Hoshea mondar-mandir di depan pintu kamar apartemen Rafeilla. Chris dan Monica yang mencarikan alamat wanita itu untuk sahabat mereka ini. Tapi, Hoshea merasa seolah-olah keberaniannya meninggalkan tubuhnya.
Hoshea baru saja akan mengetuk pintu kamar apartemen Rafeilla, saat di waktu yang bersamaan, pintu itu terbuka menampilkan sosok Rafeilla dalam balutan piyama tidurnya.
Rafeilla sontak hendak menutup pintunya lagi, namun Hoshea lebih cepat menghalangi pintu itu menutup menggunakan kakinya untuk mengganjal. Pria itu memekik kesakitan, membuat Rafeilla membuka pintunya kembali dan memeriksa kaki pria itu.
“Kau bisa terluka, Bodoh!”
“Itu lebih baik daripada membiarkanmu menutup pintu, dan kemungkinan besar kau tidak akan mau keluar lagi untuk menemuiku.”
Rafeilla menyerah. Ia akhirnya menyuruh Hoshea masuk ke dalam. Hoshea duduk di kasur Rafeilla, sembari menunggu wanita itu mengambil sekaleng bir dingin dari dalam lemari pendingin. “Aku tidak punya minuman lain,” ujar Rafeilla, melemparkan kaleng bir yang langsung ditangkap sempurna oleh Hoshea.
Rafeilla menggeret kursi ke hadapan Hoshea, lalu mendaratkan pantatnya di sana. “Katakan apa tujuanmu ke sini, lalu segeralah pulang.”
“Sebegitu inginnya kau mengusirku?” tanya Hoshea, seraya membuka kaleng bir dan mulai meneguk hampir setengah isinya. Rasa gugupnya menjadi lumayan reda. “Kau tidak mengharapkan kedatanganku?”
Rafeilla menekuk kedua belah bibirnya ke dalam, lalu melepasnya. “Menurutmu?”
Hoshea tersenyum. Pria itu beranjak dari duduknya, membungkuk di depan Rafeilla sambil memegangi dagunya. “Aku akan tahu setelah—“ Ucapannya terhenti saat Rafeilla menjauhkan tangan Hoshea dari dagunya.
“Don’t, Hoshea.”
Hoshea kembali duduk di kasur. “Aku tahu kau marah karena kau dipecat dari FBI dan—“
“Tidak. Tidak mungkin aku akan marah karena itu—aku marah karena saat itu kau justru mendorongku, dan malah menerima peluru sialan itu di saat aku sedang berusaha melindungimu!” Air mata Rafeilla mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kau ini bodoh atau apa?! Apa kau bisa bayangkan bagaimana perasaanku saat melihatmu bersimbah darah seperti itu? AKU MENGIRA KAU AKAN MATI!”
“Aku tidak selemah itu—Chris sudah mendengarnya—bahkan malaikat saja enggan membukakan pintu surga karena aku terlalu banyak melakukan dosa.”
“Itu tidak lucu.” Rafeilla menyeka air matanya.
“Sori. Kukira kau akan tertawa mendengar lelucon itu.” Hoshea melirik ke arah tumpukan pakaian di ujung ruangan. “Kenapa kau menumpuknya seperti itu?”
Rafeilla melayangkan tatapan tajam. “Sudah kuduga, kau lah yang membeli pakaian-pakaian ini dan mengirimkannya kembali kepadaku.”
“Aku tahu kau menyukai pakaian-pakaian yang kau beli dengan menguras habis tabunganmu itu, Raf.” Hoshea mencondongkan punggungnya ke depan, menyeka bulir-bulir air mata Rafeilla yang hendak kembali mengaliri wajahnya. “Maafkan aku. Aku mendorongmu, aku tidak ingin kau melindungiku dengan melukai dirimu sendiri—“
ITU TUGASKU! Kau tidak perlu repot-repot berbuat baik ingin melindugiku.”
“BAGAIMANA BISA AKU MEMBIARKAN WANITA YANG AKU CINTAI TERLUKA?”
Rafeilla membeku mendengar pengakuan Hoshea. “Omong kosong.”
“Terkadang cinta tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk menemukan pelabuhannya.” Hoshea membingkai wajah Rafeilla dengan kedua tangannya. “Hatiku menemukanmu di waktu yang tepat, aku telah mencintaimu tanpa kau sendiri perlu berusaha keras untuk menarik perhatianku. Jika kau masih meragukan rasaku untukmu, maka biarkan aku membuktikan itu dengan memberiku kesempatan untuk menunjukkan cintaku padamu, Rafeilla Blair.”
Rafeilla terisak. “Kau membutuhkan seseorang yang lebih layak untuk mendampingimu, Hoshea. Bahkan tidak ada yang bisa kau banggakan dari aku—jika kau masih ingat ucapanmu saat aku bercerita tentang aku yang selalu ditinggalkan, saat pacar-pacarku dulu mengetahui pekerjaanku.”
“Aku tidak membutuhkan pekerjaanmu, atau hal-hal bodoh lainnya untuk membanggakanmu sebagai kekasihku, Raf. Aku mencintaimu karena kau adalah Rafeilla Blair. Wanita naif yang pipinya selalu memerah kala kugoda, wanita ceroboh yang bersikeras melindungiku di saat dirinya sendiri butuh perlindungan, wanita bodoh yang menangis begitu keras saat aku terluka—aku melihat itu di CCTV rumah sakit. Aku bahkan menyimpannya untuk kenang-kenangan.”
“Aku tahu kau lebih menyukai tubuhku.”
“Well, untuk yang satu itu aku tidak bisa berbohong. Kau yang terhebat, Miss Blair—or should I call you Mrs. Jameson?”
Hoshea berlutut, mengeluarkan kotak cincin beludru berwarna biru kehitaman dari saku celananya. Ia membuka kotak itu di hadapan Rafeilla, sebuah cincin berlian tampak mengkilat indah di dalam sana.
Rafeilla menutup mulutnya dengan kedua tangan yang mengatup. Air matanya kembali membasahi pipinya. Seharusnya yang seperti ini hanya akan terjadi di dalam mimpi, atau film-film roman picisan. Tapi ini nyata. Hoshea Jameson sedang memandangnya penuh harap, dengan harapan yang begitu jelas terpancar dari kedua matanya.
“Will you marry me?”