Chapter 2

1877 Words
“Hei, Bro!” sapa seorang pria seraya menepuk sebelah bahu Lutfi yang tengah meminum segelas alkohol. Gilang Pramana, sahabat Lutfi. “Minuman yang sama,” ujarnya pada seorang barista seraya duduk di samping Lutfi. “Masalah yang sama?” tanyanya yang diangguki oleh Lutfi. Ia lantas terkekeh melihat jawaban Lutfi. “Sudahlah. Ceraikan saja istrimu. Dia tidak bisa memberimu anak, kau juga sudah lama tidak menyentuhnya. Apa lagi yang kau harapkan dari istri seperti itu?” tanyanya dengan mata yang jelalatan menggoda setiap wanita yang lewat di sampingnya. “Masalahnya tidak sesederhana itu,” gumam Lutfi. “Ibuku pasti tidak akan mengizinkan kami bercerai begitu saja. Apa lagi, dia begitu menyayangi istriku,” lanjutnya. Gilang lantas memutar bola matanya mendengar alasan Lutfi. “Kau tinggal bilang yang sebenarnya pada Ibumu. Katakan padanya kalau kau ingin anak dan istrimu tidak bisa memberinya. Selesai,” ujar Gilang yang bertepatan dengan minumannya yang datang. “Ibuku tidak akan pernah menerima alasan konyol seperti itu,” tolak Lutfi kemudian meminum minumannya. “Kalau begitu, katakan saja kalau kau tidak mencintai istrimu lagi. Beres,” usul Gilang yang seketika tersentak saat Lutfi menyentak gelasnya dengan keras ke atas meja seraya menatap tajam pada Gilang membuat pria itu merinding. “Astaga, aku hanya bercanda. Kenapa kau kaku sekali?” ujar Gilang tersenyum canggung. Lutfi lalu mengalihkan tatapannya pada Gilang kemudian meminum minumannya lagi. “Tapi, apa kau harus mendapat izin dari Ibumu untuk bercerai? Apa kau tidak bisa langsung menceraikannya saja? Ini rumah tanggamu, bukan rumah tangga Ibumu,” tanya Gilang. “Tidak,” jawab Lutfi singkat. “Ck ck ck. Hidupmu terlalu diatur oleh Ibumu,” ujar Gilang yang kembali membuatnya tersentak karena Lutfi yang lagi-lagi menyentak gelasnya dengan keras ke atas meja. “Kau ini seorang pria dewasa yang sudah berumah tangga, man. Hidupmu bukan lagi berada di tangan Ibumu. Buat pilihanmu sendiri dan tinggalkan istrimu yang tidak bisa memberimu keturunan,” sambung Gilang. “Jujur saja, aku kasihan melihatmu seperti ini setiap malam. Aku juga bosan menemanimu dengan permasalahan yang tidak pernah selesai. Kau tahu? Aku bahkan rela menunda permainanku hanya untuk menemanimu setiap malam,” lanjutnya. “Hentikan,” pinta Lutfi yang mulai mabuk akibat alkohol yang ia minum. Gilang menghela nafas mendengar ucapan Lutfi. “Percuma saja bicara dengan orang keras kepala sepertimu,” gumam Gilang kemudian meminum minumannya. Sebelah tangannya lantas terulur memegang paha seorang wanita dengan pakaian minim yang lewat di sampingnya seraya mengedipkan sebelah matanya. “Kalau begitu begini saja,” ujarnya memberi jeda. “Kau bisa membayar seorang wanita untuk mengandung bayimu. Atau sekalian saja kau menikah dengan wanita itu secara diam-diam agar istrimu tidak tahu,” lanjutnya. “Lalu?” tanya Lutfi. “Lalu apa lagi? Kau tidak bisa mendapat apa yang kau inginkan dari istrimu, tapi kau tidak bisa menceraikannya. Bukankah itu solusi terbaik untuk mendapatkan keinginanmu?” jelas Gilang. Lutfi hanya terdiam mendengar ucapan Gilang. Dalam diam, ia pun membenarkan ucapan sahabatnya itu. Di lain sisi, ia juga sedikit ragu untuk melakukan hal itu. Ia sudah menikah selama tujuh tahun dengan Aleana dan mengkhianati wanita itu sama sekali tak ada dalam agendanya saat ia memutuskan untuk menikahi Aleana. Namun, ia juga merasa tersiksa terhadap keinginannya untuk memiliki anak. Ia ingin menjadi seorang Ayah. Ia ingin bermain dengan anaknya. Ia ingin menjadi tameng anaknya dari amukan Ibunya. Ia ingin jadi sekutu anaknya untuk menjahili Ibunya. Ia ingin menjadi rival anaknya untuk mendapatkan kasih sayang Ibunya. Dan ia ingin melakukan itu semua bersama Aleana dan anak yang tak kunjung hadir di antara mereka. Sekali lagi, Lutfi meminum minumannya dari gelas terakhir. Ia lalu melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 00.35 tengah malam. Setelahnya, ia pun mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya lalu meletakkan uang tersebut di atas meja. “Kau sudah mau pulang?” tanya Gilang dengan kedua alis yang terangkat. “Ya,” jawab Lutfi acuh. “Kau tidak mau bermain dulu?” tanya Gilang. “Tidak,” jawab Lutfi. Jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama setiap harinya. “Bermainlah dulu. Aku yakin, kau akan langsung ketagihan begitu mencobanya sekali. Kau juga sudah lama tidak mencicipi bagaimana nikmatnya perempuan,” tawar Gilang. “Aku pulang,” ucap Lutfi kemudian beranjak dari sana, mengabaikan tawaran Gilang. “Dasar keras kepala,” gumam Gilang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian meminum minumannya dalam sekali teguk. ------- Lutfi membuka pintu begitu ia sampai di rumah. Dan lagi-lagi, ia menemukan Aleana yang tertidur pulas di sofa untuk menunggunya pulang. Wanita yang malang. Dalam keremangan ruang tamu, Lutfi berdiri memandangi Aleana yang masih tertidur lelap dan masih belum menyadari kedatangannya. Namun, tak lama kemudian, mata wanita itu terbuka dan seketika tersenyum saat melihat Lutfi. “Kamu sudah pulang, Mas?” tanya Aleana dengan senyum khasnya yang membuat Lutfi muak mendengar pertanyaan itu setiap hari. “Mulai besok, jangan menungguku pulang,” pinta Lutfi kemudian melempar tasnya pada Aleana yang dengan langsung ditangkap wanita itu dengan sigap. Setelahnya, Lutfi beranjak dari sana menuju kamar meninggalkan Aleana sendirian. Sesampainya di dalam kamar, Lutfi langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur setelah melonggarkan dasinya. Helaan nafas berat keluar dari bibirnya. Tak lama kemudian, Lutfi mendengar pintu kamar terbuka. Bisa ia pastikan kalau itu adalah Aleana. Beberapa saat setelahnya, ia merasa tangan Aleana yang menyentuh kakinya dengan lembut untuk melepas sepatunya. Setelahnya, wanita itu memperbaiki posisi tidurnya yang miring kemudian menyelimutinya. Sebenarnya, Lutfi selalu menyadari hal itu setiap malam saat ia pulang dalam keadaan mabuk. Namun, ia tak pernah menolak apa yang Aleana lakukan padanya dan terus berpura-pura tertidur. Karena baginya, itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan perasaannya yang semakin menjauh pada Aleana. Tak berapa lama kemudian, Lutfi merasakan goyangan pada tempat tidur dari sisi kirinya. Aleana ikut berbaring di sampingnya kemudian mendekatkan diri padanya lalu memeluk perutnya dengan ragu. Meski begitu, Lutfi enggan membalas pelukan tersebut. Ia merasa sangat berat untuk menyentuh wanita itu. Ia tak tahu kenapa ia merasa seperti itu. Bukan karena ia membenci wanita itu. Dan mungkin bukan pula karena ia sudah tidak mencintainya. Tapi, setelah mengetahui kalau perjuangannya mendapatkan anak selama bertahun-tahun telah sia-sia, ia merasa enggan bahkan hanya untuk melihat wajah Aleana. Lamunan Lutfi buyar tatkala ia mendengar bisikan Aleana. “Alea cinta sama Mas Lutfi. Sangat, sangat cinta,” bisik Aleana. ------- “Mas, Mas Lutfi bangun,” ujar Aleana membangunkan Lutfi yang masih tertidur. “Mas Lutfi, sudah jam setengah tujuh. Nanti Mas terlambat ke kantor,” ujarnya lagi seraya menggoyangkan lengan Lutfi dengan lembut. Namun, pria itu justru menepis tangannya dengan kasar. Tak lama kemudian, Lutfi bangun dari tidurnya dan langsung beranjak menuju kamar mandi. Sementara itu, Aleana hanya bisa menghela nafas pelan kemudian beranjak dari kamar menuju dapur untuk melanjutkan kegiatannya membuat sarapan. Setelah semuanya siap, Aleana pun berniat untuk mengajak Lutfi sarapan bersama. “Mas, sarapannya sudah siap,” ujar Aleana yang berpapasan dengan Lutfi di tangga saat pria itu hendak turun setelah siap dalam balutan setelan jasnya. “Sudah kubilang aku jijik dengan masakanmu. Jadi, berhenti masak sarapan untukku lagi!” maki Lutfi membuat Aleana hanya bisa mengelus d**a mendengar ucapan pedas pria itu. “Tapi, bagaimana kalau mag kamu kambuh, Mas? Kamu ‘kan harus sarapan setiap hari,” ujar Aleana. “Sudah kubilang aku tidak mau!” bentak Lutfi membuat Aleana terlonjak kaget. “Jangan memaksaku untuk bersikap kasar padamu, Aleana!” bentaknya lagi kemudian beranjak dari sana. Sepeninggal Lutfi, Aleana hanya bisa menunduk dan mencoba bertahan untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi. Ia lelah harus menangis setiap hari. Tapi, ia juga tak bisa menepis perasaan sedihnya saat Lutfi kembali memperlakukannya seperti itu. Setelah menegarkan hatinya, Aleana memaksakan senyum di wajah cantiknya kemudian beranjak dari sana menuju ruang makan untuk sarapan. Sendirian. Namun, baru saja ia hendak duduk, bel rumahnya berbunyi. Aleana pun mengurungkan niatnya untuk duduk kemudian beranjak membuka pintu. Senyumnya seketika tersungging ketika melihat Liliana yang datang. “Mama,” sambut Aleana kemudian mempersilakan Liliana untuk masuk. “Di mana Lutfi?” tanya Liliana. “Mas Lutfi sudah berangkat, Ma. Katanya ada rapat penting, jadi harus berangkat lebih pagi,” jelas Aleana sebelum membuat Ibu mertuanya itu kembali mengomeli sang putra. “Huft! Kapan pria satu itu berhenti mementingkan pekerjaannya dan lebih mengutamakan istrinya?” gerutu Liliana yang mengundang kekehan dari Aleana. “Mama sudah sarapan? Kalau belum, ayo sarapan bareng Alea,” ajak Aleana mengalihkan pembicaraan. “Kamu sarapan saja, Mama sudah sarapan sebelum datang ke sini. Kamu tahu ‘kan, Mama tidak bisa keluar rumah kalau belum makan?” tolak Liliana yang dibenarkan oleh Aleana. “Mama datang ke sini mau ajak kamu shopping. Lusa, Mama sudah harus kembali ke Perancis. Jadi, Mama mau menghabiskan waktu sama kamu dulu sebelum kembali,” ungkap Liliana. “Lusa? Kenapa cepat sekali? Mama ‘kan baru sampai,” tanya Aleana. “Urusan Mama di sini sudah selesai. Butik Mama di Perancis juga tidak bisa ditinggal lama-lama. Jadi, Mama harus segera kembali,” jelas Liliana. “Ya, sudah. Kamu cepat sarapan sana. Habis itu siap-siap. Mama tunggu kamu di sini,” pinta Liliana seraya mendorong kecil Aleana untuk masuk ke ruang makan. “Sarapan bareng Alea saja, Ma,” ajak Aleana lagi. “Dibilang Mama sudah sarapan. Kamu ini keras kepala banget,” omel Liliana. Sementara Aleana hanya bisa terkekeh. “Cepat makan sana,” pintanya. ------- “LAPORAN MACAM APA INI?!” bentak Lutfi pada seorang karyawan yang tengah menunduk takut di depan mejanya. “Perbaiki semuanya dan berikan padaku dalam satu jam atau kau kupecat!” pintanya seraya melempar map yang berisi laporan tadi kepada karyawan tersebut. “B, baik, Pak,” ucap sang karyawan kemudian pamit dari ruangan Lutfi. Sepeninggal karyawan tersebut, Lutfi menghela nafas kasar kemudian memijat pelipisnya. Tangannya lantas terulur menekan tombol interkom di sudut mejanya yang langsung tersambung ke Bunga. “Anda membutuhkan sesuatu, Pak?” tanya Bunga. “Bawakan saya segelas kopi,” pinta Lutfi. “Baik, Pak,” ujar Bunga. Setelahnya, Lutfi kembali menghela nafas. Ia tak tahu kenapa, tapi hari ini ia begitu lelah. Padahal ia hanya sibuk membentak setiap karyawan yang masuk ke dalam ruangannya. Mungkin karena seharian ini, ia terus memikirkan Aleana yang sampai sekarang tak kunjung memberinya keturunan. Aleana. Mengucapkan nama wanita itu saja membuatnya frustrasi. Ia tak tahu, apa yang harus ia lakukan terhadap wanita itu. Rasanya, bersikap acuh saja tak cukup baginya. Tak lama kemudian, Bunga masuk ke dalam ruangan Lutfi setelah mengetuk pintu membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat segelas kopi sesuai permintaan Lutfi. “Ini kopi Anda, Pak,” ujar Bunga seraya meletakkan kopi tersebut di atas meja kerja Lutfi. “Apa jadwalku setelah makan siang?” tanya Lutfi. “Anda tidak memiliki jadwal lagi untuk hari ini,” jelas Bunga yang dibalas anggukan oleh Lutfi. “Jika ada yang mencariku, katakan kalau aku sedang sibuk dan alihkan semuanya pada Yunus. Kecuali, hal itu benar-benar sangat mendesak. Aku tidak mau diganggu hari ini,” pinta Lutfi. “Baik, Pak,” ujar Bunga. “Kau boleh keluar,” pinta Lutfi. Bunga pun segera pamit dari ruangan Lutfi, meninggalkan pria itu kembali sendiri di ruangannya. Sepeninggal Bunga, Lutfi langsung meminum kopinya yang masih panas. Tak lama setelah ia meminum kopi tersebut, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk. Baru saja ia ingin mengutuk orang yang seenaknya tersebut, namun ia urungkan saat melihat sang Ibu bersama Aleana masuk ke dalam. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD