Bab 9

772 Words
Kembalilah Ke Asalmu "Hemmm....boleh juga tuh, Ma. Aku sangat setuju sekali. Tahun ini, akan menjadi tahun paling bersejarah dalam hidupku. Karena tepat saat ulang tahunku, kedok Papa malah terbongkar, padahal hal itu mungkin telah ditutupinya selama bertahun-tahun," ucap Fika sembari tersenyum kecut. "Maafin ya, Sayang. Kamu harus mendenagar ini semua tepat di hari kelahiranmu. Semoga saja, ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita ke depannya. Dan membuat hidup kita jauh ñlebih baik lagi ke depannya. Mama yakin, dengan ini nanti kamu akan menjadi seorang wanita yang kuat, yang tak mudah menyerah." Aku pun kemudian memeluk kembali memeluk Fika, karena kutahu, meski terlihat tegar, pasti saat ini hatinya hancur. "Aku pasti kuat, Ma. Dan kita akan bareng-bareng melewati ini semua. Dan memulai hidup baru bersama Lio," ucap Fika tersenyum sembari mengurai pelukanku. Di dunia ini, aku memang sudah tak punya siapa-siapa lagi. Karena ibu dan saudara kembarku sudah meninggal saat mengalami kecelakaan, tiga puluh tahun yang lalu. Sedangkan ibuku telah menjadi seorang single parent, sejak aku belum lahir ke dunia ini. Kini, aku punya Fika dan Lio, yang harus ku jaga, keputusan cepat dan tepat harus segera kulakukan. Dan semoga juga Allah, melindungiku dari penyakit kelamin, yang mungkin di tularkan Mas Hasan padaku, jika dia tak memakai pengamanmn dengan para selingkuhannya itu. Agar aku bisa melihat anak-anakku sukses nantinya. Amiin. "Kalau begitu, taruh dulu barang itu di sini dulu. Sekarang kita sarapan, mumpung belum dingin. Sambil menunggu Bik Nur datang. Setelah itu, kita akan melakukan banyak hal hari ini." "Oke, siap Bos! Nanti kita 'kan mau keluar, Ma, apa Lio mau diajak?" tanya Fika. "Nggak, kasihan dia itu kata Adelia, usianya baru seminggu. Mangkanya itu kita tunggu Bik Nur. Biar nanti Lio sama Bik Nur. Yuk kita sarapan." Kami pun kemudian menuju meja makan, yang dari tadi hidangannya sudah kusiapkan. Rencananya nanti saar Bik Nur datang, aku akan keluar dalam waktu yang lumayan lama, karena semua harus kuselesaikan dalam waktu dua hari saja. Tujuan pertamaku nanti adalah ke pengadilan agama. Secepatnya aku ingim berpisah dengan suami penghianat, jika saja tak butuh proses yang sulit, aku ingin sekarang jiga menyandang status sebagai janda. Dari pada punya suami tapi terus dibohongi, 'kan lebih baik sendiri. Selanjutnya, aku akan menuju ke Bank, tentunya untuk menitipkan seluruh barang berhargaku, dan membuka sebuah rekening baru. Setelah itu, lalu aku akan menggadaikan surat tanah itu. Ke rumah sakit untuk memeriksakan diri, lalu terakhir berbelanja kebutuhan Lio. "Ma...aku tuh rasanya nggak sabar banget, ingin melihat reaksi Papa, saat tahu semuanya habis? Kira-kira bakal pingsan atau depresi nggak tuh? Hahaha, " ucap Fika sambil makan. "Sama, mama juga sudah nggak sabar melihatnya, pasti papamu akan shock, karena harta yang sudah lama dikumpulkannya hilang seketika!hahaha..." "Sukurin! Salah siapa aneh-aneh diluar? Habis deh akhirnya, cari masalah sih!" Kilat amarah dan dendam terlihat dari mata Fika. Dua puluh tiga tahun yang lalu, saat awal bertemu dengan Mas Hasan. Aku memang sebatang kara dan mengelola toko sembako, peninggalan ibu, yang letaknya ada di depan rumah. Wulan adalah nama ibuku, dan saudari kembarku bernama Dina. Nah, saat itu Mas Hasan bekerja sebagai seorang pengawas lapangan proyek irigasi di kampungku. Karena seringnya bertemu, akhirnya benih-benih cinta pun tumbuh diantara kami. Apalagi saat itu, Mas Hasan adalah orang yang sangat rajin beribadah, pekerja keras dan amat baik padaku. Jadi, setelah masa pendekatan sekitar satu tahun, aku pun mau saat dipinangnya. Mas Hasan ternyata juga sama denganku, dia adalah seorang yatim piatu, dan sudah sejak berumur sepulubh tahun, dia tinggal di panti asuhan. Dan selama lima tahun bekerja sebagai pelaksana, dia selalu tinggal di mess yang sudah disediakan. Setelah menikah, kami hidup di rumahku, dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kebetulan proyek yang dikerjakan Mas Hasan di kampungku , adalah selama tiga tahun. Bahagia selalu kurakan setiap hari, karena Mas Hasan adalah seorang suami yang sempurna. Setahun kemudian aku melahirkan Fika. Saat itu proyek perusahaan tempat Mas Hasan pun habis. "Ma...boleh nggak aku minjam sawahmu?" tanya Mas Hasan saat itu, sekitar tujuh belas tahun yang lalu. "Pinjam sawah? Maksudnya bagaimana, Pa?" tanyaku tak mengerti. Selain rumah dan toko ini, aku memang punya tanah yang lumayan luas saat itu. "Aku ingin menjualnya, untuk modal usaha. Aku ingin menjadi seorang kontraktor, untuk memperbaiki hidup kita dan Fika. Nanti pasti aku akan membelikanmu yang lebih luas lagi," pintanya. "Boleh, Pa. Kita ini 'kan keluarga, semuanya milik kita bersama. Yang di jual jangan sawah, Pa. Rumah ini saja, lalu kita beli rumah baru, yang letaknya di perkotaan. Aku bosan hidup di kampung terus." Seperti itulah awalnya, hingga kini Mas Hasan bisa menjadi kontraktor ternama di kota ini. Dan kini setelah memiliki segalanya, dia mulai bermain api. Maka, jangan salahkan aku, jika aku akan memiskinkanmu kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD