Memang Buaya Darat
Tok tok tokk
"Assalamualaikum, Nyonya..."
Suara panggilan dari Bik Nur terdengar di depan. Dengan sigap, Fika pun langsung membukakan pintu.
"Yeay! Ma...lihat, aku dibawain oleh-oleh getuk pisang loh sama Bik Nur," ucap Fika girang sambil menunjukkan makanan kesukaanya itu, "makasih banyak ya, Bik!"
Bik Nur, memang sudah sejak tiga hari yang lalu, pamit berkunjung ke rumah adiknya yang ada di Kediri. Karena adik satu-satunya itu, sedang menikahkan anaknya.
Fika, memang sangat dekat dengan Bik Nur, karena Bik Nur ini sudah bekerja padaku sejak tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya bersamaan dengan aku membeli rumah ini. Namun, dulu rumah yang kutempati ini, amat sederhana. Tapi, sepuluh tahun yang lalu, Mas Hasan telah membangunnya menjadi rumah yang mewah.
Usia Bik Nur, tak jauh beda denganku, mungkin terpaut lima tahun saja. Karena dia juga amat baik dan penyabar, maka kami sudah mengaggapnya sebagi saudara sendiri.
"Wah...terima kasih, Bik. Sudah bawain banyak oleh-oleh. Yuk, sekarang kita sarapan bareng-bareng. Pasti Bibik belum makan 'kan?" ucapku.
Biasanya, memang jika hanya berdua denganya di rumah. Aku selalu minta ditemani saat makan.
"Tapi, saya masih kenyang Nyonya. Tadi saat berangkat sarapan kok," jawabnya, sembari terua melihat Lio, yang ada dj gendonganku.
"Nah berarti sarapannya 'kan tiga jam yang lalu, sekarang pasti lapar lagi. Ayo kita makan, aku masak spesial loh ini tadi, spesial hari ulang tahunnya, Fika," ucapku lagi.
"Ya Allah...maaf ya, Non. Bibik lupa kalau hari ini Non Fika ulang tahun!"
"Ah...nggak apa-apa kok, Bik. Anggap aja getuk pisang ini kadonya, hehehe. Yuk makan bareng," ucap Fika sembari mendudukkan Bik Nur disampingnya.
"Ayo makan, sambil aku mau bilang sesuatu. Pasti Bik Nur juga penasaran dengan bayi imut ini 'kan?" ucapku yang dijawab anggukan olehnya.
Bik Nur pun kemudian menuruti ucapanku, dan mulai makan.
"Enak sekali masakan Nyonya," pujinya.
"Halah, Bik. Bisa saja, kayak nggak pernah makan masakanku saja, hihihi. Setelah ini, aku dan Fika akan pergi, mungkin agak lama dikit. Nah, Bik Nur harus menjaga bayi imut ini ya."
"Iya baik, Nyonya. Maaf...itu bayinya siapa, Nya?" tanya Bik Nur.
Aku pun lalu menceritakan semuanya, tak ada yang kututup-tutupi tentang Mas Hasan. Karena, aku sangat faham dengan sifat Bik Nur selama ini. Selain sebagai pembantu, dia juga kuanggap sebagai Kakak, yang selalu memberi nasehat saat hatiku gundah. Dan selalu menghibur saat aku bersedih.
"Bagaimana? Bibik bisa 'kan merawat bayi mungil ini? " tanyaku kemudian.
"Pasti siap, Nyonya. Saya akan merawat sebaik mungkin," ucap Bik Nur, yang kini mengambilnya dari gendonganku.
"Nanti, jangan diajak keluar dulu ya, Bik. Aku nggak mau tetangga berpikiran macam-macam," perintahku yang dijawab anggukan olehnya.
"Kalau diamati, wajahnya amat mirip dengan Tuan dan juga Nona Fika ya, Nya. Ganteng banget ini loh!"
Bik Nur terlihat senang sekali dengan Lio, apalagi saat ini Lio tengah terjaga, dan sering menunjukkan senyum lucunya.
"Bik...kok kayaknya nggak kaget gitu sih? Saat Mama cerita tentang kelakuan Papa di luar rumah?"
Tiba-tiba Fika berseloroh, karena mungkin dia tak melihat keterkejutan dari wajah Bik Nur.
"Sebenarnya, ada satu rahasia yang sejak sepuluh tahun lalu saya simpan, Non..." ucap Bik Nur lirih.
"Rahasia? Tentang apa, Bik? Ceritalah sekarang, jika memang ada hubungannya dengan keluargaku," ucapku penasaran sambil menatapnya intens.
"Kenapa saya tak kaget dengan cerita Nyonya tadi, adalah karena saya sudah tahu kelakuan buruk Tuan Hasan. Sepuluh tahun yang lalu, saat Nyonya dan Non Fika rekreasi sekolah, kalau tidak salah saat itu ke Bali, dan menginap selama tiga hari. Tuan membawa pulang seorang perempuan, Nya."
Aku mencoba memgingat moment sepuluh tahun yang lalu, saat itu memang aku sedang berlibur dengan teman satu SD-nya Fika, ke Bali. Dan benar, kami menginap di sana, selama tiga hari.
Saat itu, sebenarnya semua orang tua atau
keluarga wajib ikut, tapi Mas Hasan menolak saat kuajak, katanya sedang ada proyek yang harus ditangani.
"Teruskan, Bik!" perintahku lagi.
"Selama dua hari dua malam, Tuan mengajak seorang wanita muda itu, tidur di kamar Nyonya. Sebenarnya, saya ingin mengatakan semua ini, tapi Tuan selalu mengancam. Apalagi saya 'kan tidak punya bukti, takutnya Nyonya malah mengira saya pembohong.
Saya juga melihat, jika di depan Nyonya, Tuan selalu bersikap baik dan alim. Jadi, saya pun akhirnya menyimpan rahasia itu sendiri selama sepuluh tahun ini, Nya.
Kini, saat Nyonya menceritakan semua, rasanya saya tak kaget lagi. Karena sudah sejak lama saya mengetahuinya. Maaf kan saya, Nyonya, Non Fika, jika selama ini diam saja." Wajah Bik Nur saat ini amat serius.
"Nggak apa-apa, Bik. Aku tahu posisimu saat itu. Dan benar sekali katamu, jika saat itu kamu cerita, mungkin aku tak akan pernah mempercayaainya, dan malah berpikiran buruk padamu, Bik. Apa ada rahasia lain yang kamu sembunyikan tentang Mas Hasan?" tanyaku lagi.
"Masih ada Nyonya, tapi saya takut Nyonya akan marah," ucapnya, kali ini sambil menunduk.
"Katakan saja, Bik. Insyaallah aku tak akan marah, karena kini aku telah tahu siapa sebenarnya suamiku itu. Ayo cerita, tak perlu takut," ucapku sembari tersenyum, agar Bik Nur rileks.
"Iya, Bik. Ayo cerita saja, jangan buat kami penasaran dong! Hehehe," ucap Fika.
"Setelah kejadian Tuan membawa pulang wanita muda itu, Tuan jadi sering kurang ajar sama saya, Nyonya. Beliau sering masuk ke kamar saya tiba-tiba, karena memang dulu pintu kamar tidak saya kunci.
Tuan selalu memaksa saya menuruti kemauannya, tapi Demi Allah, sekuat apapun usaha Tuan Hasan, saya tak pernah mau. Selain mengancam, Tuan juga pernah menawari kekayaan untuk saya, asal mau menjadi simpananya. Tapi, tetap saya tak mau. Karena tak ingin merusak kebahagiaan Nyonya Dewi yang selalu baik pada saya. Ingin rasanya keluar dari sini, tapi saya ini terlanjur sayang sama Non Fika, jadi tak bisa meninggalkannya." Kali ini Bik Nur terlihat menitikkan air mata.
"Astaghfirullah aladzim, sungguh b****b kelakuan Mas Hasan itu! Lalu, bagaimana sikapnya kini kepadamu, Bik? Apa masih kurang ajar, atau bagaimana?" tanyaku lagi.
"Seingat saya, terakhir Tuan datang je kamar sekitar dua tahun yang lalu, Nyonya. Saat itu, setiap tidur saya selalu meletakkan pisau dibawah bantal. Nah...saat Tuan datang malam itu, saya goreskan pisau di tangan kanan beliau.
Dan hingga saat ini, beliau tak pernah lagi mengganggu. Karena kamaar juga sudah saya beri selot dobel."
Aku sangat percaya dengan semua ucapan Bik Nur ini. Karena aku tahu, dua tahun yang lalu tangan kanan Mas Hasan tergores pisau panjang, katanya tak sengaja. Dan juga, aku pernah beberapa kali menemukan pisau di balik bantal Bik Nur, ketika aku memeriksa kamarnya, saat dia berbelanja.
Berarti aku memang harus secepatnya membuang jauh lelaki buaya darat itu. Sungguh menjijikkan kelakuannya!