarikan diri hanya karena kelima anak buahnya kini telah tewas di tangan penolongnya.  Dan kini dengan mata kepalanya sendiri, Alica menyaksikan betapa kejam penolongnya itu. Tanpa belas kasihan dia habisi semua lawannya dalam hitungan detik saja, bahkan kini kelima siluman anjing itu secara tragis menjadi santapan sang pria misterius yang terlihat kelaparan.  Alica membekap hidungnya dengan telapak tangan saat bau anyir darah segar menyerang hidungnya secara bertubi-tubi. Tidak hanya daging kelima siluman anjing itu yang habis dilahap si pria misterius, bahkan suara tulang-tulang mereka yang dikunyah pria itu ikut merasuk ke dalam gendang telinga Alica. Si pria misterius tak menyisakan sedikit pun jasad lawannya, bahkan tulangnya pun ikut di makan.  Refleks Alica merangkak mundur dikala pria misterius itu telah menyelesaikan aktivitas makannya. Iris mata sebiru langit milik si pria kini tertuju padanya. Alica meneguk salivanya, rasa takut dan panik mulai menjalar di dalam dirinya.  “Tuanku, Anda sudah selesai. Apa Anda sudah kenyang?”  Alica mengalihkan tatapannya dari si pria yang hingga detik ini masih menatap tajam ke arahnya. Mengerutkan alisnya saat mendapati seorang pria bertubuh kerdil dengan tempurung kura-kura di punggungnya berjalan tanpa takut ke arah si pria misterius.  “Wajar saja jika Anda lapar. 50 tahun Anda bersemedi dan selama itu Anda tidak pernah memakan apa pun,” lanjut pria cebol itu, namun tak mendapatkan respon apa pun dari si pria misterius.  Tatapan Alica tak lepas sedikit pun dari interaksi sepihak yang dilakukan kedua pria di hadapannya.  Alica terenyak kaget, dia kembali merangkak mundur. Pria misterius itu kini bangkit berdiri, mengalihkan tatapannya ke depan dan mulai melangkah tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.  “Tuan Lucia, Anda mau pergi kemana?”  Alica menegang masih dalam posisi bersimpuh di atas tanah yang kotor. Lucia ... nama pria misterius sekaligus penolongnya itu adalah Lucia. Sosok Aeera seketika muncul dibenak Alica. Bukankah calon suami kakaknya juga bernama Lucia? Mungkinkah?  Alica cepat-cepat berdiri, dia berlari mengejar pria bernama Lucia yang kini sudah berjarak cukup jauh darinya.  “Tunggu!!” teriaknya. “Mau apa kau gadis muda?” Si pria kerdil yang menyahut, bahkan pria itu yang tidak lain merupakan Jeros berbaik hati menghentikan langkahnya guna merespon teriakan sang gadis.  “Pria itu, apa dia Pangeran Lucia dari Kerajaan Lewis?” tanyanya, dengan napas terengah. Jeros tampak heran, terlihat dari kernyitan di alisnya. Lantas dia pun mengangguk, mengiyakan.  Mengetahui dugaannya benar, Alica pun tak menggubris teriakan Jeros yang memintanya untuk tidak mengejar Lucia. Alica berlari cepat, berusaha mengejar Lucia yang sudah berjarak sangat jauh darinya.  “Hei, jangan ganggu Tuan Lucia. Cepat pergi jika kau ingin selamat, Nona!”  Tak hentinya Jeros berteriak, memperingatkan. Namun tak sekali pun Alica menanggapinya. Gadis yang merupakan adik kandung Aeera itu semakin mempercepat laju larinya.  “Tunggu, Pangeran Lucia!!” teriaknya, sayang Lucia mengabaikannya seolah suara cempreng Alica tak terdengar olehnya.  “Ada sesuatu yang ingin aku titipkan. Tolong berhenti, Pangeran Lucia!!”  Napas Alica mulai terasa berat, kedua kakinya pun nyaris tak sanggup lagi berlari. Meski Lucia tidak sedang berlari tapi langkah kakinya teramat cepat, membuat Alica harus bersusah payah hanya demi bisa mengejarnya.  “Kakak ipar, tunggu!!” teriaknya untuk yang kesekian kalinya.  Dan saat itulah keajaiban terjadi, Lucia ... pria kejam dan bengis itu secara ajaib menghentikan langkahnya. Dia membalik badan, menunggu Alica tiba di hadapannya.  “Syukurlah, akhirnya kau berhenti juga,” ucap Alica dengan napas terengah-engahnya. “Kenapa langkah kakimu cepat sekali? Aku nyaris tak bisa mengejarmu.” “Tadi, kau memanggilku apa?”  Alica yang membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada lutut, kini dia menegakkan tubuhnya. Menatap bingung ke arah Lucia yang akhirnya mengeluarkan suara baritone-nya yang berat.  “Hmm ... itu, kakak ipar. Aku memanggilmu kakak ipar tadi. Sebentar lagi kan kau akan menjadi kakak iparku,” ucapnya polos, dengan cengiran lebar yang semakin menegaskan betapa lugunya gadis itu.  Lucia mengangkat sebelah alisnya tinggi. Hatinya kesal bukan main mendapati gadis ingusan di hadapannya dengan kurang ajar berani memanggilnya ‘kakak ipar’.  “Oh iya, aku lupa mengucapkan terima kasih. Terima kasih ya, kakak ipar sudah menyelamatkanku tadi,” ucap Alica, masih dengan senyuman lebar yang setia tersungging indah di bibirnya. Lucia tak menanggapi, dia hanya menatap datar gadis pemberani namun teramat bodoh di hadapannya.  “Hmm ... aku ingin menitipkan sesuatu padamu.” Alica merogoh sebuah benda yang dia selipkan dalam pakaiannya.  “Tolong berikan ini pada Kak Aee ...”  Belum sempat Alica menyelesaikan ucapannya dengan tangan terulur ke depan dimana sebuah mahkota bunga berada dalam genggamannya, mulutnya menganga dengan kedua mata yang membulat sempurna saat merasakan benda teramat keras dan runcing menusuk d**a hingga menembus ke belakang punggungnya.  Lucia, dengan menggunakan salah satu ekornya, dia menusuk Alica tanpa belas kasihan.  Saat Lucia mencabut ekornya yang menancap di tubuh Alica, seketika darah segar menyembur keluar dari mulut Alica. Gadis malang itu pun ambruk di tanah dengan lubang menganga lebar di bagian d**a hingga menembus punggungnya.  Lucia mendengus sebelum dia membalik badan dan kembali melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda.  “Nona, bukankah sudah kuperingatkan tadi? Jangan mengganggu Tuan Lucia. Lihat yang terjadi padamu sekarang. Bahkan aku saja yang sudah ratusan tahun melayaninya tidak berani mengganggunya, dan kau ... gadis ingusan sepertimu malah sok berani mengganggunya,” ucap Jeros, tampak ngeri dan iba melihat gadis malang yang kini terbujur kaku di atas tanah.  “Semoga dosa-dosamu diampuni,” lanjut Jeros seraya dia menempelkan kedua telapak tangannya di depan d**a.  Jeros berbalik badan, hendak mengejar sang majikan yang lagi-lagi meninggalkannya, jika saja dia tak merasakan tangan seseorang memegang ujung jubah yang dikenakannya. Jeros kembali berbalik, mengernyitkan dahi saat mendapati tangan si gadislah yang memegang jubahnya.  “Kau masih hidup ternyata,” ucap Jeros. “I ... ini ... to ... long ... serah ... kan ... i ... ni ...”  Dengan tangan bergetar, Alica menyodorkan mahkota bunga buatannya pada Jeros.  “Kau ingin aku menyerahkan benda tak berguna ini pada Tuan Lucia?”  Alica menganggukan kepalanya, teramat pelan dan lemah.  Jeros berdecak, dia tahu tak ada gunanya dia menyerahkan benda seperti itu pada Lucia. Namun melihat ketidakberdayaan gadis itu, mau tidak mau membuat dia akhirnya menerima benda itu.  Alica tersenyum damai saat mahkota bunga yang hendak dia berikan pada Aeera kini sudah berada di tangan Jeros. Pada embusan napas terakhirnya, dia berharap benda itu bisa sampai ke tangan kakaknya tepat waktu agar saat sang kakak melangsungkan pernikahan, benda itu bertengger manis menghiasi kepala kakaknya.  “Semoga jasadmu cepat ditemukan seseorang yang mengenalmu, agar tidak dimakan siluman lain,” gumam Jeros, dengan tulus mengucapkan harapannya.  Siluman kura-kura itu pun berlari, dia gunakan kekuatan sihir miliknya untuk bisa mengejar Lucia yang sudah tak terlihat sosoknya. Jeros memang siluman yang lemah, namun sekadar ilmu sihir untuk membuatnya berlari cepat, untungnya dia memilikinya. Karena jika tidak, entah dengan cara apa dia bisa mengejar majikannya yang selalu meninggalkannya setiap waktu.  “Tuan Lucia!!” teriak Jeros. Dia pun bersujud di hadapan Lucia yang tengah berdiri mematung seolah pria itu sengaja berdiri di sana untuk menunggu pelayannya yang lamban.  “Anda sengaja menunggu saya? Saya benar-benar terharu, Tuan. Saya pikir Anda melupakan saya dan tidak peduli pada saya.”  Butir-butir air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mata Jeros. Lucia menatap pelayannya tanpa ekspresi apa pun dan tanpa sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya.  “Oh iya Tuan, gadis tadi meminta saya memberikan benda ini pada Anda.”  Lucia menatap benda yang dipegang Jeros. Sebuah hiasan kepala berbentuk mahkota yang terbuat dari bunga aster. Dia ingat saat gadis itu juga sempat mengulurkan benda itu padanya sebelum ekornya menancap tubuh si gadis.  “Buang saja,” jawab Lucia, ketus. “T-Tapi, Tuan. Dia mengejar Anda karena ingin menyerahkan benda ini pada Anda. Mungkin dia ingin mengucapkan terima kasih pada Anda karena telah menyelamatkannya tadi.”  Lucia menyeringai, membuat Jeros menundukan kepalanya dalam, sadar lagi-lagi dia salah bicara.  “Menyelamatkannya? Jangan konyol.” “Maafkan saya, Tuan. Saya salah bicara.” Cepat-cepat Jeros menyahut, dia pun memukul bibirnya berulang kali dengan tangannya sendiri.  “Singkirkan benda tak berguna itu dari hadapanku atau kau ... mati.”  Spontan Jeros melemparkan benda itu dengan tubuhnya yang gemetar hebat.  Saat Lucia kembali melanjutkan langkahnya, Jeros hanya mampu mengikutinya tanpa kata. Mengembuskan napas penuh sesal saat ekor matanya melirik hiasan kepala yang tergeletak kesepian di tanah, cukup jauh darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD