Rafeilla terbangun dalam keadaan telanjang. Tidak ada Hoshea di sampingnya, mungkin pria itu sudah kembali ke kamar. Sisi kosong di sampingnya masih terasa hangat, berarti pria itu belum lama meninggalkan kamar ini.
Rafeilla menoleh ke beker yang terletak di atas nakas; setengah empat pagi. Baiklah, apa yang bisa ia lakukan sambil menunggu matahari terbit? Tampaknya Rafeilla tidak akan bisa melanjutkan tidurnya lagi.
Mencium harum tubuh Hoshea yang tertingal di tubuhnya, Rafeilla memutuskan untuk mandi. Bukan ide yang bagus terus terjebak di memori panas antara dirinya dan Hoshea. Apa yang terjadi semalam adalah suatu kesalahan—yang sialnya begitu menyenangkan.
Usai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Rafeilla hanya mengeringkan diri dengan asal dan tidak langsung mengenakan pakaian. Wanita itu memilih duduk bersandar di kepala kasur dengan kedua tungkainya menekuk ke atas. Menghilangkan jejak harum Hoshea di tubuhnya, nyatanya tidak membuat pria itu meninggalkan isi kepalanya. Rafeilla mengambil ponselnya, membuka galeri foto.
Rafeilla mengukir senyum manisnya saat melihat foto kebersamaan dengan mendiang ibunya. Ini sudah tiga tahun, tapi tetap saja ia tidak kuasa untuk tidak menitikkan air mata saat mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Ibunya membesarkan Rafeilla seorang diri. Hingga saat ini Rafeilla belum pernah sekalipun bertemu dengan kakek dan neneknya, karena menurut ibunya itu keputusan yang terbaik. Ibu Rafeilla adalah korban pemerkosaan, keluarganya menganggap ibunya telah mencoreng nama baik keluarga. Memilih untuk mempertahankan Rafeilla, ibunya pergi meninggalkan rumah.
Rafeilla baru saja akan menyeka air matanya, saat ada orang lain yang telah lebih dulu melakukan itu untuknya. Hoshea, masih mengenakan kemeja semalam yang tampak kusut, dan hanya mengenakan brief boxer-nya. Pria itu sudah menggantinya dengan brief boxer lain berwarna hitam. Di tangannya ada sekaleng bir dingin yang belum dibuka.
“Untukmu.” Hoshea menyodorkan kaleng bir itu pada Rafeilla.
Rafeilla mengangkat sebelah alisnya. “Really? Beer in the morning?”
“Menurutku ini justru waktu yang pas. Kau tidak bisa melanjutkan tidurmu, bir bisa menjadi teman yang baik.” Hoshea merangkak naik ke kasur, lalu mendaratkan pantatnya di samping Rafeilla. “Kalau perutmu sakit, aku bisa memanggilkan dokter untukmu.”
Rafeilla terkekeh, mengambil kaleng bir dari tangan Hoshea.
“Itu ibumu?” tanya Hoshea, menunjuk ke layar ponsel Rafeilla yang masih menyala menunjukkan foto ibunya. “Kau benar-benar mirip dengannya.”
Rafeilla membuka kalengnya, menarik napas dalam-dalam saat aroma buih bir menyapa indera penciumannya. “Dia meninggal tiga tahun yang lalu. Penyakit lambung, terlalu parah dan sudah terlambat saat aku membawanya ke rumah sakit. Dia menyembunyikan penyakitnya karena tidak ingin membuatku cemas.”
“Semua ibu memang begitu.” Hoshea mengambil kaleng bir Rafeilla, lalu meminum isinya. Melihat raut wajah Rafeilla saat menyaksikan Hoshea meminum bir dari kaleng yang sama, membuat senyum Hoshea melengkung jenaka.
Rafeilla berdeham salah tingkah saat menyadari Hoshea sedang menatapnya penuh arti. “Err... kau tidak tidur?” Wanita itu akhirnya mengalihkan topik pembicaraan.
“Sama sepertimu, aku tidak bisa tidur. Kita bercinta terlalu keras semalam dan aku tidak bisa berhenti memikirkan itu.”
Rafeilla sibuk mencari unsur lelucon dalam raut wajah Hoshea saat mengatakan itu. “Haha, funny....” Rafeilla tertawa dengan kikuk. Wanita itu lantas terdiam saat melihat Hoshea menunjukkan raut wajah yang tidak bisa ia artikan. “Okay, here’s the thing—could we just forget everything that happened last night?”
“Why? I think there’s nothing wrong with that— aku menikmatinya, dan aku tahu kau juga menikmati itu.” Hoshea mencuri pandang ke belahan p******a Rafeilla yang mengintip dari balik lipatan mantel handuknya. “You’re the best, Rafeilla. I know you feel the same.”
Rafeilla merapatkan celah mantel handuknya begitu mengetahui Hoshea tengah memperhatikan bagian itu. “Kita tidak bisa melakukan ini, Hoshea. Pekerjaanku mengharuskanku untuk—“
“Mereka tidak akan tahu, Rafeilla. Ini seperti simbiosis mutualisme.”
“Tapi aku tidak mau.”
“Kau tidak mau? Baiklah, aku tidak akan memaksa.”
Rafeilla terperangah. Barusan Hoshea terlihat begitu memaksa, namun dalam sekejap mata pria itu bisa menyerah begitu saja?
“Kalau begitu, aku akan membiarkanmu istirahat.” Hoshea beranjak meninggalkan kasur. “Aku tidak memiliki jadwal di pagi hari. Jam dua siang nanti, ada kegiatan amal yang harus kuhadiri. Kau bisa beristirahat sampai jam dua belas nanti.” Hoshea berjalan menuju pintu penghubung antara kamar Rafeilla dan kamar pria itu.
Bersamaan dengan terdengarnya suara pintu yang menutup pelan, Rafeilla merasakan kekosongan di dalam hatinya.
***
Menyesal? Yang benar saja! Rafeilla sudah mengambil keputusan yang benar. Lagipula, bukankah ajakan Hoshea menunjukkan pria itu telah merendahkan harga dirinya sebagai wanita?
Rafeilla mendesah lesu usai meletakkan lipstik merahnya di dalam saku blazernya abu-abunya. Kemudian wanita itu bangkit dari kursi rias, mematut diri di depan cermin. Seharusnya penampilannya sudah sesuai, tapi Rafeilla merasa ada sesuatu yang kurang.
“Kau tidak perlu mengikat rambutmu.”
Rafeilla menoleh ke pintu penghubung kamar, Hoshea tampak sedang berdiri sambil bersandar di tembok. Pria itu sudah rapi dengan kemeja abu-abu muda bergaris putih, dan celana krem yang dipadukan dengan sepatu kulit cokelat. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana.
Rafeilla kembali melihat pantulan dirinya di cermin. Menggerai rambutnya mungkin tidak begitu buruk. Ia pun melepaskan ikatan rambutnya, memakai kedua sepatu hak tinggi putihnya lalu keluar dari kamar.
Hoshea sudah lebih dulu meninggalkan Rafeilla ke mobil. Sesaat setelah Rafeilla menutup pintu mobil, supir pun melajukan mobil yang ditumpangi Hoshea dan Rafeilla ke jalanan yang tidak terlalu ramai.
Alunan musik klasik menemani sepanjang perjalanan mereka menuju kegiatan amal di pusat kota New York. Rafeilla melemparkan pandangannya ke mobil-mobil yang berlalu lalang di sisi kiri mobil mereka. Atmosfir di dalam mobil benar-benar tenang, tidak ada percakapan apapun antara dirinya dan Hoshea. Pria itu tampak sibuk membaca berita melalui aplikasi di ponselnya.
Hotel tempat kegiatan amal diselenggarakan terlihat sudah dekat. Mobil mereka sudah siap berbelok menuju pelataran depan hotel, kalau bukan karena ada seorang pengendara motor yang memotong jalan dengan kecepatan tinggi dan membuat supir mobil membanting setir ke arah sebaliknya sekaligus mengerem.
Rafeilla terpelanting ke sisi kanan mobil, Hoshea refleks menahan tubuh Rafeilla seraya mengeluarkan umpatan yang ditujukan kepada si pengendara motor yang sudah melaju jauh.
“Terima ka—“ Rafeilla terdiam. Ia merasakan beberapa helaian rambutnya tersangkut di kancing kemeja Hoshea. “Oh, sial....” Rafeilla berusaha mengurai helaian rambutnya yang tersangkut, tapi hingga mereka memasuki pelataran parkir hotel, usahanya masih belum menunjukkan hasil yang bagus.
Di saat Rafeilla hendak memutuskan helaian rambutnya, Hoshea menahan tangan wanita itu. “Wanita harus menghargai mahkotanya,” ujar pria itu, ia menyandarkan kepala Rafeilla di dadanya, lalu mulai mengurai helaian rambut Rafeilla yang tersangkut.
Rafeilla bisa mendengar degup jantung Hoshea dengan jelas. Kemudian, ia membandingkan degupan itu dengan degup jantungnya sendiri yang terasa aneh. Dengan semua yang terjadi semalam, rasanya Rafeilla kesulitan mengendalikan reaksi tubuhnya saat berdekatan dengan Hoshea.
Rafeilla menekuk kedua belah bibirnya ke dalam, melepas, lalu menggigit bibir bawahnya berusaha menahan kadar gugupnya yang bertambah. Tentu saja ini hanya reaksi sementara, bukan? Besok semuanya akan kembali normal.
Merasakan deru napas Hoshea tepat di puncak kepalanya, ingatan akan deru napas yang sama di atas kasur semalam kembali muncul ke permukaan. Rafeilla berusaha mengenyahkan ingatan itu dari pikirannya, tapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas ingatan itu menampakkan diri. Bahkan deru napasnya sendiri kini mulai terdengar aneh.
“Rafeilla Blair, mahkotamu sudah terbebas.”
Rafeilla mengangkat wajahnya, menjauhkan kepalanya dari degupan jantung Hoshea. “Trims,” ujar Rafeilla, berusaha menghindari kontak mata dengan Hoshea.
Hoshea memiringkan kepalanya, seraya mengangkat sebelah alisnya. “Kau tidak terlihat baik, Rafeilla. Apa aku menarik rambutmu terlalu keras?”
“Tentu saja tidak, Hoshea.” Rafeilla membuka pintu mobilnya, turun lebih dulu sebelum kemudian Hoshea menyusul beberapa saat setelahnya.
***
Hoshea memandang geli Rafeilla, saat wanita itu menunjukkan raut wajah lucu usai mencicipi makanannya. Sepertinya wanita itu tidak menyukai makanan pedas. “Kau tidak perlu melakukannya kalau—“
“Tentu saja aku harus melakukannya. Ini tugasku untuk memastikan kau aman.” Rafeilla meminum habis jus jeruk miliknya. Rasa terima kasih tampak begitu jelas ia tunjukkan di wajahnya, saat Hoshea memanggil pelayan dan memesankan minuman tambahan untuknya.
“Lihat siapa yang datang....”
Rafeilla menoleh. Seorang wanita berambut hitam panjang berwajah Asia, tampak menyapa Hoshea yang membalas senyum wanita itu dengan senyuman lebar.
“Mina,” ujar Hoshea, menyebutkan nama wanita itu. Pria itu berdiri, mencium punggung tangan Mina. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Mina tersenyum seraya mengedipkan mata. Wanita itu lalu mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Hoshea seraya memasukkan secarik kertas kecil di saku kemeja pria itu. “Besok adalah hari terakhirku di New York.”
Rafeilla yang berdiri di belakang Hoshea, memutar bola matanya malas begitu membaca tulisan yang tertera di kertas pemberian Mina. Wanita berwajah Asia yang sudah pergi itu menuliskan nama hotel dan nomor kamarnya. Memangnya ada berapa wanita yang pernah tidur dengan pria di hadapannya ini?
“Apa kau tidak keberatan menunggu satu sampai dua jam selagi aku mengunjungi Mina?” tanya Hoshea, menyunggingkan senyum miring.
Rafeilla mengangkat kedua alisnya, menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk segaris senyuman. “Aku akan berjaga di depan pintu.”
“Aku tidak yakin kau akan betah berjaga di depan sana.” Hoshea merangkul bahu Rafeilla, menggiring wanita itu mengikuti langkahnya meninggalkan acara amal. “Aku masih menyimpan tenaga yang cukup untuk membuat wanita itu mengerang keras hingga terdengar sampai ke luar kamar,” bisiknya.
Rafeilla menggigit bibir bawah dalamnya. “Setuju, atau tidak sama sekali,” katanya, melayangkan tatapan tegas.
Hoshea terkekeh. “Baiklah, kita pulang.”
“Apa?”
“Kita pulang, Rafeilla. Aku mengantuk dan lapar. Kita tidak sempat memakan hidangan di dalam sana, kau baru mencicipi makananku dan aku belum menyentuhnya sama sekali.”
Hoshea berjalan beberapa langkah lebih dulu di depan Rafeilla. Mendengar keinginan pria itu untuk pulang, entah kenapa Rafeilla tersenyum lega.