TIGA

2967 Words
Ketiga gadis itu tengah merenung dalam ruangan yang sama. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya embusan napas pelan yang sesekali terdengar.  Di luar sana, rombongan prajurit istana tengah menunggu dengan sabar, memberikan pada sang calon junjungan untuk mengucapkan salam perpisahan pada keluarganya.  “Aeera, sampai kapan kau diam? Katakanlah sesuatu, bukankah rombongan kerajaan sudah menunggumu di luar?”  Kepala Aeera yang sejak tadi tertunduk dengan kesepuluh jemarinya yang saling meremas, kini memfokuskan tatapannya pada Angela, sang kakak sulung yang baru saja mengingatkan bahwa dia tidak memiliki banyak waktu di dalam rumah yang sudah dia tinggali sejak lahir. Inilah takdir hidupnya, takdir yang tak pernah diduganya sedikit pun. Tak pernah dia sangka, dia akan meninggalkan rumahnya serta keluarga yang amat disayanginya dengan cara seperti ini.  “Sudahlah, kakak. Biarkan adik tercinta kita ini menikmati detik-detik terakhirnya di rumah gubuk ini, toh sebentar lagi dia akan menjadi bagian keluarga kerajaan. Dia akan menjadi putri mahkota, luar biasa. Selamat ya, Aeera. Akhh, haruskah aku memanggilmu Putri Aeera sekarang?”  Aeera menghela napas panjang, sindiran telak dari Amera cukup menyakiti perasaannya. Padahal tak pernah sedikit pun Aeera mengharapkan takdirnya akan berakhir seperti ini. Dipilih raja agung untuk dijadikan istri sang putra mahkota, dalam mimpi pun Aeera tak pernah membayangkannya.  “Jika aku bisa memilih, aku tidak ingin pergi dari rumah ini. Aku ingin tetap tinggal bersama kalian.”  Baik Angela maupun Amera saling berpandangan, lantas ditatapnya adik mereka yang tengah meneteskan air matanya. Tak ada kebohongan dalam sorot mata Aeera, gadis itu tulus mengutarakan isi hatinya.  Merasa bersalah karena kata-kata mereka telah menyakiti perasaan sang adik, Angela dan Amera pun bangkit berdiri dari duduknya. Menghampiri Aeera yang duduk lesu di kursinya.  “Jangan menangis Aeera. Seharusnya kau bahagia. Kau lebih dulu mendapatkan pasangan dibandingkan kami berdua,” ujar Angela, tulus. Dia usap lembut puncak kepala Aeera. “Benar, kau beruntung Aeera. Pasanganmu seorang pangeran. Terlebih dia calon raja. Berbahagialah Aeera.” Amera menimpali. “Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Aku ingin tetap tinggal di sini.”  Air mata Aeera semakin mengalir deras, tak ayal membuat kedua kakaknya spontan memeluknya. Mencoba memberikan semangat serta menenangkan perasaan sang adik.  Tak dipungkiri, sebenarnya baik di dalam hati Angela maupun Amera timbul perasaan iri dan cemburu pada Aeera. Menganggap betapa adiknya jauh lebih beruntung dibandingkan mereka.  Menjadi istri seorang pangeran yang kelak akan memimpin bangsa mereka. Menjadi seorang ratu yang akan mendampingi raja memerintah di kerajaan besar ini, mustahil tak ada yang menginginkannya. Tentu semua wanita menginginkan posisi yang akan Aeera tempati sebentar lagi.  Jika suara hati bisa terdengar oleh telinga, mungkin saat ini Aeera sudah mendengar berbagai cacian dan umpatan kasar dari kedua kakaknya yang merasa iri dengan keberuntungannya ini.  “Sudah jangan menangis Aeera, walau pun kau sudah menjadi bagian keluarga kerajaan, seharusnya kau masih diizinkan untuk mengunjungi kami, bukan?”  Angela hanya mengatakan lelucon sebenarnya, semua orang termasuk mereka bertiga tahu pasti bahwa orang yang telah resmi berstatus sebagai keluarga kerajaan tentunya tak akan diizinkan untuk mengunjungi keluarganya. Seolah mereka dipaksa untuk melupakan keluarga mereka yang sebenarnya dan sepenuhnya harus menganggap anggota kerajaan sebagai keluarga baru mereka. Sangat kejam memang, tapi memang seperti itulah peraturan di kerajaan para siluman rubah tersebut.  “Omong kosong, Kak Angela tidak seharusnya kau mengatakan ini. Kau hanya membuat Aeera semakin sedih,” sanggah Amera tegas. Dia mendelik tak suka pada kakak sulungnya yang asal bicara. Lihatlah perbuatannya hanya membuat Aeera semakin deras menitikkan air matanya.  “Aku tidak akan pernah bertemu kalian lagi. Mungkin inilah pertemuan terakhir kita.” “Tidak, tidak. Tentu saja kita masih bisa bertemu. Di hari pernikahanmu dengan Pangeran Lucia, kami pasti diundang ke istana, bukan? Jadi hari ini bukanlah pertemuan terakhir kita.” Aeera mengangguk seraya tersenyum kecil. Benar yang dikatakan Amera, masih ada kesempatan bagi mereka untuk bertemu kembali.  “Pangeran Lucia itu seperti apa, ya? Walau pun putra mahkota tapi dia tidak pernah menampakan sosoknya di depan rakyat. Ketika raja melakukan kunjungan pun, Pangeran Lucia tak pernah ikut serta.” Angela bermonolog, Amera memutar bola matanya malas.  “Nanti kita akan melihatnya di hari pernikahan mereka, kan, kak? Kakak bersabar saja. Hanya aku ingin mengingatkan saja dari sekarang, kak Angela jangan sampai jatuh cinta pada suami adikmu sendiri.” “Haah ... apa maksudmu, Amera?” sahut Angela, tampak tersinggung. “Jika melihat betapa tampan dan gagahnya Raja Alexis, menurut kalian bagaimana penampakan cucunya? Tentunya sama tampannya, bukan? Atau jangan-jangan cucunya jauh lebih tampan dari kakeknya? Ya, jawabannya hanya akan kita dapatkan di hari pernikahan Aeera.” “Haah ... harus kuakui ucapanmu benar kali ini, Amera.” Suara tawa pun terdengar dari mulut ketiganya.  Mereka bertiga tertawa hambar karena jauh di lubuk hati, mereka merasakan kesedihan yang sama. Detik-detik akan berpisah dengan anggota keluarga, siapa yang tidak merasa sedih? Semua orang pun pasti merasa sedih seperti mereka. “Aku akan merindukan kalian.” Aeera menghamburkan dirinya dalam pelukan kedua kakaknya yang tentunya disambut dengan tangan terbuka oleh mereka berdua.  “Aeera, jika nanti kau bertemu dengan pria tampan di istana, jangan lupa kenalkan aku padanya ya,” seru Angela, seraya mengedipkan sebelah matanya genit. Amera lagi-lagi memutar bola matanya malas, melihat tingkah laku kakaknya yang terkadang menggelikan sungguh membuatnya lelah.  “Sudah, sudah, jangan membicarakan masalah pria terus. Kak Angela, kata-katamu barusan sepertinya bentuk pengakuan bahwa kau ini tidak menarik di mata pria. Sampai-sampai kau mempromosikan diri pada adikmu sendiri, memalukan.” “Heeh ... jaga bicaramu, Amera. Kau juga pasti berpikiran sama denganku, kan? Memiliki pasangan pria tampan terlebih dia berasal dari istana, memangnya kau tidak menginginkannya?”  Amera terdiam seolah kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan kakaknya yang jika dipikir-pikir memang benar adanya.  “Kalian tenang saja, aku pasti tidak akan melupakan kalian. Jika aku menemukan pria yang cocok untuk menjadi pasangan kalian di istana, aku pasti akan mengenalkan kalian pada mereka. Bagaimana?”  Angela mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum lebar. Berbeda dengan Amera yang mendengus kasar meski jika dilihat dengan seksama, senyuman teramat tipis tersemat di bibirnya.  “Aku ingin menemui Alica dulu.” “Ya, ya, temui adik kesayanganmu itu. Pastikan kau menasihati dia agar tidak menyusahkan kami lagi!” teriak Amera.  Aeera tersenyum kecil mendengar teriakan Amera. Sebenarnya memang itu yang akan dilakukannya. Orang yang paling membuatnya tak tenang meninggalkan rumah ini adalah adiknya, Alica. Dia khawatir meninggalkan sang adik yang terlampau nakal dan susah diatur itu.  Ketika Aeera memasuki ruangan, tempat Alica menghabiskan masa hukumannya. Gadis manis itu tengah murung sendirian di sudut ruangan. Tak perlu bertanya alasan sang gadis yang biasanya ceria itu menjadi murung seperti ini, Aeera sudah bisa menebak dengan pasti penyebabnya.  “Alica.”  Alica menoleh, mengerucutkan bibirnya ketika kedua matanya bersirobok dengan tatapan lembut dari kakak yang paling disayanginya. Lantas gadis itu berlari, menghamburkan dirinya dalam pelukan sang kakak.  “Apa kakak benar-benar akan pergi ke istana? Kakak tidak akan tinggal lagi bersama kami?” Air mata Aeera yang sempat berhenti menetes, kini kembali menetes.  Suara adiknya yang biasanya ceria, kini terdengar bergetar menahan tangis. “Iya, Raja Alexis memilih kakak untuk menjadi istri Pangeran Lucia.” “Kenapa kakak tidak menolaknya?” Aeera tak bersuara, dia hanya diam dengan kepala tertunduk. Seandainya dia bisa menolak, tentu dia akan menolaknya. Dia pun sebenarnya enggan menikahi pria yang bahkan wajahnya saja belum pernah dia lihat.  “Bodohnya aku, tentu saja kakak tidak mungkin bisa menolaknya. Raja sendiri yang meminta kakak menjadi istri cucunya, bukan?” Aeera mengangguk lemah, dalam hatinya bersyukur karena sang adik memahami situasinya. “Kalau begitu tidak apa-apa, Kak. Ini pasti sudah menjadi takdir kakak. Pangeran Lucia sangat beruntung karena bisa mendapatkan pasangan seperti kakak.” “Bukankah yang benar itu aku yang beruntung karena bisa menikahi seorang pangeran sepertinya?” Alica menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, tak setuju dengan ucapan kakaknya.  “Kakak ini siluman rubah tercantik yang ada di muka bumi. Kakak baik hati, pintar dalam segala hal, lemah lembut dan yang paling penting ...” Alica menjeda ucapannya, dia menarik tangan sang kakak agar mendekat ke arahnya. Lantas dia dekatkan mulutnya tepat di depan telinga Aeera.  “Kakak ini kuat, aku yakin kakak mampu melahirkan banyak keturunan sang pangeran nanti.” Seketika Aeera memukul lengan adiknya dengan semburat merah yang menghiasi wajah ayunya.  “Aku jadi penasaran kakak iparku itu seperti apa? Kalau dia tampan juga berarti kalian akan jadi pasangan paling serasi, kan? Anak-anak kalian pasti sempurna nanti.” “Sudah Alica, jangan bicara ngawur lagi.” Alica tertawa geli tampak puas karena berhasil membuat kakaknya salah tingkah, menahan malu.  Namun, tawanya tak bertahan lama ketika Alica mengingat setelah ini tak akan ada lagi sosok kakak yang akan membelanya dikala dirinya membuat ayah dan kedua kakaknya marah. Tak ada lagi yang akan menolongnya saat dia mendapatkan hukuman. Tak ada lagi yang akan memberinya makan ketika ayah dan kedua kakaknya tak ingin berbagi makanan dengannya. Karena dalam keluarga itu didikan dan ajaran untuk bertahan hidup cukup keras. Ayah dan kedua kakaknya akan memaksanya untuk berburu sendiri, tak peduli sekali pun dia kelaparan, mereka tetap tak akan memberinya makan. Hanya Aeeralah, satu-satunya orang yang peduli pada Alica selama ini.  “Bagaimana jadinya aku tanpa kakak?” gumam Alica pelan, namun tetap mampu tertangkap indera pendengaran Aeera dengan jelas. “Kau akan baik-baik saja tanpa kakak. Masih ada ayah, Kak Angela dan Kak Amera. Kau tidak sendirian.” “Mereka tidak pernah benar-benar menyayangiku. Kak Angela, Kak Amera, terlebih ayah selalu menyalahkan aku atas kematian ibu.” Aeera tersentak, air mata yang mulai menetes dari kedua mata Alica menjadi  bukti nyata bahwa gadis itu tengah dilanda kesedihan tiada tara.  Meski masih muda, Alica sosok gadis periang yang tegar serta tangguh. Gadis itu nyaris tak pernah meneteskan air matanya bahkan di saat dirinya tersakiti sekali pun.  Bukannya Aeera tidak menyadari perlakuan kasar yang kerap kali didapatkan sang adik dari ayah dan kedua kakaknya, justru dia sangat menyadarinya. Itulah sebabnya dia selalu memberikan seluruh kasih sayangnya pada sang adik. Kasih sayang yang nyaris tak pernah dia rasakan dari anggota keluarganya yang lain. Selain menjadi sosok seorang kakak, Aeera ingin bisa menjadi sosok seorang ibu dan sahabat untuk adik bungsunya itu.  “Mereka menyayangi Alica. Terkadang mereka marah karena Alica sering membuat mereka khawatir, terutama ayah. Jika ayah tidak peduli padamu, tidak mungkin dia akan repot-repot mencarimu dan membawamu pulang di saat kau pergi tanpa kabar,” ucap Aeera, mencoba menghibur Alica. Dia usap lembut puncak kepala sang adik. “Tapi ayah selalu memarahi dan menghukumku.” “Itu karena kau selalu membuat ayah kesal dan khawatir. Ayah marah artinya dia peduli padamu, Alica. Mulai sekarang jangan pernah lagi membuat ayah, Kak Angela dan Kak Amera kesal ya. Jangan bandel lagi.” Alica menghapus jejak-jejak air matanya kasar dengan jari-jari tangannya. Mengangguk seraya tersenyum lebar setelahnya.  Aeera masih mengusap lembut puncak kepala adik kesayangannya itu. Alica memang selalu nakal, pergi tanpa kata ke tempat-tempat yang dilarang seperti daerah perbatasan contohnya. Namun, Aeera tahu alasan Alica melakukan itu karena dia ingin mencari perhatian dari keluarganya. Di dalam keluarganya mungkin hanya Aeera yang paling memahami perasaan dan cara berpikir adik kecilnya itu. Dan sosok sang adiklah yang paling berat untuk dia tinggalkan.  “Jadi ini pertemuan terakhir kita ya, Kak?” Aeera menggeleng tak setuju. “Tentu saja tidak,” jawabnya. “Oh iya, bodoh sekali aku, tentu saja ini bukan pertemuan terakhir kita karena aku akan sering menyusup ke dalam istana untuk menemui kakak.” Alica meringis kesakitan ketika Aeera memukul lengannya cukup keras.  “Bodoh, bukan itu maksud kakak. Jangan coba-coba menyusup ke dalam istana kalau kau tidak mau kakak marah dan membencimu nanti.” Aeera terkekeh ketika mendapat respon berupa wajah merajuk dari sang adik. Alica memalingkan wajah dengan bibirnya yang mengerucut tak suka.  “Kita akan bertemu lagi di hari pernikahan kakak nanti. Alica, janji ya kau harus datang.”  Siluman rubah berusia 190 tahun itu pun seketika memalingkan wajahnya menatap kembali pada sang kakak. Tersenyum lebar hingga deretan giginya terekspos.  “Tentu saja, aku pasti datang.” “Bagus, kalau begitu kakak pergi dulu ya.” Alica mengangguk, dia tatap punggung kakaknya yang perlahan namun pasti mulai menjauhinya.  “Selamat tinggal Kak Aeera.” “Bukan selamat tinggal, tapi sampai bertemu lagi,” sahut Aeera, dia lambaikan tangannya pada sang adik yang kembali memasang wajah murung.  Orang terakhir yang ditemui Aeera sebelum pergi meninggalkan rumah untuk selamanya adalah sosok sang ayah.  Menatap ayahnya yang tengah duduk membelakanginya di atas ranjang dalam kamarnya, cukup membuat Aeera memahami perasaan yang tengah dirasakan pria tersebut.  Aeera melangkah mendekati ayahnya, berjongkok di dekat kakinya yang menggantung seraya dia letakkan kepalanya di pangkuan sang ayah.  Lelehan air mata mau tak mau kembali mengalir ketika Aeera merasakan usapan lembut tangan ayahnya di puncak kepalanya.  “Ayah tidak pernah mengharapkan kau menjadi istri seorang pangeran apalagi Pangeran Lucia. Hidup di dalam istana pasti sangat berat untukmu Aeera. Menjadi istri seorang putra mahkota adalah kesialan untukmu.”  Cepat-cepat Aeera mengangkat kepalanya, mendongakkan wajahnya guna menatap wajah sendu ayahnya.  “Di saat semua orang menganggap aku sangat beruntung, kenapa ayah justru menganggap aku mendapatkan kesialan karena akan menjadi istri pangeran Lucia?” “Ayah mendengar rumor dari beberapa prajurit Istana, pangeran Lucia itu sangat kejam. Dia tidak akan segan-segan membunuh orang yang tidak disukainya atau orang yang membuatnya marah.”  Aeera tersentak kaget, siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pria yang akan menjadi pasangan hidup ternyata seorang pria yang kejam? Semua orang pun pasti sama terkejutnya seperti Aeera.  Aeera memaksakan dirinya tersenyum untuk menenangkan sang ayah, meski sebenarnya hatinya mulai tak tenang dan ketakutan dalam hatinya mulai muncul ke permukaan.  “Itu kan hanya rumor, belum tentu benar kan? Lagipula apa menurut ayah, aku tidak akan mampu membuat suamiku sendiri mencintaiku? Apa aku wanita selemah itu hingga tak mampu mengendalikan suamiku sendiri?”  Adin terenyak dengan bola matanya yang membulat sempurna, tertegun sejenak saat menyadari baru saja mengatakan sebuah kesalahan. Kata-katanya telah melukai perasaan sang putri. Lantas cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya.  “Tidak nak, tentu saja kau gadis yang kuat. Ayah lupa kalau yang akan menjadi istri pangeran itu adalah kau, putri ayah yang paling cantik dan kuat. Tentu saja dia tidak mungkin mampu menolak pesona putri ayah yang satu ini.” Aeera tersenyum lega, kembali dia letakan kepalanya di pangkuan sang ayah.  “Ayah tidak perlu khawatir, aku pasti akan baik-baik saja disana. Aku tidak akan membuat ayah malu. Sebaliknya aku akan membuat ayah bangga.” “Ayah tidak meragukan itu.”  Aeera memejamkan kedua matanya, menikmati usapan lembut tangan ayahnya di puncak kepalanya. Sesuatu yang kelak tak akan pernah dia rasakan lagi.  “Selama ini hanya kau yang mengerti ayah. Hanya kau yang memahami perasaan ayah, membantu ayah mengurus keluarga ini. Tanpa dirimu, ayah tidak yakin mampu memimpin keluarga ini lagi.”  Secepat kilat Aeera bangun dari posisi berjongkoknya. Dia pegangi wajah ayahnya dengan kedua tangannya. Menatap wajah sendu sang ayah dengan serius.  “Jangan bicara begitu ayah. Ayah adalah ayah terhebat yang pernah ada. Ayah pasti mampu mengurus keluarga ini sendirian. Seperti ayah yang telah berhasil mendidikku, aku tidak pernah ragu ayah pun pasti berhasil mendidik saudaraku yang lain. Ayah harus percaya diri. Ingat, ibu mempercayakan keluarga ini pada ayah.”  Bayangan wajah istrinya terlintas di ingatan Adin. Benar yang dikatakan Aeera, tak seharusnya dia putus asa seperti ini hanya karena kepergian Aeera. Dia memiliki empat orang putri, dimana kelak mereka semua akan pergi meninggalkannya saat mereka telah menemukan pasangan hidup mereka. Aeera adalah yang pertama, kelak putrinya yang lain akan menyusul meninggalkannya. Sebagai seorang ayah seharusnya dia bangga mengantarkan putri-putrinya pergi menuju kehidupan baru mereka bukan?  “Maafkan ayah. Kau benar, tidak seharusnya ayah putus asa seperti ini. Ayah juga akan berusaha agar tidak mengecewakanmu. Ayah akan menjadi kepala keluarga terhebat yang pernah ada, seperti yang selalu kau katakan.”  Aeera tersenyum lebar, mengangguk penuh semangat setelahnya. Senyuman Aeera semakin lebar saat merasakan kecupan lembut dari sang ayah tepat di keningnya.  “Pergilah nak, gapai kebahagiaanmu.” “Sebelum aku pergi, boleh aku meminta sesuatu dari ayah?” “Tentu nak, katakan. Ayah akan mengabulkan apa pun permintaanmu.”  Tak ada alasan bagi Aeera untuk tak tersenyum, mendapatkan kasih sayang sebesar ini dari ayahnya rasanya mustahil tidak membuatnya bahagia. Kebahagiaannya tak dapat diukur oleh apa pun.  “Aku mohon jangan terlalu keras pada Alica. Dia selalu bersikap nakal, membangkang dan tidak menuruti kata-kata ayah karena dia ingin diperhatikan. Inilah permintaanku ayah, tolong jaga dan sayangi Alica sepenuh hati ayah. Kematian ibu bukanlah kesalahannya.” Adin tersentak, tak menyangka inilah permintaan putri kesayangannya.  Dia pun mengangguk, tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan sang putri yang memang sudah seharusnya dia lakukan sebagai seorang ayah.  ***   Aeera menatap sekelilingnya dengan was-was sekaligus terkagum-kagum. Tak pernah dia sangka Istana merupakan tempat semegah itu.  Di depannya, dua orang prajurit tengah membimbingnya menuju ke suatu tempat. Aeera tak berani bertanya meski kedua prajurit itu memperlakukannya dengan penuh hormat.  Bukan Aeera tak ingin mengetahui kemana mereka membawanya pergi, hanya saja jantungnya tengah berdetak cepat saat ini. Di dalam kepalanya dia membayangkan mungkin sebentar lagi dia akan bertatap muka dengan pria yang akan menjadi suaminya. Dia gugup sekaligus tak sabar ingin segera berjumpa.  Aeera menundukan kepalanya ketika salah seorang prajurit membukakan daun pintu berukuran besar dengan ukiran khas kerajaan Lewis, ukiran dua sosok rubah ekor sembilan yang tengah bertarung.  Bukan rahasia umum lagi bahwa sang penguasa kerajaan merupakan sosok siluman rubah ekor sembilan. Siluman rubah yang telah berhasil membangkitkan seluruh kekuatan level tertingginya. Ekor sembilan yang muncul di tubuhnya merupakan bukti nyata bahwa dia lah yang terkuat di antara seluruh bangsa siluman rubah. Aeera meneguk salivanya gugup ketika kedua kakinya mulai melangkah memasuki ruangan di balik pintu. Tatapan matanya setia menunduk, masih belum mendapatkan keberanian untuk menatap ke depan.  “Selamat datang Aeera. Selamat datang di Istana kerajaan Lewis.”  Suara yang cukup familiar itu marasuk ke dalam gendang telinganya. Dengan gerakan amat perlahan, Aeera mengangkat kepalanya. Dan cepat-cepat berlutut memberikan penghormatan pada sang Raja agung yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Sosok wanita cantik mengenakan gaun putih yang tidak lain merupakan sang Ratu, Adena De’Lewis ikut duduk di samping kursi sang Raja. “Berdiri nak, tidak perlu bersikap formal. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga.” Aeera seketika kembali berdiri meski tatapannya masih dia tundukan ke bawah. Nyalinya seolah menciut ketika dirinya harus berhadapan dengan pemimpin bangsa siluman rubah.  “Bagaimana istriku? Apa gadis pilihanku ini gadis yang tepat?” Ratu Adena menganggukan kepalanya dengan senyuman puas terpatri di bibir ranumnya. Dia menoleh ke arah sang suami, memberikan senyuman termanisnya sebelum memutuskan melangkah turun dari singgasananya.  Wanita cantik yang berstatus sebagai Ratu namun memutuskan untuk menjadi seorang pertapa itu berjalan menghampiri calon istri cucunya.  Dia sentuh dagu Aeera, mengangkatnya pelan agar tatapan mereka saling bertemu saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan Aeera.  “Suamiku memilih gadis yang tepat. Selamat datang di Istana ini, sebentar lagi kau akan menjadi bagian dari keluarga Kerajaan. Besok ... Lucia akan menyelesaikan semedinya. Pasti kau sudah tidak sabar ingin bertemu dengan calon suamimu bukan?” Ratu Adena tersenyum ketika menyadari semburat merah yang muncul di wajah Aeera karena ucapannya.  “Bersabarlah sebentar lagi, kau akan segera bertemu dengannya.” Aeera mengangguk kecil sebagai responnya. “Aeera, kami menaruh harapan besar padamu. Hanya kau satu-satunya harapan kami.”  Dan mengernyitkan dahinya saat perkataan sang Ratu sama sekali tidak dipahaminya, namun perasaan tak nyaman mulai merasuk dalam hati Aeera. Seolah hatinya mampu merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD