Rafeilla tidak tahu harus dengan ekspresi seperti apa saat dia menyapa Hoshea nanti. Padahal, jelas-jelas ia menolak keinginan Hoshea untuk berhubungan intim lagi, tapi semalam—oh, Tuhan... hanya karena pria itu mengatakan ia bisa menjadi kekasihnya, lantas Rafeilla melemah begitu saja? Bukankah itu sangat murahan? Apa kata ibunya di surga sana?
Rafeilla sedang mengaduk tehnya, saat Hoshea tiba-tiba memeluknya dari belakang.
“Morning, Honey.”
“It’s Rafeilla, Hoshea.”
Hoshea tertawa. “You’re my girlfriend after all.”
Ah, tentu saja. Hoshea memang senang menggoda Rafeilla, kan?
“Jadi hari ini ada tempat yang harus kau kunjungi?” tanya Rafeilla, usai Hoshea melepaskan pelukannya dan lebih dulu duduk di kursi makan.
“Ada. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan,” ujar Hoshea, sambil memotong-motong french toast-nya.
“Aku? Jalan-jalan?”
Hoshea mengangguk, seraya memasukkan salah satu potongan french toast yang dioleskan kuning telur setengah matang dari telur mata sapinya. “Monica akan ikut bersama kita. Dia bilang Chris terlalu sibuk untuk menemaninya menonton film di bioskop.”
Rafeilla terlihat antusias begitu mendengar kata bioskop dan nama Monica. Kemarin mereka sempat membicarakan film yang baru saja dirilis, dan keduanya sama-sama ingin menonton film itu. Beruntung sekali Rafeilla karena Hoshea sepertinya akan mengajaknya menonton film yang sama dengan film yang dibicarakan Monica semalam.
“Kalau begitu aku akan bersiap-siap,” ujar Rafeilla semangat. “Apakah kau tidak keberatan jika aku memakai baju yang lebih santai dari biasanya?”
“Sama sekali tidak. Toh, kau tetap cantik meski hanya mengenakan baju tidur sekalipun—ah, tentu saja aku lebih menyukaimu yang telanjang—OUCH!” Hoshea memegangi lengannya yang mendapat cubitan Rafeilla.
“I’ll be here in ten minutes!”
***
Monica terlihat kesal dengan pasukan pengawal yang berjalan beriringan di belakang, depan, dan samping kanan kiri barisannya bersama Rafeilla dan Hoshea. “Ini menyebalkan. Tidak keren sama sekali.” Monica menggerutu tentang hal yang sama berulang kali, dan barusan adalah kali ke-5 nya.
“Kau harus bersabar. Inilah risikonya jika kau berjalan bersamaku,” ujar Hoshea.
“Tidak ada yang mengajakmu. Aku mengajak Rafeilla!”
Mendengar ucapan Monica, Rafeilla terkejut. Ia menatap Hoshea, menuntut meminta penjelasan. “Kukira dia mengajakmu dan kau mengajakku,” ujar Rafeilla.
Hoshea menjawab dengan acuh tak acuh. “Tapi kau tidak mungkin meninggalkanku, kan?’ Hoshea melambaikan tangan kepada seorang pria yang menghampiri mereka, lalu bersalaman akrab dengan Hoshea.
Monica kembali menggerutu. “Oh, lihat dia... lagi-lagi sahabat sialanku ini melakukannya lagi.”
“Melakukan apa?”
“Membeli seluruh kursi bioskop.” Monica merogoh ponselnya yang ia simpan di dalam tas. “Chris menelepon. Katakan pada Hoshea untuk menunggu,” ujar Monica, meninggalkan Rafeilla yang masih dikuasai rasa terkejut.
Tak berselang lama setelah Monica pergi, Hoshea kembali sambil membawa satu kotak popcorn ukuran jumbo. “Where’s Monica?” tanya pria itu, sambil mengambil satu butir popcorn.
Tepat sebelum Hoshea menyuapkan popcorn ke dalam mulutnya, Rafeilla merebut popcorn itu lalu memakannya. “Chris menelepon,” ujarnya, lantas menganggukkan kepala guna memberi tanda kalau popcorn itu aman. “Omong-omong, kau serius membeli semua tiket—“
“Hai, maafkan aku, tapi Chris ternyata sudah membelikan tiket di bioskop lain. Dia sudah datang menjemputku di luar.” Monica tampak begitu bahagia saat mengatakan itu. “Terima kasih sudah berniat menemaniku.”
“Oh, jadi kau lebih memilih suamimu ketimbang sahabatmu yang sudah menemanimu dalam suka dan duka?” Hoshea mulai bertingkah berlebihan. Tentu saja itu pura-pura.
“Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, lalu suami yang jarang meluangkan waktu lau tiba-tiba membatalkan jadwalnya untuk menemani istrinya menonton? Yes, of course I’ll choose my husband.”
Rafeilla tertawa saat melihat Hoshea mengacungkan jari tengah kepada Monica, yang membalas mengacungkan kedua jari tengahnya pada Hoshea. Tawa itu seketika menghilang bergantia raut wajah terkejut, saat ia melihat sinar merah di d**a Hoshea. Rafeilla melihat ke arah datang sinar, yang ternyata berasal dari dindin kaca bioskop yang mengarah ke bangunan di depannya yang lebih tinggi.
“WATCH OUT!” Rafeilla berteriak, bersamaan dengan Hoshea yang menyadari ada seseorang yang tengah membidiknya.
Kemudian, suara kaca yang pecah berserakan pun terdengar. Rafeilla tidak bisa mengelak saat Hoshea justru mendorongnya ketika hendak melindungi pria itu. Orang-orang pun berlarian keluar, sementara Rafeilla yang sempat terpaku sesaat, menghampiri Hoshea yang tergeletak bersimbah darah.
***
Rafeilla menunggu dengan cemas di depan ruang operasi di salah satu rumah sakit terdekat dengan bioskop, tempat terjadinya penembakan. Ini tidak akan terjadi jika Hoshea membiarkan dirinya melindungi pria itu. Rafeilla telah gagal memenuhi tugasnya. Sekarang, bukan ancaman pemberhentian dari tugas yang ia takutkan, namun keselamatan Hoshea. Pria itu telah kehilangan banyak darah, beruntung di saat rumah sakit tidak memiliki stok golongan darah yang sama, Rafeilla ternyata memiliki golongan darah yang sama dengan Hoshea.
Dadanya terasa sesak, Rafeilla tidak berhenti menangis semenjak pria itu dilarikan menggunakan ambulans, dan hingga kini masih mendapatkan menjalani operasi. Dokter bilang kemungkinan Hoshea untuk selamat sangatlah kecil. Dia mendapatkan tembakan yang nyaris mengenai jantungnya, dan risiko saat mengeluarkan peluru itu sangatlah besar.
Monica berlari tergopoh-gopoh bersama Chris, menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Hanya ada beberapa pengawal yang berada di sana menemani Rafeilla, dan beberapa orang yang mungkin mengurusi keperluan Hoshea sebagai calon senat.
Menyadari kedatangan Monica, Rafeilla berdiri, menerima pelukan erat wanita itu. Saat penembakan terjadi, Monica sudah bersama Chris di dalam mobil yang sudah melaju cukup jauh meninggalkan pelataran depan bioskop.
“Ssh... tenanglah, Hoshea adalah pria yang kuat. Dia akan baik-baik saja.” Monica mengusap punggung Rafeilla, berusaha menenangkan tangisannya yang semakin keras saat menerima pelukan Monica.
“Aku—aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Monica!” Rafeilla memeluk Monica semakin erat. “Aku telah gagal menjalankan tugasku. Aku tidak bisa melindunginya, dia terluka karena aku.”
“Tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang sudah terjadi, Rafeilla. Sekarang yang harus kau lakukan adalah berdoa. Semua akan baik-baik saja, Raf. As long as you believe.”
“Miss Blair....”
Rafeilla mengurai pelukannya dengan Monica. Seorang pria paruh baya dengan kumis putih tebal baru saja menghentikan langkahnya di belakang Monica. Rafeilla kenal betul pria itu. Pria itu adalah salah satu atasannya yang mengutus Rafeilla menunaikan tugas melindungi Hoshea.
“Kita harus bicara.”