-4-

1012 Words
Rafeilla mengetuk pintu kamar Hoshea, tapi tidak ada jawaban. Padahal, pria itu meminta dibangunkan satu jam setelah ia tidur, karena akan ada perjamuan makan malam di rumah Monica. Akhirnya Rafeilla memutuskan untuk masuk ke kamar Hoshea. Dilihatnya pria itu sedang tertidur pulas dengan tidak mengenakan atasan apapun. Pipi Rafeilla merona kala melihat sejumlah bekas kemerahan yang tampak samar di beberapa bagian d**a pria itu. Iya, itu bekas percintaan mereka semalam. “Hoshea, ini sudah waktunya kau bersiap-siap, atau Monica akan marah.” Rafeilla menggoyangkan tubuh pria itu agar bangun. Hoshea mengerang, masih dengan kedua matanya yang terpejam. “Lima menit.” “Tidak ada lima menit, Sir.” Rafeilla menyibak selimut yang menutupi bagian pinggang ke bawah Hoshea, lalu memekik kaget begitu melihat pria itu ternyata telanjang bulat. “Kenapa kau tidak bilang?!” tanyanya setengah berteriak kepada Hoshea yang baru saja duduk. “Kau tidak bertanya...” jawab Hoshea, sembari menyugar rambutnya yang berantakan. “Ayolah, tidak perlu sekaget itu—kau sudah melihat bahkan merasakannya, Raf.” Hoshea menarik Rafeilla hingga wanita itu menindihi tubuhnya. Dari selimut tipis yang membatasi kedua tubuh mereka, Rafeilla bisa merasakan milik Hoshea mengganjal dengan keras di perutnya. “Teman kesayanganku itu sudah seperti ini seharian, Raf. Kau benar-benar tidak ingin berbaik hati menyembuhkannya?” Rafeilla membelalakkan kedua mata, lalu buru-buru berdiri. “Ja-jangan sampai kau merasakan tendanganku, Sialan!” Wanita itu berjalan menjauh menuju pintu penghubung kamar. Sebelum keluar, ia kembali berbalik menghadap Hoshea. “Aku menunggumu di mobil,” katanya. Rafeilla masih bisa mendengar suara tertawa Hoshea yang menertawakan dirinya saat pintu itu tertutup. *** “Sungguh, itu tidak terdengar seperti seorang Hoshea yang kukenal,” ujar Monica, sambil menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Wanita itu meminta Rafeilla menemaninya di taman belakang rumahnya, saat suaminya sendiri sedang sibuk membicarakan bisnis dengan Hoshea di ruang makan. Keduanya sama-sama berpikir itu bukan hal yang menarik untuk diperbincangkan, jadi Monica berinisiatif menngajak Rafeilla untuk menyingkir. “Sepertinya dia tertarik denganmu, aku bisa melihatnya,” lanjut Monica, seraya mengangguk kepala berkali-kali seolah merasa percaya diri dengan ucapannya. “Tidak mungkin, Monica. Dia hanya senang mempermainkanku.” Rafeilla berusaha mengelak untuk menutupi reaksinya yang salah tingkah, tapi rona merah di wajahnya menunjukkan semuanya dengan jujur. “Aku sudah bilang untuk berhati-hati dengannya. Dia memang sangat memesona, Rafeilla. Dan sepertinya kau sudah tidur dengannya—“ “Bagaimana kau bisa tahu?!” “Jadi tebakanku benar? Ah—kalau begitu, dia benar-benar sudah tertarik denganmu. Hoshea itu pemilih, dia tidak tidur dengan sembarang orang—hanya wanita yang benar-benar ia suka saja. Apa dia melakukannya dengan pengaman?” “Ti-tidak....” cicit Rafeilla, menyendokkan es krim ke dalam mulutnya, lalu mengulum sendok itu seperti lolipop. “Wow...” Monica tampak terkejut. “Ini benar-benar aneh.” “Mungkin karena dia tidak bisa menahan gairahnya sendiri...” Rafeilla mengingat saat itu Hoshea sedang dalam pengaruh obat perangsang. “Ya, mungkin juga dia melakukannya denganku karena dia tidak memiliki pilihan.” “Ah, aku merasa bersalah karena pestaku kemarin nyaris membahayakan dirimu—maafkan aku.” Monica tampak murung. “Don’t be. Lagipula tidak terjadi sesuatu yang buruk. Itu murni kesalahanku yang tidak berhati-hati.” “Kau wanita yang baik, Raf. Aku bisa memastikan itu meskipun ini baru kali kedua kita bertemu. Aku sudah bosan melihat pria itu berkelana menggapai kesuksesannya tanpa seseorang yang menemani bahkan mengurusnya. Aku menjadi pendukung nomor satumu jika kau berencana mendapatkan pria itu.” “A-apa? Aku? Tidak-tidak... kau bercanda, Monica. Bagaimanapun dia tidak cocok denganku. Aku bukan seseorang yang pantas.” “Tapi kau terlihat begitu dekat dengannya.” “Kedekatan kami tercipta karena pekerjaan kami mengharuskan kami untuk berlaku seperti itu. Segera setelah semua ini berakhir, kami akan kembali ke rutinitas masing-masing. Aku mendapatkan pekerjaanku kembali, dan dia akan bertugas menjadi senat yang berkesempatan untuk mendapatkan karir yang semakin cemerlang nantinya.” *** “Apa yang kau bicarakan dengan Monica?” Rafeilla sedang sibuk dengan ponselnya, saat Hoshea tiba-tiba mengajukan pertanyaan. “Pembicaraan antar wanita saja. Tidak ada yang istimewa.” “Kalian begitu larut dalam pembicaraan kalian, sampai-sampai aku harus memohon kepada Monica agar aku bisa membawamu pulang. Wanita cerewet itu ingin kau menginap di rumahnya, yang benar saja?” Rafeilla tertawa mendengar ocehan Hoshea. “Aku bisa lihat alasan kau bersahabat baik dengannya selama bertahun-tahun, Hoshea. Kami bahkan bertukar nomor ponsel.” Hoshea terkekeh. “Kau orang pertama yang diajaknya bertukar nomor ponsel. Tidak ada satupun wanita yang kukenalkan dengan Monica, bisa mengobrol akrab dengan wanita itu.” “Ya, Monica mengatakan hal yang sama. Dia bilang, dia bisa melihat dengan jelas niat para jalang itu yang hanya ingin menikmati kekayaanmu, mendapatkan popularitas, atau bahkan hanya memikirkan seks denganmu.” Hoshea menunjukkan raut wajah terkejut yang dilebih-lebihkan. “Dia bilang begitu? Jalang?” “Dia menyebut mereka begitu,” kekeh Rafeilla. “Sahabat mana yang akan suka melihat sahabatnya sendiri dimanfaatkan seperti itu? Aku juga akan melakukan hal yang sama dengan Monica. Dia cemas kau tidak akan bisa menemukan pelabuhan terakhirmu hingga tua nanti, kau tahu?” “Kau sendiri?” “Aku?” “Sedikitnya aku bisa mengerti, hal-hal apa yang kira-kira jadi topik pembicaraan kalian tadi. Pernikahan misalnya?” Rafeilla memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer, lalu menurunkan kaki kanannya yang tadi menumpang di atas kaki kirinya. “Aku belum menemukannya. Memikirkannya saja tidak—maksudku, memangnya siapa yang tertarik menjalin hubungan dengan agen FBI? Aku selalu ditinggalkan pacar-pacarku begitu mereka tahu pekerjaanku.” “Seharusnya mereka bangga dengan pekerjaanmu yang hebat.” “Kau berbicara seolah-olah kau akan bangga denganku—“ “I will, Raf. Aku akan bangga memiliki pacar hebat sepertimu. Tentu saja aku tidak bisa menceritakannya ke sembarang orang—tentang pekerjaanmu itu—aku yakin ada peraturan yang mengikat soal itu.” Rafeilla tertawa. “Sayangnya aku bukan pacarmu.” Rafeilla menghentikan tawanya saat melihat tatapan serius yang dilayangkan Hoshea padanya. “You will be if you want it.” Rafeilla terdiam saat Hoshea memegangi dagunya dengan lembut, dan mengarahkan wajah mereka untuk saling mendekat satu sama lain. Kedua kelopak mata Rafeilla menutup perlahan saat merasakan sentuhan bibir Hoshea di bibirnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD