See You Prancis!

1783 Words
Terbang tinggi menembus cakrawala dengan kehidupan yang akan di bangun di kemudian hari, membuatku sadar betapa pentingnya sebuah komunikasi. Komunikasi yang menyatukan semua umat manusia di muka bumi ini, meskipun saling berjauhan. So? Masih mau untuk tidak komunikasi? -Michel Adnan Raihan. "Hahahaha, sudah sana mandi. Tidak usah menatapku seperti itu, kau tidak pantas merajuk. Apalagi sampai pundung karena ucapan Varo. Cepat mandi dan bersiap!" seru Edwin smabol tertawa puas. Varo menatapku dengan tatapan datar dan mengkode untuk masuk ke dalam kamar mandi secepatnya. "Masuk ke kamar mandi sekarang juga! Mandi yang bersih, lalu berpakaian rapih. Gue gak mau ya, kalau ke bandara bawa temen yang pakaiannya gak banget. Cepetan gak pake lama!" suruh Varo sambil mendorong tubuhku dengan kasar. Aku mendengus dengan sebal dan memutar bola mataku dengan malas ketika melihat teman-temanku saat ini. Mereka selalu saja ingin aku melakukan apa yang mereka inginkan. Aku langsung bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam ruangan ini. Setelah selesai membersihkan badan, aku keluar dengan handuk yang masih tergantung di atas leher. Semua orang langsung menatapku dengan tatapan aneh. "Ada apa?" tanyaku dengan bingung. "Gak ada, cuma ngeliat agak beda aja hari ini. Ada yang pengen di temuin?" tanya Varo sambil mengedipkan matanya. "Tidak, aku hanya akan ke bandara dan pergi ke Indonesia. Emang ada yang salah?" tanyaku. "Tidak, sudah lupakan saja. Makan dulu, nanti kamu sakit kalau tidak makan hari ini," suruh ibu. Aku langsung menaruh handuk ke tempatnya dan duduk di samping ibu. Ibu mengambilkan makananku dan memberikannya padaku. "Makanlah yang banyak hari ini. Karena esok, ibu tidak bisa melihat kau makan di dekatku kayak sekarang. Selalu jaga kesehatan dan jaga diri di negara orang," pesan ibu kepadaku. "Iya, Bu." Ibu menghela nafas dengan kasar dan tersenyum dengan manis di hadapanku saat ini. "Sejauh apapun kau pergi doaku selalu bersamamu. Teruslah tersenyum dan melakukan banyak kebaikan di dalam kehidupanmu ya. Ibu akan terus mendukungmu dari jauh," ucap ibu sambil tersenyum manis ke arahku. "Sebuah pesawat akan terbang tinggi bersama burung-burung di sebelahnya. Ia juga gagah perkasa menembus banyaknya awan-awan indah di atas langit. Merajai semua kehidupan yang ada di angkasa lepas, namun sehebat-hebatnya pesawat. Ia tidak bisa sama sekali menembus dinding waktu dan badai yang menerjangnya secara dadakan." "Begitu pula dengan manusia. Ketika ia semakin tinggi kedudukannya, jika ia lupa dengan yang di bawah. Maka ia harus siap kehilangan semuanya. Ayah dan Ibu telah mengajarkanku tentang banyak hal selama ini. Aku tidak mau apa yang aku rasakan terjadi pada banyak orang." "Selalu di sampingku dalam keadaaan apapun ya, Bu. Karena sumber kekuatan kami semua adalah kalian saat ini." Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah dan tersenyum manis. "Makanlah yang kenyang. Ibu sudah memesankan ini spesial untuk kalian, makan dengan tenang dan nikmati beberapa jam kalian di sini ya." Kami semua makan dengan tenang. Tidak ada satu orangpun yang membuka suaranya di hadapan makanan saat ini, aku masih fokus ke arah makananku dan menghabiskannya. Setelah habis, kami langsung mengecek barang yang sudah mereka semua siapkan. Aku mengernyitkan dahi dengan heran, karena semua barang yang sangat ku perlukan sudah tertata rapih di pojok ruangan ini. "Kenapa sudah ada di sini? Bukannya kita akan mengambilnya ke rumah?" tanyaku kepada mereka semua. "Tidak, gue yang mengambil semuanya. Jika kita kembali ke rumah dulu, itu pasti akan lama. Gak mungkin dong, kita harus muter-muter dulu. Sayang waktu yang harus ke buang sia-sia untuk melakukan perjalanan itu." "Gue ingin ketemu Bibi. Kalian duluan aja ke bandara, gue nyusul." "Bibi bentar lagi ke sini. Lo gak usah pulang ke rumah, rumah udah gue kunci. Untuk masalah bibi, udah gue urus semuanya. Bibi akan mulai tinggal bersama ibu dan ayah dengan di bawah pengawasan dari Revan. Lo gak usah khawatir lagi untuk meninggalkan Paris saat ini." "Gue dan Edwin sudah menurunkan semuanya, apa yang harus kami lakukan dan kami jaga sudah kami kerjakan. Tinggal berangkat dengan tenang tanpa beban saja." Aku hanya bisa menghela nafas dengan pelan dan tersenyum singkat. Tak lama kemudian, Bi Asih masuk ke dalam ruangan dengan membawa makanan yang ada di tangannya. Aku langsung menatapnya dengan bingung. Aku langsung menghampiri Bibi, dan memeluknya dengan erat. "Apa yang Bibi bawa?" tanyaku dengan lembut. "Bibi hanya membawa makanan untukmu, di makan ya. Bibi ingin kau selalu menjaga pola makanmu. Bibi tau niatmu yang akan membawaku ke sana. Maaf, Bibi tidak bisa meninggalkan ayah dan ibumu. Karena mereka adalah majikanku saat ini," ucap Bibi dengan lembut. Aku tersenyum dengan manis dan memeluknya dengan pelan. "Aku benar-benar gak maksa Bibi untuk ikut sama aku. Di manapun tempat yang Bibi inginkan maka aku akan menurutinya." "Aku titip mereka berdua denganmu. Tolong jaga baik-baik ya, aku sangat menyayangi kalian. Aku akan segera menyelesaikan semua pekerjaanku dan secepatnya untuk kembali ke sini," ucapku dengan sangat lembut. "Jangan terlalu terburu-buru, lakukan dengan baik. Kami akan selalu menunggumu untuk pulang bersama kami. Selalu jaga diri, selalu tersenyum, dan jaga kesehatan ya," ucap Bibi sambil mengelus puncak kepalaku dengan lembut. "Inilah yang membuat aku tidak ingin pergi dari sini, kalian selalu membuatku nyaman dan betah jika berada di samping kalian." Bibi duduk di bangku panjang yang ada di ruangan ini, dan aku langsung menghampiri Bibi. Aku membaringkan kepalaku di atas pahanya dan memejamkan mata dengan pelan. "Bilangnya udah besar, tapi masih aja manja ke orang sekitarnya. Malu woi udah besar!" seru Varo sambil melempar kacang yang ada di atas meja. Aku tetap mencari tempat yang paling nyaman dan memeluk perut Bibi dengan lembut. Aku terus memejamkan mataku dan ingin tertidur. Tiba-tiba suara bariton membangunkanku saat ini, aku langsung mendesis sebal mendengar suara berat itu berada di telingaku. "Bangun, sudah tidak ada waktu lagi kamu tertidur. Ini sudah waktunya kita untuk pergi ke Bandara," ucap Edwin dengan berat. Aku langsung membuka mataku dan menatap mereka dengan kesal. "Ck, tidak bisakah kalian tidak menggangu ku sehari saja. Aku masih merindukan mereka semua. Kalian selalu saja mengacaukan hariku dengan suara yang seperti itu," ucapku dengan kesal. "Sudah tidak usah banyak ngoceh, siap-siap dan naik ke dalam mobil. Nanti kita akan terlambat cek-in cuma gara-gara kau yang sangat manja seperti ini. Lakukan apa yang aku perintahkan!" perintah Edwin dengan tegas. Dengan gontai aku bangun dari sofa dan berjalan ke arah kamar mandi. Aku langsung mencuci mukaku dengan lembut dan menghela nafas dengan kasar. Aku menatap diriku di depan kaca yang ada di dalam kamar mandi dan mengelusnya dengan lembut. "Kota ini, kota yang tau bagaimana perasaanku. Kota yang selalu menjadi tempat curahan hatiku hingga membuatku nyaman. Kota yang selalu mengerti keadaan setiap orang yang ada di dalamnya. Mungkin kota ini sangat kejam bagi kebanyakan orang." "Tapii......... kota ini sangat baik untukku, Edwin dan Varo." Aku langsung keluar dari kamar mandi dan tersenyum ke arah mereka semua. Edwin langsung melambaikan tangan ke arahku. "Kemarilah, kita akan pergi sebentar lagi. Jangan lupa berpamitan dengan semua orang yang ada di sini. Karena kita akan sangat lama berada di Indonesia." Aku mengangguk dengan pelan dan menatap ibu dengan tatapan yang sulit di artikan. Sangat berat rasanya untuk meninggalkan mereka semua. Aku menghampirinya dan memeluknya dengan pelan. "Aku pamit ya, doakan aku untuk bisa memenangkan banyak tender besar. Aku yakin kau selalu berdoa yang sangat baik untukku. Tapi, hari ini aku yang memintanya. Selalu iringi aku dengan doa-doa yang selalu kau panjatkan. Makasih sudah selalu ada untukku," ucapku di dalam dekapan Ibu. Ibu mengelus punggungku dengan lembut dan menitihkan air matanya di bahuku. Jujur saja, ini adalah sesuatu hal yang sangat berat bagiku. Karena melihat mereka semua menangis adalah kelemahanku. "Hiks, Hiks, mau sejauh apapun kamu. Ibu akan selalu mendoakan anaknya, tanpa kamu minta pun aku akan selalu melakukan itu. Mendoakan anak lelakiku satu-satunya yang ada di negara orang. Ibu tak menyangka bahwa kita akan di pisahkan oleh jarak dan waktu lagi." "Dulu, ibu dan ayah yang meninggalkanmu di negara orang. Tapi, sekarang kau sudah dewasa. Sekarang kau yang meninggalkan kami di negara orang. Jangan menangis ya, Ibu selalu bersamamu." Aku makin mempererat pelukannya dan menangis dalam diam di dalam dekapan itu. Ibu membalas pelukanku dengan tak kalah erat. "Meskipun kita di pisahkan oleh jarak dan waktu. Kita dapat melihat langit yang sama, matahari yang sama, bulan yang sama, bintang yang sama, dan kita juga menghirup udara yang sama." "Kita hanya berbeda waktu saja, namun sekarang jaman sudah canggih. Kita sudah bisa berkomunikasi melalui telepon saat ini, atau gak video call, dan masih banyak lagi. Kita dapat menggunakan semuanya dengan baik." "Jaga diri baik-baik, karena aku tidak bisa menghubungi ibu dengan sangat sering. Kemungkinan beberapa kali saja aku akan menghubungimu dalam satu hari. Tetap jaga kesehatan untukku ya. I Love You Moma!" ucapku sambil mengelus punggung ibu dengan lembut. "Kau sangat manis hingga membuat ibu sangat berat melepaskan kepergian mu saat ini," ucap ibu sambil melepaskan pelukannya. Aku menatapnya dengan tatapan yang sangat dalam dan tersenyum dengan manis di hadapannya. Tak terasa air mataku menetes ke bawah pipi, ibu yang melihat air mata itu langsung menghapusnya dengan lembut. "Jangan menangis, pergilah sambil tersenyum. Kami tidak apa-apa di sini, lagi pula banyak yang menjaga kami di sini. Tak hanya kamu saja yang jauh di sana yang menjaga kami. Justru anak-anak didikmu pun turut menjaga kami dengan sepenuh hati," ucap Ibu dengan lembut. "Baiklah aku akan kembali secepatnya dan memberikan apapun yang ibu inginkan. Jangan pernah sungkan untuk meminta ya," ucapku dengan lembut. "Baiklah aku akan meminta sesuatu jika kau sudah kembali. Pergilah, ibu sudah malas melihat wajah sedihmu. Nanti yang ada ibu ikutan menangis karena air matamu itu," ledek ibu sambil mendorong tubuhku menjauh darinya. Aku dengan cepat menghapus air matanya dengan pelan dan mengecup kedua matanya dengan lembut. Setelah puas mengecup matanya aku mengecup kening ibu dengan lembut. "See you Ibu, jangan rindu aku ya. Karena rindu itu berat ibu gak akan kuat," ucapku sambil meledek ibu. "Ternyata kau tertular Dilan. Dilan ada yang di ajak romantis, lah kamu jomblo bilang begitu sama ibu. Ibu malahan rindu ayah bukan rindu kamu. Males rindu sama anak ganteng," ucap ibu dengan tertawa kecil di hadapanku. "Aku tidak tertular olehnya lah. Ibu yang sering menontonnya mangkanya ibu selalu tau dengan kalimat itu," dumelku. "Kamu yang mengajarkan ibu menonton seperti itu. Wajarlah ibu ikutan menontonnya," ucap ibu sambil membela diri. Aku tertawa keras mendengar ibu membela diri seperti itu. Seperti anak kecil yang sedang merajuk meminta makanan manis ke arahku, dan itulah yang membuatku sangat senang melihatnya. Aku benar-benar merasa bahagia, jika banyak orang yang ada di sekelilingku manja ke arahku. Karena jika memang mereka seperti itu, menandakan mereka sangat menyambutku dengan sangat baik. "Kenapa kau malahan tertawa seperti itu? Apakah ada yang salah dengan ibu?" tanya Ibu dengan lembut. Aku tertawa pelan ke arahnya, "Tidak, hanya saja ibu sangat menggemaskan saat ini. Aku senang melihat ibu tertawa lepas dan menyunggingkan senyuman seperti tadi," ucapku dengan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD