DUA

2433 Words
Tiga gadis berparas jelita tengah duduk bersantai di dalam ruangan yang sama. Sebuah ruangan teramat sederhana, tak ada apa pun disana selain lima buah kursi kayu dan sebuah meja berbahan kayu yang telah lapuk. Rayap memakan sebagian kecil dari meja tersebut, semakin memperjelas kondisi sang meja yang menyedihkan.  Angela, anak sulung di dalam keluarga itu tengah asyik menatap lembar demi lembar  gulungan yang dibacanya. Sebuah gulungan dimana di dalamnya terukir huruf-huruf kuno yang hanya bangsa siluman yang bisa membacanya. Siluman rubah putih berekor lima itu tampak tak terganggu dengan fokusnya membaca tulisan dalam gulungan meskipun saudara perempuan di sampingnya tengah membuat suara gaduh.  Amera, sang putri kedua tampak nikmat menyantap daging kelinci mentah favoritnya. Suara kunyahannya menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruangan. Katakan pada siluman rubah putih berekot empat itu betapa beruntungnya dia karena memiliki dua saudari yang tak mempedulikan sekelilingnya. Kedua saudarinya tampak fokus dengan kegiatan mereka, tak terganggu sedikit pun dengan suara kunyahan terlampau keras yang berasal dari mulut Amera.  “Kau mau mencicipi ini? Ini enak sekali, aku sendiri yang memburunya pagi tadi.”  Amera berbaik hati menawarkan jatah makanannya pada sang adik yang tengah asyik merajut tak jauh darinya. Aeera, putri ketiga dalam keluarga itu menggelengkan kepalanya dengan senyuman tipis terbit di bibirnya. Berterima kasih atas tawaran kakaknya namun juga memasang raut menyesal karena pagi ini dia sungguh tak berselera makan. Siluman rubah putih ekor tiga itu hanya ingin sesegera mungkin menyelesaikan rajutannya.  “Pakaian siapa yang kau rajut itu, Aeera?”  Giliran Angela, sang sulung yang bersuara. Aeera memutar lehernya menghadap kakak tertuanya kali ini.  “Alica, aku sedang membuatkan pakaian baru untuknya.”  Angela memutar bola matanya bosan, begitu pun dengan Amera yang mendengus kasar mendengar jawaban jujur Aeera.  “Untuk apa anak nakal itu kau buatkan baju baru? Baru dipakai sekali saja pasti baju itu langsung robek lagi. Anak nakal itu memang sudah tak tertolong lagi. Ayah saja sampai kepayahan mengurus dia.” Aeera lagi-lagi tersenyum kecil, tak ada yang salah dengan ucapan Amera barusan.  Memang sosok adik kecil mereka yang bernama Alica ini sangatlah nakal. Dia tak pernah menuruti nasihat ayahnya maupun ketiga kakaknya. Sosok siluman rubah putih ekor dua yang mengesalkan. Terkadang mereka heran darimana sifat pembangkang adiknya itu berasal mengingat di dalam keluarga mereka tak ada yang memiliki sifat liar sepertinya.  “Ibu sudah meninggal, jadi kita harus membantu ayah menasihati Alica.” Angela membanting gulungan yang dipegangnya ke atas meja. Lantas mendengus tak suka mendengar ucapan Aeera. Adiknya yang terlalu baik hati menurutnya.  “Silakan kalau kau ingin mengurus anak nakal itu, Aeera. Tapi aku angkat tangan ya, tak ingin ikut campur.” “Aku juga ikut angkat tangan. Menyerah kalau disuruh mengajari anak ingusan itu.” Amera menimpali.  Obrolan ketiga saudara itu pun terhenti di saat seseorang menerjang masuk. Seorang pria dewasa yang mereka ketahui merupakan sang kepala keluarga tengah menarik tali yang mengikat seorang gadis yang tengah berteriak histeris. Gadis itu meronta berusaha melepaskan ikatan tali yang mengekang tubuhnya.  “Ayah, lepaskan! Maafkan aku, aku janji tidak akan melawan lagi!”  Angela dan Amera memutar bola mata mereka bersamaan. Ucapan yang sudah sering mereka dengar dari mulut si bungsu. Kata-kata itu sudah tak mereka percayai lagi, tentu saja sang ayah pun demikian.  “Diam dan renungkan kesalahanmu di dalam ruangan ini. Kau tidak boleh keluar sampai aku mengizinkan,” sahut sang ayah, setelah dia mendorong paksa putri bungsunya ke dalam ruangan yang gelap. Menutup pintu dan menguncinya serapat mungkin.  “Aku tidak mengampuni siapa pun yang mencoba melepaskannya apa lagi mengeluarkannya dari ruangan ini,” katanya, dengan tatapan mengintimidasi pada ketiga putrinya yang tengah menatap malas padanya.  Angela memilih kembali mengambil gulungan yang dia banting di meja tadi, lantas melanjutkan membaca tulisan di dalamnya. Amera mengedikkan bahunya tak peduli.  “Iya, Ayah.” Dan hanya satu putrinya yang memberi respon berarti, siapa lagi kalau bukan putri kesayangannya. Seorang gadis yang menurutnya merupakan putri paling cantik, baik hati, pengertian, peduli, penurut yang dia miliki. Putri paling berharga dalam hidup Adin, sang siluman rubah putih ekor enam.  “Amera, jangan makan sendirian. Tawari juga kakak dan adikmu.” “Sudah, Ayah. Tapi mereka tidak mau. Tidak selera makan katanya.” “Haah, seingatku kau tidak menawariku, kau hanya menawari Aeera.” “Ooh, berarti telingamu perlu dibersihkan, jelas-jelas tadi aku menawarimu juga, Kakak.”  Angela menggeram melihat Amera yang terkekeh. Jelas-jelas adik kurang ajarnya itu tengah mempermainkannya. Dia pun tanpa permisi merebut paksa paha kelinci dalam pegangan Amera, memasukan daging itu ke dalam mulutnya, mengabaikan pekikan tak terima dari sang pemilik makanan.  Aeera tertawa melihat tingkahlaku kedua saudarinya yang konyol. Sedangkan Adin hanya mampu mengembuskan napas lelah menyaksikan kedua putrinya yang tak pernah bersikap dewasa di usia mereka yang sudah terlampau dewasa. Bagi bangsa siluman, usia yang sudah melewati 300 tahun artinya mereka merupakan siluman yang telah dewasa.  Angela berusia 450 tahun di tahun ini. Amera 390 tahun, Aeera 245 tahun sedangkan si bungsu yang nakalnya sudah tak dapat diatasi Adin lagi itu, baru berusia 190 tahun. Adin memijat pelipisnya yang berdenyut, lelah mengurus keempat putrinya tanpa kehadiran sang istri.  Istrinya tewas tak lama setelah melahirkan Alica. Membuat pria berusia 780 tahun itu harus mengurus putri-putrinya seorang diri. Beruntung dia memiliki putri seperti Aeera, hanya putrinya itu yang memahami dirinya. Membantunya mengurusi rumah dan ketiga saudaranya padahal dia bukanlah anak tertua. Entah apa yang akan terjadi pada keluarga mereka seandainya Aeera tak tinggal lagi bersama mereka. Sungguh membayangkannya saja Adin tak sanggup, sepertinya dia sudah terlalu bergantung pada putri ketiganya itu.  “Jangan bertengkar. Kalian sudah dewasa tapi kelakuan kalian tidak ada bedanya dengan Alica yang masih bocah!” bentaknya, lantas melangkah pergi karena kedua putrinya tak memberikan respon sedikit pun. Angela dan Amera semakin gencar memperebutkan daging yang tinggal satu potong lagi. Mereka tengah memperebutkan kepala kelinci yang masih meneteskan darah segar.  ***   Aeera mengendap-endap, tak ingin suara langkah kakinya terdengar penghuni rumah yang lain. Dengan gerakan amat perlahan dia putar kunci yang dia masukan ke dalam lubang pintu. Memutar kenop pintu dengan amat hati-hati, sebelum dia melongokan kepalanya ke dalam guna melihat keadaan seseorang yang terkurung di dalam.  “Kak Aeera.” “Sssttt, jangan berisik.” Aeera memperingati sang adik seraya dia letakan jari telunjuknya di depan bibir. Seketika sang adik yang masih terikat tali itu, mengatupkan mulutnya serapat mungkin.  Aeera menutup pintunya dengan gerakan penuh hati-hati dan waspada. Berjalan menghampiri sang adik, lantas dia buka tali yang mengikat tubuh gadis malang yang sangat disayanginya itu.  “Ini, makanlah.” Aeera menyodorkan sebuah wadah dimana di dalamnya terdapat daging yang sudah dipotong-potong berbentuk kotak kecil. “Waah ... terima kasih, Kak. Jadi daging rusa ya makanan kita hari ini? Siapa yang menangkapnya? Ayah kah?” “Jangan banyak bertanya, cepat makan saja. Aku tahu kau pasti lapar, kan?” Alica mengacungkan ibu jarinya sembari terkekeh memperlihatkan deretan giginya beserta dua taring tajam yang menjadi bukti dia bukanlah manusia melainkan seekor siluman rubah yang memiliki taring untuk mengoyak daging mangsanya.  Aeera tersenyum lembut, adiknya begitu lahap menyantap makanannya. Tatapannya pun turun pada pakaian lusuh dan usang yang dikenakan adiknya. Baju dan rok berwarna putih itu tampak kotor dan robek di beberapa bagian. Dia meringis melihatnya, entah apa yang sudah dilakukan adiknya sampai penampilannya tampak mengenaskan seperti ini. Terlebih pakaian itu baru seminggu yang lalu dia buatkan untuk sang adik dan kini sudah tak berbentuk lagi. Sangat tak layak untuk dikenakan lagi.  “Apa yang kau lakukan sampai ayah menangkapmu? Jangan katakan kau pergi ke perbatasan lagi?”  Tak perlu repot-repot mendengar Alica mengeluarkan suaranya, hanya dengan melihat cengiran gadis itu, Aeera tahu persis tebakannya tepat sasaran.  “Kenapa kau bandel sekali, Alica? Berapa kali aku dan ayah sudah memperingatkanmu jangan pergi ke perbatasan. Itu sangat berbahaya, kau bisa celaka. Parahnya lagi kau bisa jadi santapan para siluman anjing jika mereka melihatmu memasuki wilayah mereka.” Alica menggelengkan kepalanya penuh semangat. Dia kibaskan telapak tangannya, menolak mentah-mentah perkataan kakaknya.  “Mereka tidak akan menjadikanku makanan mereka, Kak. Kakak lupa ya perjanjian perdamaian yang dibuat Raja Alexis dengan seluruh siluman di muka bumi termasuk para siluman anjing itu?” “Mereka tetap akan memburumu jika kau ketahuan memasuki wilayah mereka. Lagi pula apa yang membuatmu senang datang ke perbatasan? Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu meskipun aku ini kakak kandungmu.”  Aeera mendengus kasar, lagi-lagi adik kecilnya itu hanya membalas dengan cengirannya. Seolah tak merasa bersalah sedikit pun karena sudah membuat keluarganya muak dengan kelakuannya.  “Pemandangannya sangat indah, Kak. Di sana juga banyak hewan yang bisa diburu. Oh iya, para siluman anjing itu juga sangat mempesona. Aku suka melihat mereka.”  Aeera memutar bola matanya bosan, selalu alasan itu yang diberikan sang adik setiap kali dirinya bertanya.  “Berapa kali harus aku katakan, kita siluman rubah merupakan siluman yang paling mempesona. Berhenti mengendap-ngendap dan mengawasi siluman lain dari kejauhan.”  “Percuma Aeera, kau menasehatinya sampai mulutmu berbusa pun dia tidak akan menurut. Anak nakal itu sudah terlanjur dewasa sebelum saatnya. Kurasa isi kepalanya sudah penuh dengan hal-hal m***m. Aku berani bertaruh dia sering datang ke perbatasan karena jatuh cinta pada salah satu siluman anjing bau itu, kan?”  Dua pasang mata itu menatap bersamaan ke arah pintu, dimana di sana sosok Amera tengah berdiri bersedekap sambil menyenderkan punggungnya pada dinding.  “Kak Amera jangan sok tahu. Aku memang mengatakan mereka mempesona bukan berarti aku jatuh cinta pada salah satu dari mereka. Asal kakak tahu isi kepalaku masih suci bersih. Tuduhan kakak tadi salah besar.” Amera mendengus kecil, tak percaya sedikit pun pada pembelaan adik bungsunya.  “Terserah, yang jelas kau memang sudah dewasa melampaui usiamu. Ck ... Ck ... semoga aku tak pernah mendengar kabar kau kawin lari dengan salah satu siluman anjing bau itu suatu hari nanti.” “Kak Amera!!”  Amera mengorek telinganya dengan jari kelingkingnya, seolah telinganya sakit karena mendengar teriakan tak terima dari adik bungsunya.  “Aeera, sebelum ayah pulang dan memergokimu melanggar perintahnya dengan memberi siluman rubah ingusan itu makan, lebih baik kau cepat keluar dan ikut aku.” Aeera memiringkan kepalanya, heran karena tak biasanya kakak keduanya itu peduli dengannya. Biasanya Amera tak peduli meskipun melihat Aeera dimarahi sang ayah karena kepergok lagi-lagi menolong adik bungsu mereka.  “Kenapa, Kak? Terjadi sesuatu?” tanyanya, mencari tahu alasan terselubung di balik kepedulian Amera yang tak biasa. “Kak Angela akan mendandani kita di kamarnya. Cepat ikuti aku sebelum Kak Angela mengamuk karena menunggu kita terlalu lama.” “Mendandani?” gumam Aeera, dengan bola matanya membulat sempurna, heran luar biasa. “Ayah yang menyuruh kita berdandan. Tentu bocah ingusan itu tak termasuk,” kata Amera seraya menunjuk dengan dagunya ke arah Alica. “Ayah bilang ada kunjungan dari Raja Alexis. Sang raja memerintahkan untuk mengumpulkan seluruh gadis.” “Haah? Untuk apa?” Amera mengedikkan bahunya, lantas melenggang pergi setelahnya. Tak peduli lagi Aeera akan mengikutinya atau tidak, yang penting tugasnya sudah selesai. Dia sudah memberitahukan tujuannya datang ke ruangan itu.  ***  Rombongan kerajaan mulai berdatangan, seluruh siluman rubah putih yang berada di bawah naungan kerajaan Lewis berlutut memberikan penghormatan. Raja Alexis memandang dengan raut datar pada seluruh rakyatnya. Bukan pertama kalinya pemandangan seperti ini dilihatnya, sudah cukup sering dia melakukan kunjungan seperti ini selama menduduki tahta, meski inilah pertama kalinya dirinya melakukan kunjungan karena mencari calon istri untuk cucu kesayangannya.  Raja Alexis menerawang, mengingat kembali pembicaraannya dengan sang istri kemarin. Menghela napas panjang karena tak menyangka cucu yang dibanggakannya itu kelak akan menjadi iblis yang menjadi penyebab kehancuran kerajaan yang sudah ribuan tahun dibangunnya.  Raja Alexis mendesah lelah, tugasnya kali ini sangatlah berat. Entah dia akan berhasil atau tidak menemukan gadis yang mampu merubah sifat cucunya yang keras luar biasa. Bahkan dirinya sendiri yang notabene merupakan kakeknya, mengibarkan bendera menyerah jika menyangkut merubah sifat dan kepribadian cucunya yang keras bagai batu karang itu.  “Yang Mulia, kita sudah sampai.”  Satu kalimat dari salah seorang prajuritnya sukses membuyarkan semua lamunan sang raja. Tatapan sang raja kini tertuju pada kumpulan gadis muda yang berbaris dengan rapi. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk memberikan penghormatan padanya.  “Suruh mereka mengangkat kepala. Aku ingin melihat wajah mereka.” “Baik, Yang Mulia.”  Sang prajurit pun berteriak lantang setelahnya, menyerukan titah dari sang raja pada seluruh gadis agar mereka mengangkat kepala. Mendongak ke depan agar sang raja bisa melihat wajah mereka dengan jelas.  Raja Alexis melangkah perlahan. Dia telusuri jalan setapak saat dirinya memeriksa dan memperhatikan wajah setiap gadis yang dia lewati.  Semua gadis itu memiliki paras yang cantik, hal yang wajar mengingat mereka adalah siluman. Terutama mereka merupakan siluman rubah putih yang keindahan paras mereka sudah diakui seantero siluman di dunia mereka. Mungkin inilah alasan terbesar yang membuat Raja Alexis cemas dirinya akan berhasil menemukan gadis yang tepat.  Langkah demi langkah dia telusuri, pandangan matanya silih berganti menatap ke arah gadis yang berbeda seiring dengan langkah kakinya membawa dirinya pergi.  Sejauh ini belum ada satu pun gadis yang terlihat spesial di matanya.  Jika boleh jujur, meski dirinya seorang raja agung, tapi dirinya tak pandai sedikit pun dalam hal menilai orang. Sangat jauh berbeda dengan sang istri yang seolah memiliki kemampuan khusus dalam hal menilai kepribadian orang hanya dengan melihat wajahnya sekilas. Dirinya sangat payah dalam hal ini, dan entah kenapa justru dirinya yang diminta sang istri untuk memilih calon istri untuk Lucia.  Raja Alexis mengurut pangkal hidungnya, mulai cemas karena dirinya masih belum menemukan gadis itu meskipun sudah puluhan gadis yang dia lewati.  “Yang Mulia, Anda baik-baik saja?” Seorang prajurit dengan sigap menghampirinya. Membuat gerakan untuk membantu sang raja yang terlihat mulai pucat.  Raja Alexis dengan cepat mengangkat telapak tangannya, memberi isyarat pada sang prajurit bahwa dirinya baik-baik saja dan belum membutuhkan bantuan untuk sementara waktu ini. Lantas dia pun melanjutkan langkahnya, kembali menatap ke arah kumpulan gadis cantik yang setia berlutut di depannya.  Embusan napas putus asa entah sudah keberapa kalinya sang raja embuskan. Dirinya sudah mencapai barisan terakhir namun dia belum juga menentukan gadis mana yang akan dipilihnya.  Hingga di saat dirinya nyaris berbalik pergi karena menyerah untuk mencari gadis yang tepat, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sinar keemasan yang membungkus tubuh salah seorang gadis.  Gadis itu berlutut di barisan paling belakang, berada di ujung yang berjarak cukup jauh dari sang raja berdiri. Nyaris tak terlihat oleh sang raja jika saja dia kurang teliti memperhatikan tadi.  Raja Alexis pun melangkah penuh semangat ke arah si gadis. Memegang bahu sang gadis dan membantunya berdiri ketika kini dirinya sudah berdiri di hadapan gadis tersebut.  Begitu tatapan matanya bersirobok dengan wajah si gadis, Raja Alexis meneguk salivanya.  Gadis itu sangat cantik dan mempesona, kecantikan yang tak pernah dia lihat di kalangan istana sekali pun. Sungguh dia tak berbohong mengatakan ini. Aura yang menguar dari tubuhnya sangat berbeda dengan aura gadis lain. Ketika sekali lagi dia melihat sinar keemasan yang seolah membungkus tubuh sang gadis, Raja Alexis mengingat perkataan istrinya kemarin.  “Aku akan memberikan petunjuk gadis yang memiliki hati yang bersih, baik dan tulus.”  Sinar keemasan inilah yang Raja Alexis anggap sebagai tanda dari sang istri.  Untuk sejenak Raja Alexis tak berpaling sedikit pun, pandangannya fokus menelisik si gadis mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Gadis itu tampak gelisah, tak nyaman karena pandangan sang raja seolah menelanjangi dirinya. Bohong jika Raja Alexis tak menyadarinya, tentu dia sadar tindakannya ini telah membuat sang gadis tak nyaman.  “Siapa namamu, Nak?” tanyanya. Si gadis dengan malu-malu mencuri pandang pada sosok Raja agung yang sejak tadi menatapnya seolah lupa cara berkedip. “Aeera Angelynne, Yang Mulia.” Suara pelan yang mengalun merdu dari mulut si gadis mau tak mau membuat Raja Alexis semakin yakin dengan pilihannya.  Sang Raja pun tersenyum lebar setelah akhirnya dirinya berhasil menemukan gadis yang cocok untuk menjadi istri cucunya. Sang pangeran mahkota kerajaan Lewis, Lucia De’Lewis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD