-7-

857 Words
Hoshea mengernyitkan keningnya, saat sinar lampu ruangan tempatnya berbaring sekarang menerpa kedua matanya. Ia mengerjapkan kedua matanya lemah, berusaha membiasakan kedua manik cokelatnya itu terhadap cahaya. “Hoshea....” Hoshea kenal betul suara itu. Ia menoleh ke sisi kanan, menemukan Monica sedang mengenggam tangannya seraya menunjukkan raut wajah bahagia sekaligus lega. “Oh, terima kasih, Tuhan! Aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksamu!” Monica melepaskan genggaman tangannya pada tangan Hoshea, lalu berlari keluar ruangan untuk menemui dokter yang menangani Hoshea. “Si Pirang itu, padahal dia hanya perlu menekan tombol bel ini,” ujar Chris, menekan tombol bel di atas kepala Hoshea, lantas duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Monica. “Bagaimana, Dude? Apa yang kau rasakan?” “Sakit.” Hoshea menunjuk dadanya yang dibalut perban di balik baju pasiennya. “Aku sempat melihat pintu surga tapi aku tidak bisa masuk ke dalam. Malaikat-malaikat sialan itu melarangku masuk karena terlalu banyak berbuat dosa.” Hoshea meringis karena merasakan sakit di bekas operasinya, saat hendak tertawa. Chris tertawa rendah mencemooh. “Cepatlah sembuh. Kau akan senang melihat orang-orang yang berniat mencelakaimu itu sudah ditangkap.” “Secepat itu?” “Kau pikir sudah berapa lama kau tidak sadar? Ini sudah hari ke-7.” Hoshea mematung. “Lalu dimana Rafeilla? Aku akan memarahinya karena tidak ada di sisiku saat aku terbangun. Itu bukan sikap yang patut dilakukan seorang wanita terhadap pacarnya.” “Aha... jadi kalian sudah berpacaran?” “Itu akan kuceritakan nanti, dimana dia?” Chris menghela napas panjang. “I don’t think you wanna hear this....” *** Rafeilla mematikan TV-nya usai menonton berita yang mengabarkan kalau Hoshea telah sadar dari komanya. Pria itu bahkan sudah mulai berlatih berjalan, karena kedua kakinya yang terasa kaku usai koma tujuh hari lamanya.  Rafeilla memakai sepatu butnya, mengambil tasnya yang digantung di tiang mantel, lalu keluar dari kamar apartemennya. Hari ini dia akan kembali melamar pekerjaan di beberapa tempat yang sudah ia catat di notesnya. Salah satunya, kedai pizza yang baru saja buka beberapa blok dari sini. Rafeilla berharap ia bisa membawa pulang sisa pizza untuk dimakan, jika ia sudah diterima bekerja di sana nanti. Setidaknya itu bisa menghemat uangnya, Rafeilla ingin mengganti seluruh tabungannya yang sudah terkuras untuk membeli pakaian-pakaian mahal yang digunakan saat bekerja pada Hoshea. Nyatanya, tidak semua pakaian itu terpakai, dan hanya beberapa hari setelah bekerja dengan pria itu, FBI memecatnya. Rafeilla sama sekali tidak keberatan dengan pemecatan itu. Bagaimanapun, Hoshea tertembak karena dirinya lalai dalam bekerja. Untung saja pria itu selamat dari penembakan itu. Rafeilla tidak bisa membayangkan jika akhirnya pria itu tidak sadar dari komanya—ah, memikirkannya membuat d**a wanita itu kembali sesak. Sebelum Rafeilla mendatangi satu per satu tujuannya, ia lebih dulu mengunjungi toko pakaian yang baru saja menyelenggarakan acara lelang. Rafeilla ingin memeriksa apakah pakaian yang ia letakkan di sana untuk dilelang sudah terjual atau belum sama sekali. “Oh, hai, Raf!” Cathy, pemilik toko pakaian yang kini menjadi teman dekat Rafeilla setelah pindah ke lingkungan ini, menyapa Rafeilla lebih dulu. “Hari ini kau kaya, Raf!” Rafeilla mendekati meja Cathy dengan tatapan terheran-heran. “Apa maksudmu?” “Seorang dermawan membeli semua pakaianmu dengan harga penuh!” pekik Cathy, melonjak dari kursinya lalu memeluk Rafeilla. “KAU SUNGGUH-SUNGGUH?” Rafeilla ikut bersorak bersama Cathy. “Aku sungguh-sungguh tentu saja! Kau bahkan tidak perlu memberikan komisi untukku, karena dia juga sudah membayarkannya untukmu.” Rafeilla kembali bersorak. “Oh, siapapun yang membelinya—aku mendoakan kebahagiaan akan selalu menyertainya!” Rafeilla menerima amplop berisi uang dari Cathy, lalu merangkul bahu mungil wanita itu. “Bagaimana kalau kita merayakannya? Apa kau sibuk hari ini?” “Tidak sama sekali!” Cathy meraih dompetnya, lalu ia masukkan ke dalam tas milik Rafeilla. "Kau ingin merayakannya dimana?” tanyanya, sambil menggandeng lengan Rafeilla. “Sudah lama aku tidak minum-minum. Ah, kau bilang kau ingin mencoba makanan di kafe ala Italia yang baru saja buka di persimpangan depan.” “Yeah, kau tahu di sana banyak pria-pria tampan?” Cathy menyenggol lengan Rafeilla dengan genit. “Kau bisa memilih satu, aku akan membantumu.” Rafeilla menggeleng. “Tidak-tidak. Kau saja yang mendekati mereka. Di antara kita, kau lah yang paling membutuhkan belaian pria saat ini, Cathy. Tunanganm”u baru saja meninggalkanmu untuk menikahi wanita lain, dan ternyata mereka sudah berselingkuh lebih dari tiga tahun di belakangmu.” “Haruskah kau mengatakan itu dengan suara yang sedemikian keras saat kita berada di tengah banyak orang seperti ini?” Cathy melirik ke arah para pejalan kaki yang berlalu lalang di sekitar mereka. “Setidaknya aku tidak lebih menyedihkan darimu, yang bahkan sama sekali tidak menyadari kau telah jatuh cinta kepada seseorang tapi kini terlanjur meninggalkan dia.” “Aku memang harus meninggalkannya, Cathy. Anggap saja itu hukuman untukku.” “Dan sampai sekarang kau sama sekali tidak menceritakan apapun tentang pria yang kau cinta itu, juga apa yang terjadi sampai kau meninggalkannya.” “Aku sendiri tidak tahu apakah itu pantas disebut cinta, atau hanya sekadar perasaan sesaat, Cat...” Rafeilla memegang pintu kafe yang mereka tuju, bersiap untuk menariknya. “Dan aku memilih untuk mengubur perasaan itu bersama dengan kenangannya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD