EMPAT

2374 Words
Pria kerdil dengan tempurung kura-kura di punggungnya itu tengah duduk santai seraya bersandar pada sebuah batu berukuran besar. Sesekali menguap lebar hingga sudut matanya berair dikala rasa ngantuk melanda. Dengan malas dia bersihkan kotoran pada kuku-kuku panjangnya dengan lidi yang entah dia dapatkan dari mana. Memekik kesakitan saat lidi tak sengaja menusuk daging jarinya.  Lantas dia melirik ke arah sosok pria yang tengah duduk bersila di tengah-tengah gua. Sosok itu seorang pria dengan rambut putih bersinarnya yang mencapai punggung. Dilihat dari samping, tampak jelas pria tersebut memiliki garis rahang yang tegas nan kokoh. Hidung bangir dan bibir tipis menggoda. Kulitnya bersinar senada dengan warna rambutnya. Telinga  runcing ciri khas telinga yang dimiliki bangsa siluman. Jubah putih diiringi bordiran rumit berwarna biru langit dengan ukiran bermotif rubah itu berkibar-kibar laksana tertiup angin. Bulu-bulu halus yang membingkai jubah di bagian bahunya, membuat siapa pun bisa menebak betapa hangatnya jubah megah yang dikenakan si pria.  Ditilik dari sudut mana pun pria itu tampak mempesona. Dan jika dilihat dari arah depan, jelas paras si pria bak lukisan teramat indah yang membuat siapa pun yang melihatnya akan tersipu malu karena terlalu terpesona.  Siluman kura-kura yang bernama Jeros itu terperanjat ketika cahaya putih menyilaukan mengelilingi tubuh si pria. Aura siluman mematikan memancar dari tubuhnya yang sukses membuat siluman lemah selevel Jeros gemetar ketakutan. Dia pun bergegas bangun dari posisi duduknya, menyembunyikan diri di balik batu besar yang dia sandari tadi sembari mengintip memperhatikan apa gerangan yang tengah terjadi pada si pria.  Pria yang sejak tadi memejamkan mata, perlahan tapi pasti mulai membuka kedua mata tajamnya. Seketika iris mata sebiru langitnya terekspos jelas, menambah kesan mempesona sekaligus menyeramkan dari penampilannya.  Pria itu bangun dari posisi duduknya. Cahaya putih semakin membungkus tubuhnya dan Jeros merasa ingin melarikan diri detik ini juga begitu melihat iris mata sebiru langit pria itu berubah total menjadi semerah darah. Bibir tipis nan menggoda pria itu pun ikut maju ke depan bersamaan dengan hidungnya. Berubah bentuk menjadi wajah seekor rubah.  Satu demi satu ekor pria itu muncul. Delapan ... ekor pria itu berjumlah delapan berapa kali pun Jeros menghitungnya, tidak salah lagi jumlah ekornya memang delapan.  Di balik batu, Jeros semakin gemetaran tatkala menyaksikan perubahan pada tubuh si pria. Kuku-kuku sang pria memanjang membentuk cakaran yang dengan sekali ayunan saja bisa merobek benda apa pun di dekatnya. Taring-taring tajamnya yang ikut memanjang serta suara geraman yang meluncur mulus dari mulutnya kali ini sukses membuat Jeros jatuh berlutut di tempat persembunyiannya.  “ARRRGGGHHH!!”  Suara teriakan sarat akan ringisan kesakitan menggelegar di dalam gua. Sesuatu terjadi pada si pria hingga dirinya tampak begitu kesakitan. Dia menjatuhkan dirinya ke depan hingga kedua tangannya menapak di tanah. Kini dia sepenuhnya terlihat seperti seekor rubah.  Jeros meneguk salivanya susah payah, kedua matanya membulat sempurna menyaksikan pemandangan di depannya. Satu ekor terlihat mulai tumbuh dengan amat perlahan, suara teriakan kesakitan tak hentinya meluncur dari mulut si pria seiring dengan memanjangnya ekor itu.   Saat panjang ekor itu menyamai panjang kedelapan ekor lainnya, si pria sepenuhnya berubah menjadi sosok rubah bersurai putih dengan kesembilan ekornya yang mengeluarkan cahaya. Tak ada lagi yang bisa Jeros lakukan selain meringkuk memeluk kedua lututnya saat suara ledakan terdengar bersahut-sahutan.  Sang rubah tengah mengamuk, mengibaskan kesembilan ekornya hingga menghancurkan seluruh batu berukuran raksasa yang menancap sempurna di dalam tanah. Gua itu berguncang bak tengah terjadi gempa bumi yang sesaat lagi akan merobohkan seisi gua. Jeros semakin meringkuk di balik batu yang bagian atasnya telah hancur terkena kibasan salah satu ekor siluman rubah.  Mulut Jeros tak hentinya meracau, melafalkan berbagai doa karena sungguh dia belum siap untuk mati. Masih banyak yang ingin dia lakukan. Dia siluman yang tentunya memiliki umur yang panjang, abadi dan nyaris tak akan mati. Namun di bawah kuasa siluman rubah yang tengah mencoba kekuatan barunya tersebut, jelas Jeros tak ada bandingannya. Dia bisa mati kapan pun.  Hingga suara ledakan tak terdengar lagi, serta guncangan di dalam gua tak terasa lagi, Jeros masih setia memejamkan matanya. Tubuhnya masih gemetaran dengan mulutnya yang tak hentinya berkomat-kamit.  “Jeros.”  Dan baru siluman kura-kura malang itu membuka kedua matanya saat telinganya mendengar suara baritone yang sudah tak asing baginya.  Seketika dia terbelalak, berlari menghampiri si pemilik suara. Mengambil posisi bersujud dengan keningnya yang menempel erat pada tanah begitu tiba di hadapan seseorang yang memanggil namanya.  “Tuan Lucia.”  Tubuhnya yang masih gemetaran membuat suaranya yang keluar ikut bergetar. Keringat bercucuran dari sekujur tubuh Jeros. Meski sosok siluman rubah itu sudah kembali ke bentuk asalnya yaitu ke bentuk seorang pria berbadan kekar dengan wajah rupawan, Jeros masih dilanda ketakutan tiada tara.  “Berdiri.”  Dalam sekejap Jeros berdiri, tak berani sedikit pun melanggar titah sang junjungan yang sudah dia ikuti dan layani ratusan tahun lamanya. Kendati demikian, aura mengintimidasi dari majikannya itu selalu membuatnya kapan saja bisa mati berdiri saking takutnya.  “T-Tuanku. Selamat Anda berhasil menyempurnakan kekuatan Anda. Sekarang Anda siluman rubah ekor sembilan. Sekarang Anda sangat kuat.” “Apa sebelumnya aku lemah?”  Lucia mengatakannya dengan nada suara rendah nan pelan namun sorot mata tajamnya tak ayal membuat Jeros lagi-lagi gemetar ketakutan. Secepat yang dia bisa, siluman kura-kura itu kembali bersujud.  “Ampuni saya, Tuan. Maksud saya kekuatan Anda tak terkalahkan sekarang. Anda siluman rubah terkuat sekarang.” “Begitukah?” “Tentu saja, Tuanku,” sahut Jeros, masih dengan tubuhnya yang gemetaran. “Jadi, menurutmu kekuatanku lebih besar dari kakekku sekarang?”  Jeros terdiam, kedua matanya bergulir ke kanan dan kiri mulai kebingungan. Siapa yang tidak tahu kakek majikannya itu? Dia adalah Raja Kerajaan Lewis, Alexis De’Lewis yang juga seorang siluman rubah ekor sembilan. Jika sang raja harus berduel satu lawan satu dengan Lucia, Jeros sendiri tak yakin Lucia akan memenangkan pertarungan tersebut.  Lucia baru saja menyempurnakan kekuatannya sedangkan Raja Alexis, jelas sang raja agung itu memiliki pengalaman bertarung jauh lebih banyak dibandingkan Lucia.  Jeros mendongak, mencuri pandang ke arah Lucia yang berdiri menjulang di hadapannya.  “T-Tentu saja, Tuanku. A-Anda memiliki kekuatan yang setara dengan Raja Alexis sekarang,” jawabnya terbata-bata, begitu menyadari sang junjungan tengah menatapnya bak kapan pun siap mengoyak dagingnya.  “Huuh ... bodoh,” dengus Lucia, seraya melangkahkan kakinya tanpa belas kasihan menginjak tubuh Jeros yang tengah bersujud di hadapannya.  Jeros menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga agar suara rintihannya tak terdengar. Suara ringisan kesakitannya terdengar Lucia, sama saja dia menyerahkan nyawa pada pria itu.  Ya, sekejam itulah seorang Lucia De’Lewis. Tak peduli siapa pun dia yang berani membuat amarahnya muncul ke permukaan, maka dalam sekejap orang itu siap terbang menuju akhirat. Meski sudah beratus-ratus tahun lamanya Jeros menemani dan melayani Lucia, tetap saja pengabdiannya itu tak menghilangkan kemungkinan Lucia akan melenyapkan nyawanya jika sedikit saja dirinya salah berucap.  Sekadar mendapatkan hukuman dengan tubuhnya diinjak oleh sang junjungan tidaklah seberapa bagi Jeros. Justru dia begitu bersyukur karena Lucia hanya menginjak tubuhnya.  Untuk kesekian kalinya tubuh Jeros gemetar membayangkan nyawanya nyaris melayang barusan. Lucia jelas tak suka dengan jawabannya tadi.  Jeros bangkit berdiri dengan susah payah. Jika tidak ada tempurung yang melindungi punggungnya, mungkin saat ini tulang punggungnya telah patah. Ingatkan Jeros untuk bersyukur karena terlahir memiliki tempurung kuat yang menempel sempurna di punggung rapuhnya.  “Tuan Lucia!!” pekiknya histeris, ketika tak mendapati Lucia dimana pun. Lagi-lagi sang majikan meninggalkannya. Lantas dia pun berlari mengejar junjungannya yang sudah pergi meninggalkan gua.  Jeros berhasil mengejar Lucia setelah berlari dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya. Napasnya tersengal-sengal tampak memprihatinkan. Dia ikuti langkah Lucia tepat di belakangnya, memukul-mukul dadanya berulang kali untuk menormalkan kembali detak jantungnya yang menggila. Dalam hatinya menggerutu kenapa dirinya harus memiliki majikan yang begitu gemar menyiksanya.  Jeros membeku di tempatnya berdiri ketika Lucia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Mendelik tajam ke arahnya seolah gerutuannya di dalam hati diketahui oleh sang junjungan.  “Tu-Tuan Lucia. Ada apa?”  Lantas dia embuskan napasnya lega ketika Lucia kembali memalingkan wajahnya. Pria itu pun kembali melanjutkan langkahnya. Suara gemerisik dari jubahnya yang menyapu tanah menjadi musik pengiring langkah pria yang berstatus sebagai putra mahkota kerajaan Lewis itu.  “Tuanku, apa kita akan kembali ke istana sekarang?” tanya siluman malang itu takut-takut. Namun sayang tak mendapatkan respon apa pun dari majikannya. “Saya yakin Yang Mulia Raja pasti sedang menunggu Anda. Beliau pasti sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Anda. Sudah 50 tahun kalian tidak bertemu,” lanjutnya, yang juga belum mendapat respon apa pun dari Lucia. “Mungkin Yang Mulia Ratu Adena juga ada di istana sekarang. Saya yakin beliau juga sangat merindukan Anda.” Jeros tampak ceria berucap, tak hentinya mulut mungilnya mengeluarkan kata-kata. Tak peduli meskipun orang yang dia ajak bicara, mengabaikan dirinya sepenuhnya.  “Mereka pasti bangga pada Anda. Selain itu, sebentar lagi usia Anda menginjak 300 tahun. Sudah tiba saatnya Raja Alexis menyerahkan tahtanya pada Anda.” Jari-jari tangan Jeros saling meremas, namun tampaknya tak ada niatan baginya untuk menghentikan ocehan tak jelasnya. Mulut rusuhnya masih terus melontarkan kata-kata. “Bagaimana perasaan Anda, Tuanku? Sebentar lagi Anda akan menjadi penguasa kerajaan Lewis.”  “Jeros.” “Ya, Tuanku,” sahut Jeros girang, akhirnya sang majikan meresponnya. “Tutup mulutmu. Kau ingin mati?” Dan seketika dia membekap mulut dengan kedua tangannya setelah mendengar ancaman mematikan dari junjungannya.  Kali ini Jeros melangkah dalam diam. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya helaan napas pelan yang sesekali terdengar. Tatapannya menunduk dengan kedua kaki mungilnya yang terus mengikuti kemana pun Lucia pergi. Hingga tiba-tiba langkahnya terhenti kala kening lebarnya tanpa sengaja menabrak benda keras di depannya. Keringat sebiji jagung mulai bercucuran dari pelipisnya saat menyadari kaki Lucialah yang dia tabrak. Tapi kenapa majikannya itu tiba-tiba menghentikan langkahnya? Jeros terheran-heran sekarang.  “Tuanku,” panggilnya. Dia mengernyit bingung menyadari tingkah laku Lucia yang aneh. Pria itu tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat mereka berada seolah tengah mencari sesuatu.  “Kau mendengar sesuatu?”  Jeros memasang telinganya setajam mungkin. Sepertinya sang junjungan mendengar sesuatu yang sayangnya tak bisa didengar sedikit pun oleh telinga mungil milik Jeros. Siluman kura-kura berusia 700 tahun itu hanya menggelengkan kepala sebagai responnya.  “Saya tidak mendengar apa-apa, Tuan. Memangnya Anda mendengar suara apa?”  Untuk kesekian kalinya ucapannya diabaikan, Lucia berlari begitu saja tanpa aba-aba. Mengabaikan pelayannya yang tengah berteriak memanggil namanya.  “T-Tuan Lucia. Kenapa Anda senang sekali meninggalkan saya?” ucap Jeros dengan terbata-bata. Napasnya terengah-engah, untuk kedua kalinya dia harus berlari mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya hanya untuk mengejar majikannya yang lagi-lagi pergi secara tiba-tiba tanpa mengajaknya.  Jeros menegakkan tubuhnya, kedua matanya membulat sempurna hingga nyaris menggelinding dari kelopaknya begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya.  Tepat di depannya, sosok Lucia tengah berdiri dengan angkuhnya. Dimana tak jauh darinya, beberapa pria yang Jeros terka merupakan siluman anjing tengah berdiri tak kalah angkuhnya. Seorang gadis siluman rubah berada dalam dekapan salah seorang siluman anjing tersebut.  “Tolong ... tolong selamatkan aku!!” teriak gadis itu. Dia meronta hebat, berusaha melepaskan diri dari siluman anjing yang menangkapnya.  “Siapa kau? Apa kau ke sini untuk menjadi pahlawan? Kau ingin menyelamatkan gadis ini, Haah?!” tanya salah seorang siluman anjing yang dari penampilannya sepertinya dia bukanlah orang sembarangan. Pakaian yang dikenakannya tak kalah mewahnya dengan pakaian yang dikenakan Lucia.  “Kalian yang sudah mencari gara-gara memasuki wilayah kekuasaan siluman lain,” jawab Lucia, dengan suara baritonenya yang terdengar datar nan ketus. “Gadis sialan ini yang masuk ke wilayah kami.” Lucia tak merespon. Tatapannya datar, tak berminat berinteraksi dengan siluman anjing yang tampak menjijikan di matanya.  “Kami hanya ingin menangkap gadis ini. Sudah berulang kali kami memergoki dia memasuki wilayah kami. Kami harus menghukumnya. Lebih baik kau jangan ikut campur. Pergi dari sini sekarang juga dan kau akan kami lepaskan. Nyawamu tidak akan melayang.”  Jeros menelan salivanya yang tiba-tiba terasa berat. Betapa bodohnya siluman anjing itu menurut Jeros. Mereka berani mengancam seorang Lucia yang mana artinya mereka siap mengantarkan nyawa pada pria itu.  Diam-diam Jeros melangkah mundur, dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi sesaat lagi.  “Huuh ... dasar t***l. Jadi kau tidak mau pergi, ya?” “Pangeran Andreas, sepertinya pria i***t ini ingin mati di tangan kita,” sahut siluman anjing yang lain. Seketika semua siluman anjing yang jika dihitung berjumlah enam orang itu, tertawa terbahak-bahak.  Di tempat persembunyiannya, untuk kesekian kalinya Jeros menelan saliva susah payah. Mengumpat dengan kata-kata kasar dalam hati atas kebodohan para siluman anjing tersebut.  Pria yang dipanggil Pangeran Andreas itu menggeram, ancaman mereka tak digubris oleh pria asing di hadapan mereka. Pria itu tetap berdiri kokoh, tak terlihat takut ataupun terganggu dengan ancaman mereka yang tidak main-main.  “Kurang ajar, sepertinya dia menantang kita. Habisi dia!” titah Pangeran Andreas. “BAIK, PANGERAN!!” sahut dua orang rekannya. Sedangkan tiga rekannya yang lain masih berdiri di samping pangeran Andreas.  Kedua siluman anjing itu berlari menerjang Lucia, mengangkat tangan mereka yang sudah siap melayangkan cakar tajam mereka ke tubuh Lucia. Namun, belum sempat mereka tiba di dekat sang target, tiba-tiba saja mereka merasakan sakit tiada tara pada perut mereka.  Perlahan tapi pasti mereka tatap perut mereka, menyemburkan darah dari mulut saat menyadari ada benda tajam yang menyerupai ekor menusuk perut hingga menembus ke punggung mereka. Mereka ikuti darimana ekor itu berasal, dan kembali terbelalak ketika pria yang menjadi incaran mereka kini tampak berbeda dari sebelumnya. Ekor berjumlah sembilan muncul di belakang tubuh pria itu. Seketika tubuh mereka gemetar ketakutan, menyadari bahwa lawan mereka bukanlah siluman rubah biasa.  Kedua siluman anjing itu berusaha melepaskan diri dari ekor yang menusuk mereka. Naas, sebelum mereka benar-benar berhasil melepaskan diri, ekor itu bergerak naik ke atas, membelah tubuh mereka dari dalam hingga menjadi dua bagian. Kedua siluman anjing itu pun tewas mengenaskan. Tubuh mereka terbelah dua.  Dua ekor Lucia yang memanjang kembali menyusut ke bentuk asalnya. Dua ekornya yang berlumuran darah dia tangkap, lantas dia jilati darah yang menempel pada ekornya, mau tak mau membuat Jeros yang menyaksikannya, bergidik ngeri. Majikannya semakin kejam setelah dia berhasil menyempurnakan kekuatannya.  “Sekarang giliran kalian,” ucap Lucia, seraya dia miringkan kepalanya. Seringaian kejam yang terpatri di wajahnya tak ayal membuat keempat siluman anjing yang masih tersisa, gemetar ketakutan.  “Pangeran, kita kabur saja. Dia berbahaya.” Pangeran Andreas tak berpikir panjang lagi. Dia berlari meninggalkan ketiga rekannya. Gadis siluman rubah yang masih berada dalam dekapannya dia lepaskan, sudah tidak dia pedulikan lagi. Dia tahu nyawanya tengah berada di ujung tanduk sekarang.  Pangeran Andreas sempat menghentikan langkahnya saat suara teriakan memekakan telinga super tajamnya. Dia putar lehernya untuk melihat apa yang sedang terjadi di belakangnya. Kedua matanya melotot mendapati pemandangan teramat menyeramkan yang kini dia saksikan.  Sang siluman rubah mengibas-ngibaskan ekornya yang kembali memanjang. Menghantam tubuh ketiga siluman anjing, dimulai dari kepalanya. Ketiga kepala itu pun hancur tak berbekas.  Pangeran Andreas hanya mampu terpaku saat melihat jasad tanpa kepala ketiga rekannya tumbang begitu saja, membentur tanah yang keras. Darah mereka berceceran dimana-mana dengan potongan tengkorak kepala mereka yang menyatu dengan serpihan debu.  Tanpa sadar pangeran Andreas melangkah mundur, pembunuh kelima rekannya itu tengah berjalan santai menuju ketiga jasad rekannya yang tergeletak tak bernyawa. Tidak ada alasan bagi Pangeran Andreas untuk tak bergidik ngeri dikala dengan mata kepalanya sendiri dia melihat siluman rubah itu memegang salah satu jasad rekannya, membuka mulutnya, lantas dia benamkan taring-taring tajamnya pada daging si jasad.  Siluman rubah ekor sembilan itu memakan jasad salah seorang rekannya. Detik itu juga Pangeran Andreas kehilangan nyalinya. Dia melesat cepat, mengambil langkah seribu guna menyelamatkan nyawanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD