Pamit

1777 Words
Langkah kaki terasa berat ketika meninggalkan banyak orang-orang tersayang. Itulah yang aku rasakan saat ini, meninggalkan Paris rasanya sangat berat. Banyak sekali kenangan, kesedihan, rasa senang, kebahagiaan, dan teman-teman yang membuatku tidak berdaya meninggalkan semuanya. Selamat tinggal untuk sementara Paris, aku akan kembali pada waktu yang tepat. -Michel Adnan Raihan. "Seperti tidak biasanya saja kau melihat ibu seperti ini. Sudah sana kau berpamitan saja, ibu akan membeli makanan bersama Renata dulu." Ibu dan Renata langsung keluar dari ruangan ini dan menuju ke arah kantin. Aku hanya bisa menatap punggung mereka dengan senyuman mengembang. Aku menggelengkan kepala dengan pelan dan menghampiri Bibi yang sedang duduk di sofa. Aku memeluknya dengan sangat lembut dan menangis di pelukannya. Selama ini yang mengurusku hanya Bibi, di saat susah atau senang Bibi yang selalu ada di sampingku. Tak peduli ada berapa banyak orang yang membenciku dan senang dengan diriku. Hanya Bibi yang selalu ada di sampingku dalam hal apapun. Ku menghapus air mataku dengan kasar dan kembali memeluk Bibi dengan erat. Bibi hanya membalas pelukanku dengan pelan dan mengelus punggungku dengan sangat lembut. "Sudahlah, jangan seperti ini. Kau seperti wanita yang sedang berpamitan kepada ibunya. Sudah jangan menangis lagi, kami selalu bersamamu. Di dalam setiap langkahmu, di dalam setiap pijakanmu, di setiap jalanmu, kami selu menyertaimu." "Bukannya egois, namun kau sudah besar. Sudah waktunya kamu mandiri saat ini," ucap Bibi dengan pelan. "Sangat berat rasanya meninggalkan kalian di sini. Selama ini Bibi selalu di sisiku, Bibi berada di dekatku, dan Bibi selalu bersamaku. Tak peduli ada badai apapun yang menerjangku. Kau selalu memelukku dengan erat dan membantuku berdiri kembali." "Bibi selalu paham dengan apa yang aku rasakan, Bibi selalu menenangkanku, Bibi selalu ada di sampingku. Aku selalu bersyukur karena bertemu dengan Bibi. Bibi bukan hanya bisa membuatku nyaman, namun Bibi bisa membuat banyak kekuranganku menjadi kelebihan." "Terima kasih sudah selalu bersamaku selama ini. Aku akan berdiri sendiri di negara orang. Selalu doakan aku ya Bi," ucapku dengan lembut. Bibi mengusap punggungku dengan pelan. "Doaku selalu bersamamu, dalam setiap ibadahku, dalam setiap penyebutan doaku kepada Tuhan. Kau selalu ada di dalamnya. Namamu yang selalu ku sebut." "Meskipun kamu bukan anak kandung Bibi, tapi Bibi sangat merasakan bahagia ketika kamu berada bersama Bibi. Kamu adalah tujuan Bibi, kamu adalah kehidupan Bibi, kamu adalah hidup Bibi." "Kalau bukan karenamu, Bibi tidak bisa sampai sini nak. Anak serta suami Bibi sudah tiada. Hanya ada kamu yang selalu menghibur dan mengisi hari-hari Bibi selama ini," ucap Bibi sambil menitihkan air mata. "Selama ini aku menjadi kuat karena Bibi, tidak ada yang menguatkan aku selain Bibi. Kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka, mereka selalu sibuk dengan kehidupan mereka, selalu sibuk dengan kolega mereka." "Mereka sama sekali tidak pernah mempedulikan aku yang membutuhkan kasih sayangnya. Hanya Bibi yang selalu ada bersamaku saat ini," ucapku dengan lembut. "Sudah, jangan menangis lagi. Raihan yang ku kenal itu kuat. Jangan menangis lagi ya nak. Kita bangun semuanya dengan baik, secara bersama-sama. Saling bergandengan tangan dan saling menguatkan satu sama lain. Karena kita saling membutuhkan," ucap Bibi sambil melepaskan pelukannya dengan pelan. Bibi menatapku dengan lembut dan mengusap air mataku dengan sangat pelan. "Tersenyumlah, karena senyuman hal yang paling terbaik saat ini. Mau kamu sesedih apapun, sebuah senyuman dapat menutup semuanya. Topeng yang sempurna dalam kehidupan," ucap Bibi sambil menarik kedua ujung sudut bibirku dengan lembut. Aku hanya tersenyum fake dan menghapus jejak air mata yang ada di pipi Bibi saat ini. "Bibi juga wajib tersenyum, karena aku gak mau melihat Bibi kembali bersedih karena mengingat masa lalu. Tersenyum ya meskipun itu pahit," ucapku dengan lembut. "Pasti, aku akan selalu tersenyum dengan manis di hadapan orang banyak. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya," ucap Bibi dengan sangat tegas. Aku mengangguk lemah dan memeluknya dengan singkat. "Aku ke dalam dulu ya Bi, aku ingin melihat keadaan ayah. Sekaligus aku ingin berpamitan dengannya," pamitku. Bibi menganggukkan kepalanya dan berkata, "Pamitlah dengan ayahmu, beliau sudah menunggu anaknya untuk menyapanya. Genggam tangannya dan peluk dia dengan pelan. Tapi, jangan pernah menangis di hadapannya saat ini juga. Karena jika kamu menangis itu akan membuatnya bersedih," ucap Bibi dengan lembut. "Baiklah akan aku lakukan semua pesan Bibi, aku tidak ingin ayah menangis kecewa denganku. Aku pergi ya," ucapku dengan lembut. Bibi menganggukkan kepalanya dengan pelan. Aku langsung bangkit dan memakai baju khas rumah sakit untuk menjenguk ayah saat ini. Aku menghampiri ayah yang sedang terbaring dengan lemah di atas brankar saat ini dan menatapnya dengan tatapan yang sangat dalam. Aku menghampirinya dengan langkah gontai dan menatapnya dengan tatapan kosong. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya dan tersenyum dengan manis ke arahku. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Ayah berada di atas tempat tidur dan terbaring dengan lemah di atas brankar rumah sakit. Aku menghampirinya dan duduk di samping kasur brankar rumah sakit dengan perlahan. Aku menggenggam tangannya dengan lembut dan mengecupnya dengan pelan. "Ayah apa kabar?" tanyaku dengan lembut. "Mungkin ayah tidak bisa menjawab semua ucapanku saat ini. Tapi, aku sangat yakin kalau ayah bisa mendengar semua ucapanku. Aku bukan seorang anak yang baik, aku bukan anak yang bisa di banggakan, aku juga seorang anak yang tidak pernah peduli dengan kalian." "Tidak ada yang bisa di banggakan dariku. Satu hal yang ayah harus tahu, aku sangat menyayangimu. Aku selalu bangga denganmu, selalu senang melihat senyummu, selalu bangga menjadi anakmu. Tak peduli siapapun kamu sebenarnya aku akan selalu bangga mengucapkan aku sebagai anakmu," ucapku sambil menahan tangis. "Ayah, rasanya baru kemarin aku bertemu denganmu. Aku melihatmu tersenyum, melihatmu tertawa, dan melihatmu bahagia. Rasanya seperti mimpi melihatmu seperti ini, aku tidak pernah menyangka kau akan terbaring lemah seperti ini." "Rasanya sangat menyakitkan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya memilih saat ini. Tapi, jika aku memilih kalian kau akan kecewa ketika melihatku. Sekarang aku di hadapkan dua pilihan. Kau atau orang banyak. Hanya itu saja yang dapat aku pilih saat ini, tak ada pilihan lain. Sangat berat ya?" tanyaku sambil terkekeh pelan. "Orang lain yang butuh makan, atau kalian yang butuh aku di sisi kalian. Aku paham dan sadar bagaimana rasanya untuk memilih kedua bagian itu saat ini, semoga pilihanku tidak salah ya. Aku dapat menghandle dua-duanya saat aku kembali kelak." "Doakan aku, aku ingin terbang hari ini ke Indonesia. Semoga aku dapat melakukan semua pekerjaanku dengan cepat dan kembali lagi ke sini dengan sangat cepat pula. Terima kasih sudah mengajarkan aku tentang banyak hal ayah. Aku sayang padamu, maaf jika belum bisa menjadi yang terbaik selama ini." Aku mengecup pelan punggung tangan ayah, dan meletakkannya dengan sangat pelan. Aku menatap ayah yang menitihkan air matanya. Hanya terdengar suara detak jantung dari monitor saja di ruangan ini. Jika kalian merasakan ini mungkin sangat melelahkan. Ketika melihat orang yang kita sayang berada di tempat yang tidak seharusnya seperti ini. Tapi, apalah daya sebuah takdir yang membuatnya berada di dalam tempat yang menyeramkan ini. Aku menutup mataku dengan pelan dan menghela nafas dengan kasar. Sulit rasanya menerima ini dalam satu waktu yang bersamaan. Aku mencoba mengatur nafasku dan memeluk ayah dengan pelan. "Aku pergi ya, aku akan secepatnya menemui ayah lagi. Ayah harus cepat sembuh saat ini. Aku pamit ya Yah," pamitku sambil meninggalkan ruangan ayah. Aku melepaskan semua pakaian rumah sakit dan menutup mataku dengan pelan di atas sofa samping Bibi. Bibi yang paham dengan apa yang aku rasakan hanya mengelus pundakku dengan pelan. "Sudah ya, jangan seperti ini lagi. Raihan kuat ko, jangan menangis ya nak. Kami selalu ada di samping kamu," ucap Bibi sambil mengelus pundakku saat ini. "Tapi, rasanya sangat menyakitkan ketika melihatnya seperti itu. Pertahanan ku seakan-akan runtuh seketika melihatnya menitihkan air mata seperti itu. Aku merasa menjadi anak yang paling tidak berguna Bi," ucapku dengan sangat lirih. "Tidak ada yang tidak berguna di dunia ini. Anak Bibi hebat ko, Raihan itu sangat hebat, sangat keren. Bibi bangga sama Raihan yang sudah bisa cari uang sebanyak itu di waktu yang sangat muda. Banyak yang si banggakan dari Raihan." "Sudah ya, berangkat sana. Nanti kalian akan tertinggal pesawat jika berlama-lama di sini. Kalian kan tidak mau melihat orang lain kelaparan kan?" tanya Bibi dengan lembut. Aku hanya menggelengkan kepala dengan lembut dan menghapus air mata yang mengalir di pipi ku dengan sangat lembut. Bibi menganggukkan kepalanya dengan pelan. Aku langsung bangkit dan memakai baju khas rumah sakit untuk menjenguk ayah saat ini. Aku menghampiri ayah yang sedang terbaring dengan lemah di atas brankar saat ini dan menatapnya dengan tatapan yang sangat dalam. Aku menghampirinya dengan langkah gontai dan menatapnya dengan tatapan kosong. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya dan tersenyum dengan manis ke arahku. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Ayah berada di atas tempat tidur dan terbaring dengan lemah di atas brankar rumah sakit. Aku menghampirinya dan duduk di samping kasur brankar rumah sakit dengan perlahan. Aku menggenggam tangannya dengan lembut dan mengecupnya dengan pelan. "Ayah apa kabar?" tanyaku dengan lembut. "Mungkin ayah tidak bisa menjawab semua ucapanku saat ini. Tapi, aku sangat yakin kalau ayah bisa mendengar semua ucapanku. Aku bukan seorang anak yang baik, aku bukan anak yang bisa di banggakan, aku juga seorang anak yang tidak pernah peduli dengan kalian." "Tidak ada yang bisa di banggakan dariku. Satu hal yang ayah harus tahu, aku sangat menyayangimu. Aku selalu bangga denganmu, selalu senang melihat senyummu, selalu bangga menjadi anakmu. Tak peduli siapapun kamu sebenarnya aku akan selalu bangga mengucapkan aku sebagai anakmu," ucapku sambil menahan tangis. "Ayah, rasanya baru kemarin aku bertemu denganmu. Aku melihatmu tersenyum, melihatmu tertawa, dan melihatmu bahagia. Rasanya seperti mimpi melihatmu seperti ini, aku tidak pernah menyangka kau akan terbaring lemah seperti ini." "Rasanya sangat menyakitkan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya memilih saat ini. Tapi, jika aku memilih kalian kau akan kecewa ketika melihatku. Sekarang aku di hadapkan dua pilihan. Kau atau orang banyak. Hanya itu saja yang dapat aku pilih saat ini, tak ada pilihan lain. Sangat berat ya?" tanyaku sambil terkekeh pelan. "Orang lain yang butuh makan, atau kalian yang butuh aku di sisi kalian. Aku paham dan sadar bagaimana rasanya untuk memilih kedua bagian itu saat ini, semoga pilihanku tidak salah ya. Aku dapat menghandle dua-duanya saat aku kembali kelak." "Doakan aku, aku ingin terbang hari ini ke Indonesia. Semoga aku dapat melakukan semua pekerjaanku dengan cepat dan kembali lagi ke sini dengan sangat cepat pula. Terima kasih sudah mengajarkan aku tentang banyak hal ayah. Aku sayang padamu, maaf jika belum bisa menjadi yang terbaik selama ini." Aku mengecup pelan punggung tangan ayah, dan meletakkannya dengan sangat pelan. Aku menatap ayah yang menitihkan air matanya. Hanya terdengar suara detak jantung dari monitor saja di ruangan ini. Jika kalian merasakan ini mungkin sangat melelahkan. Ketika melihat orang yang kita sayang berada di tempat yang tidak seharusnya seperti ini. Tapi, apalah daya sebuah takdir yang membuatnya berada di dalam tempat yang menyeramkan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD