Chapter 3

1950 Words
“Mama?” ucap Lutfi yang lumayan terkejut akan kehadiran sang Ibu di kantornya. “Ada apa dengan wajahmu? Apa Mama terlihat seperti hantu?” sindir Liliana. “Bukan begitu,” bantah Lutfi seraya berdiri dari duduknya lalu menghampiri sang Ibu. “Aku rindu Mama,” ujarnya kemudian memeluk Liliana hangat membuat Aleana merasa sedikit ... cemburu. Sikap suaminya itu berubah 180 derajat saat bertemu Ibunya. Sangat berbeda jauh ketika bersamanya. “Mama juga,” balas Liliana membalas pelukan putranya. “Kapan Mama tiba di Jakarta? Kenapa tidak memberitahuku? Aku bisa menjemput Mama di bandara,” tanya Lutfi sembari mengurai pelukan mereka. Sontak, Liliana menyipitkan matanya curiga pada  Lutfi dan Aleana secara bergantian. “Maaf, Mas. Alea lupa kasih tahu Mas kalau kemarin Mama datang ke rumah,” sahut Aleana merasa bersalah yang membuat Lutfi merutuki Aleana. Bisa-bisanya wanita itu melupakan hal sepenting ini. “Kalian sedang ada masalah?” tanya Liliana. “Masalah apa, Ma?  Kami tidak punya masalah apa pun,” bantah Lutfi seraya meraih pinggang Aleana dan merangkulnya dengan erat membuat Aleana sedikit tersentak, tapi juga merasa senang di saat bersamaan. Sudah cukup lama Lutfi tidak merangkul pinggangnya seperti ini. “Iya, Ma. Kami baik-baik saja. Alea hanya lupa kemarin,” tambah Aleana. “Benarkah?” tanya Liliana yang masih curiga. “Tentu saja, Ma. Lihat, kami baik-baik saja,” jawab Aleana seraya menyunggingkan senyum bahagia. Selama beberapa saat, Liliana masih terdiam seraya menatap putra dan menantunya itu secara bergantian. Bagaimanapun, ia adalah seorang Ibu yang pastinya memiliki insting kuat tentang apa pun yang menyangkut anaknya. Seperti sekarang, walaupun Lutfi dan Aleana mengatakan bahwa mereka baik-baik saja, tapi ia merasa kalau mereka berdua sedang menyembunyikan sesuatu. Dan karena keduanya bersikeras untuk menutupi hal itu, ia pun tak bisa memaksa mereka untuk buka mulut. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berpura-pura percaya. “Baiklah. Mama percaya,” ucap Liliana. “Tentu saja Mama harus percaya, karena kami memang baik-baik saja,” sahut Lutfi. “Baik apanya? Suami macam apa yang berangkat pagi-pagi sekali dan meninggalkan istrinya sendirian? Kamu bahkan tidak pulang untuk makan siang,” omel Liliana. “Ma ...,” ujar Aleana tak enak hati. Ia takut, Lutfi akan berpikir kalau ia mengadu pada Liliana. “Sudah, Alea. Jangan membelanya terus. Dia jadi besar kepala kalau ada orang yang berdiri di depannya,” ucap Liliana. “Tapi-” “Ma, aku berangkat pagi-pagi karena aku sudah terlambat untuk rapat dan tidak punya kesempatan untuk pulang makan siang. Akhir-akhir ini pekerjaanku sangat menumpuk. Belum lagi rapat dengan beberapa mitra kerja dan investor baru. Lagi pula, aku sudah memberitahu Alea tentang ini,” jelas Lutfi sepenuhnya berbohong. “Iya, Ma. Mas Lutfi memang sudah memberitahu Alea kalau Mas Lutfi akan sangat sibuk sampai beberapa minggu ke depan. Jadi, Mama jangan marah sama Mas Lutfi lagi, ya? Kasihan Mas Lutfi, sudah lelah karena bekerja dan harus mendapat omelan dari Mama juga,” bujuk Aleana membuat Liliana menghela napas. “Inilah yang Mama takutkan,” ujar Liliana. “Bukankah kalian sedang menjalani program hamil? Bagaimana hasilnya bisa baik kalau prosesnya saja seperti ini? Kalian harus lebih banyak menghabiskan waktu berdua agar semuanya berjalan dengan baik,” omelnya. Seketika, Aleana menundukkan kepala merasa bersalah. Liliana benar, mereka berdua jarang menghabiskan waktu berdua karena kesalahannya. Ia yang tidak becus dalam merawat Lutfi. Hingga saat ini mereka belum memiliki anak pun adalah kesalahannya. Ia yang menghambat semuanya. “Sudahlah, Ma. Lihat Alea, dia sudah ketakutan melihat Mama mengomel terus,” ujar Lutfi. Sontak, Liliana menatap Aleana yang tengah menunduk sedih. Ia pun tahu apa yang saat ini wanita itu pikirkan. 7 tahun Aleana menjadi menantunya, tidak mungkin ia tidak tahu isi kepala wanita itu. “Tidak, Mas. Mama benar. Aku yang-” “Jangan merasa bersalah, Alea. Ucapan Mama tadi, Mama tujukan untuk Lutfi. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Semua ini karena Lutfi yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada istrinya yang menunggu di rumah,” sinis Liliana pada Lutfi yang meringis mendengar ucapan tajam dari sang Ibu. “Iya, Ma, iya. Aku mengerti. Setelah pekerjaanku mulai longgar, aku akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Alea,” ujar Lutfi kemudian mengecup kening Aleana yang membuat wanita terkesiap oleh tindakan tiba-tiba Lutfi. Kecupan pertama yang ia terima setelah cukup lama pria itu tidak menyentuhnya. Maka tak heran kalau saat ini Aleana merasa sangat bahagia. “Haaa ... kamu ini sangat tahu bagaimana caranya melarikan diri,” sindir Liliana membuat Lutfi terkekeh. “Jadi, ... dalam rangka apa kalian berdua datang ke sini?” tanya Lutfi. “Tidak ada. Mama cuma mau melihat putra Mama yang nakal ini,” ujar Liliana. “Nakal apanya? Aku sudah besar, Ma,” protes Lutfi. “Ya, tapi kelakuan masih seperti anak kecil,” ucap Liliana yang membuat Aleana terkekeh. “Jangan ketawa. Nanti Mama semakin sering menindasku,” pinta Lutfi pada Aleana. “Masih berani mencari perlindungan pada istri,” ledek Liliana. “Sudah, Ma. Kasihan Mas Lutfi,” ujar Aleana. “Haaa ... kalian berdua ini sama saja,” gerutu Liliana. “Ya, sudah. Kalau begitu Mama sama Aleana pergi dulu.” “Kalian mau ke mana?” tanya Lutfi. “2 hari lagi Mama akan kembali ke Perancis. Jadi, Mama minta Alea temani belanja hari ini,” sahut Aleana. “Ya, sudah. Biar kuantar saja,” tawar Lutfi. “Katanya lagi sibuk,” sindir Liliana. “Mama lebih penting dari pekerjaan. Jarang-jarang Mama datang ke Jakarta,” elak Lutfi. “Tidak perlu. Mama pergi sama Alea saja. Kamu di sini saja sama istri kedua kamu,” tolak Liliana yang merujuk tumpukan kertas di atas meja Lutfi sebagai istri kedua pria itu. Aleana sontak terkekeh mendengarnya. “Iya, Mas. Mama biar sama Alea saja,” sahut Aleana membuat Lutfi menghela napas. “Baiklah,” ucap Lutfi pasrah. “Kalau begitu, aku akan suruh sopir untuk mengantar kalian.” “Tidak perlu. Mama juga bawa sopir ke sini,” tolak Liliana. “Ya, sudah. Ayo, Alea.” “Kami pergi dulu, Mas,” pamit Aleana. “Iya. Kalian hati-hati di jalan,” ucap Lutfi kemudian mengecup kening Aleana. “Iya, Mas,” ujar Aleana. Setelahnya, Aleana dan Liliana pun beranjak dari ruangan Lutfi yang membuat pria itu kembali menghela napas panjang. Entah mengapa, kini perasaannya menjadi campur aduk. Ia lantas kembali melihat tangannya yang merangkul Aleana lalu mengusap bibirnya yang mengecup bibir sang istri. Keningnya mengerut, mencoba mengartikan perasaannya sendiri. Untuk kesekian kalinya, Lutfi kembali menghela napas kemudian kembali ke meja kerjanya. Ia tak ingin merasa terbebani dengan memikirkan perasaannya sendiri. ------- Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan jalanan kota Jakarta yang lumayan macet, akhirnya Aleana dan Liliana tiba di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tanpa menunggu lama, menantu dan mertua tersebut langsung melangkahkan kaki menelusuri beberapa toko pakaian. “Ma, yang ini lumayan bagus,” ucap Aleana ketika melihat sebuah dress yang menurutnya bagus. “Kualitas kainnya jelek, mudah robek, terlihat sangat lusuh,” bisik Liliana membuat Aleana mengerutkan kening. “Lihat, kainnya sangat tipis dan kasar,” lanjutnya yang kini membuat Aleana menggeleng-gelengkan kepala. Inilah yang terjadi jika memiliki mertua seorang desainer sekaligus pemilik butik. “‘Nah, yang ini lumayan bagus. Warnanya lembut, sangat cocok untukmu,” ucap Liliana seraya mengambil sebuah atasan kemudian menunjukkannya pada Aleana. “Pilihan Mama memang selalu yang terbaik,” puji Aleana. Pasalnya, atasan yang Liliana memang terlihat bagus. “Iya-lah. Mata Mama ‘kan tidak pernah salah pilih,” ucap Liliana bangga pada dirinya sendiri membuat Aleana terkekeh. Setelahnya, mereka berdua kembali menjelajahi toko tersebut dan membeli beberapa pakaian yang mereka suka. Tak hanya satu toko, keduanya mengunjungi beberapa toko. Tak ayal mereka mengunjungi toko dengan merek terkenal dan membeli beberapa potong pakaian dari toko tersebut. Seusai belanja, Aleana dan Liliana memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran yang masih berada di pusat perbelanjaan tersebut. Setelah makan, barulah mereka menghabiskan waktu siang ini sebelum pulang. “Alea,” panggil Liliana. “Iya, Ma?” sahut Aleana seraya meletakkan minumannya di atas meja. “Apa hubungan kalian benar-benar baik-baik saja?” tanya Liliana yang membuat Aleana terdiam sejenak. “Iya, Ma. Kami baik-baik saja,” jawab Aleana terpaksa berbohong. Ia tak ingin membuat Ibu mertuanya khawatir. Meski begitu, ia bisa melihat kalau Liliana masih khawatir dengan hubungannya dan Lutfi. “Alea,” ucap Liliana. “Mama ingat sekali ketika Lutfi membawamu ke rumah 9 tahun yang lalu dan memperkenalkanmu sebagai pacarnya. Waktu itu, Mama sangat senang karena akhirnya putra Mama mengenal seorang wanita yang cantik sepertimu. Kamu tahu ‘kan kalau kamu adalah wanita pertama yang Lutfi bawa ke rumah?” Aleana lantas menganggukkan kepala sebagai jawaban pertanyaan Liliana. Ia pun ingat ketika Lutfi mengatakan bahwa dia adalah cinta pertama pertama pria itu ketika Lutfi mengungkapkan perasaan padanya. Sontak, Aleana mengulas senyum ketika mengingat masa-masa indah itu. “Kebahagiaan Mama bertambah ketika kalian berdua memutuskan untuk menikah. Sejak saat itu hingga sekarang pun, Mama tidak pernah menuntut banyak dari kalian. Mama hanya ingin kalian menjalani pernikahan kalian dengan bahagia. Dan jika kalian sedang diterpa badai, sebesar apa pun badai itu jangan pernah dengarkan apa yang orang-orang katakan tentang kalian. Karena, mereka sama sekali tidak tahu apa yang kalian hadapi. Belum tentu juga sanggup menghadapinya jika mereka berada di posisi kalian. Jangan biarkan mereka merobohkan rumah tangga kalian seenak hati,” tutur Liliana lembut. “Tapi, ingat. Kalian juga jangan mempertahankan badai itu selama mungkin. Karena, itu hanya akan membuat orang-orang yang berada di punggung kalian merasa menang. Sebisa mungkin, kalian harus mengontrol badai itu sampai perlahan menghilang dengan sendirinya. Kalian harus mempertahankan hubungan kalian untuk menekan omongan orang-orang.” “Alea. Mama hanya ingin mengatakan kalau saat ini kalian sedang memiliki masalah, selesaikan masalah itu dengan baik dan perlahan. Bicarakan baik-baik dan temukan pemecahan masalahnya. Jangan jadikan masalah itu sebagai penghambat dalam hubungan kalian.” “Mama bukannya ingin ikut campur dalam hubungan kalian. Tapi, Mama juga tidak bisa melihat hubungan kalian retak hanya karena masalah yang masih bisa dibicarakan dengan kepala dingin.” “Tidak, Ma. Jangan berpikiran seperti itu. Justru kami yang bersyukur karena masih memiliki orang tua yang perhatian dengan kami. Alea juga tidak menganggap Mama ikut campur dalam hubungan kami. Alea tahu, Mama hanya menginginkan yang terbaik untuk hubungan kami,” tutur Aleana yang membuat mertuanya itu tersenyum. Liliana lantas meraih tangan Aleana lalu menggenggamnya lembut seraya tersenyum. Senyum yang selalu berhasil menghangatkan hati Aleana. “Kamu tahu? Hal yang paling Mama syukuri di dunia ini adalah memiliki menantu yang baik sepertimu,” ucap Liliana yang membuat Aleana tersenyum. “Karena itu, Mama harap kalian berdua akan terus memperjuangkan rumah tangga kalian sampai akhir. Jaga Lutfi dengan baik dan jangan biarkan wanita lain merebut tempat yang telah kau jaga selama bertahun-tahun dengan baik. Ingat, terkadang kita harus menjadi singa yang mengaum dengan keras agar mampu menekan dan mengusir predator yang ingin memangsa kita.” “Iya, Ma. Alea paham. Alea pasti akan menjaga Mas Lutfi dengan baik. Alea akan menjaga hubungan kami seperti Mama dan Papa,” ucap Alea yang membuat Liliana ikut tersenyum. Meski ia tak tahu, apakah ia bisa mempertanggungjawabkan ucapannya itu pada Liliana di kemudian hari atau tidak. Ia tak tahu, apa ia sanggup memperjuangkan hubungan mereka yang terasa sangat berat untuk ia pikul seorang diri. Ia takut kalau ucapannya itu hanya akan menjadi omong kosong bagi Liliana kelak. Layaknya tong kosong yang nyaring bunyinya. Tapi, untuk sekarang ia hanya bisa menjanjikan satu hal pada Liliana. Bahwa ia, akan berjuang sekuat mungkin sampai kedua kaki dan tangannya sudah tak bisa ia gunakan lagi. Ia akan terus berjuang sampai Lutfi sendiri yang melepaskan tali itu dari tangannya. Dan ia berharap kalau hal itu tidak akan pernah terjadi. Ia berharap kalau Lutfi juga akan terus berjuang bersamanya. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD