Bab 8

787 Words
TAMU SELEPAS SUBUH 8 Sebelum baca, klik berlangganan dulu ya. Biar nanti nggak ketinggalan, saat author update bab terbaru. Terima kasih Salam sayang dari Author. ************* Blurb : Seorang wanita muda, mengetuk pintu rumah Dewi selepas subuh. Dia menyerahkan seorang bayi dan meminta Dewi untuk merawatnya. Selang beberapa jam, di sebuah kampung yang tak jauh dari rumah Dewi, ditemukan mayat wanita, dengan mulut berbusa. ************** Amankan Semuanya Sekarang "Omm...sshhh..." suara desahan dari seorang wanita terdengar amat lirih. Sontak Mas Hasan langsung menoleeh kearahku, dan tentu saja dia terlihat amat panik. Hemmm...ternyata suamiku ini sedang berada di kamar bersama dengan seorang wanita. Mungkin jika hal ini terjadi kemarin, pasti aku langsung saja aku akan emosi, dan menangis. Tapi setelah kejadian Adelia ini, aku pun jadi bisa lebih kuat, dan mencoba bersikap biasa saja. Aku juga bisa berakting sepertimu kok, Mas. "Pa, kenapa wajahnya kok kelihatan panik gitu, sih?" ucapku berlagak bodoh. Mas Hasan kini membawa handhonenya keluar kamar, pastinya dia masih takut aku menanyakan suar wanita itu. Tapi tenang, Mas. Aku tak akan menanyakan hal itu, karena aku sudah tahu kebusukanmu. "Ah, nggak apa-apa kok, Ma. Panas aja tadi rasanya di dalam, jadi sekarang aku pindah keluar. Habis ini, langsung di eksekusi itu berliannya, Ma. Jangan sampai diambil orang lain. Jika nanti sudah kita jual kembali, aku ingin juga membelikan mobil untuk Fika," ucap Mas Hasan sembari mengatasi kegugupannya. "Oke, siap. Habis ini aku langsung otewe ke rumah Bu Laras. Oh iya, Pa...barusan tadi di Wonorejo, ditemukan mayat wanita dengan kondisi mulut mengeluarkan busa. Kasihan sekali, karena sepertinya dia masihlah amat muda, loh!" Aku kali ini, memancing lagi reaksi dari Mas Hasan. Dan benar saja, ternyata wajahnya langsung berubah mendengar ucapanku itu. "Mayat? Kok kamu bisa tahu, sih Ma? Wonorejo itu 'kan lumayan jauh dari rumah kita. Apa kamu dari pasar?" ucap Mas Hasan yang tampak gugup. "Ah, nggak kok, Pa. Ini tadi aku dikirimin foto dan beritanya di WAG ibu-ibu kompleks. Rame banget sekarang dengan berita heboh itu." "Tapi sekarang keadaan wanita itu bagaimana? Lalu ada identitasnya nggak, Ma?" Mas Hasan kini nampak makin panik, karena dia tahu, jika ibu-ibu komplek di sini itu heboh-heboh, pastinya dia nggak mau dong, jadi bahan pergunjingan. "Kamu itu lucu deh, Pa. Kan kubilang ditemukan MAYAT, eh pakai tanya keadaanya lagi, ya...jelas sudah meninggal dong! Ada-ada aja sih kamu ini, Pa. Katanya sih, tak ditemukan petunjuk atau tanda pengenal apapun di sana." "Hufft..." tampak sekali wajah Mas Hasan amat lega dengan jawabanku tadi, hingga senyum simpul mengembang. "Kok kamu kayaknya bahagia banget sih, Pa? Tahu mayatnya tanpa identas, nggak simpati banget sih!" gerutuku. "Hahaha...bukan begitu, aku sedang nggak memikirkan mayat itu, buat apa juga mikirin yang nggak kita kenal. Sekarang, lebih baik kamu bergegas ke rumah, Bu Laras, sembari jangan lupa, belikan Fika kue ulang tahun ya. Assalamualaikum." Mas Hasan tampak melambaikan tanganya setelah kubalas salamnya, dan kemudian diakahirinya panggilan ini. Aku pun kembali menuju Fika dan Lio. Senyum mengembang juga di wajah putriku itu, karena tahu apa yang baru saja kulakukan. "Wah, pendapatan Mama lebih banyak sekali dari pada aku nih, hahaha. Hebat banget deh, tenyata mama juga bisa bersamdiwara dan berbohong ya, hihihi," ucap Fika bahagia. "Ya iyalah, kan mama ini diajari oleh artis top, macam Papamu itu. Kamu dengar nggak, tadi ada suara wanita juga?" tanyaku. "Iya, aku dengar, Ma. Kini , rasanya aku makin benci deh sama, Papa. Bisa kupastikan deh, jika saat di luar rumah, papa selalu menghabiskan waktu dengan wanit lain!" ucap Fika kembali berapi-api. "Tadi saat mama cerita tentang penemuan mayat Adelia itu, wajah Papamu kelihatan amat panik sekali. Menurut ibu, papamu memang punya andil, dalam kematian Adelia itu." "Duh, aku jadi nyesel banget deh, Ma. Selama ini sudah mengidolakan Papa. Rasanya aku juga malu, jadi anak dari penjahat k******m itu!" Fika terlihat kesal sekali. Aku pun juga sangat menyayangkan kelakuan suamiku itu, padahal dia kan punya anak perempuan, apa tak takut pada balasanya. Semoga saja Fika tetap kuat, dan tak depresi dengan keadaan ini. Dan semoga juga, nantinya tak ada imbas kelakuan Mas Hasan pada Fika. "Mama juga sangat kecewa. Tapi seperti katamu tadi, kita nggak boleh terpuruk 'kan? Jadi saat ini, kita harus amankan yang ada di pangkuanmu itu. Jangan hanya ditaruh di kamarmu saja," ucapku sambil menunjuk perhiasan dan surat berharga tadi. "Wah...aku suka banget, jika Mama semangat seperti ini. Eh...tapi mau di simpan di mana, Ma? Di Bank?" "Iya, perhiasanya dan surat yang atas nama Mama, beserta BPKB mobil dan motor, kita titipkan di Bank, biar aman. Sementara aset tanah yang atas nama Papamu, kita gadaikam saja. Dari pada kelamaan mikir mau balik nama. Pokoknya, sebelum Papamu pulang, kita harus menyelesaikan semua ini!" ucapku serius. Maaf ya, Maa. Jika kini aku akan tega kepadamu, karena kamu pun sudah menghianati kepercayaanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD