Bab 2

1034 Words
Rara memerhatikan tubuh Elang dengan serius. Rasanya sulit dipercaya kalau Elang suka makan. Seharusnya pria itu sudah gemuk atau paling tidak, perutnya sedikit membuncit. "Aku sudah tahu banyak tentang kamu, Ra. Selama tiga bulan ini...aku sering merhatiin kamu." "Oh, ya?" "Ya. Kamu datang ke toko setiap jam sembilan pagi. Pulang jam empat sore. Terus...makanan favoritnya rujak, suka baca buku, suka bergadang, suka nonton upin-ipin, terus..." Rara menggelengkan kepalanya."Itu semua...informasi dari Mama, kan." "Dari Mama kamu...dan juga peninjauan langsung." "Terus...kenapa kamu mau dijodohkan?" "Karena...wanita yang mau dijodohkan sama aku itu, kamu, Ra." "Aku?" "Ya...pas Mama nunjukin Foto kamu, ya udah aku tertarik. Dan aku mau dijodohin." "Sesimpel itu?" "Cinta memang sesederhana itu, Ra. Memangnya harus bagaimana?" Elang tersenyum penuh arti. Ia tahu, Rara pasti sedang mencari cara untuk membuatnya menolak perjodohan ini. Rara mengangkat kedua bahunya. "Entahlah...aku enggak pernah tertarik dengan perjodohan." "Ayolah, Ra, kita udah gede ini, kan? Kenapa harus menunda-nunda, sih." Rara menatap Elang dengan kesal "Apa, sih!" Elang berdiri tepat di hadapan Rara, lalu menatapnya serius."Memangnya...kamu enggak pengen ngerasain bercinta? Setiap malam...ada yang peluk, ada yang nemenin, ada yang bisa kasih kamu kenikmatan." "Hah! Mulai nih ,ya. m***m banget, sih!" Rara semakin kesal. "Apa? Kamu setuju dijodohin?" kata Elang. "Gila kamu, ya?" "Oke...oke, sebentar!" Elang pergi dari sana dan menghampiri kedua orangtuanya. Rara mengikuti pria itu perlahan.Ia menatap Elang dari kejauhan dengan kebingungan. Lalu terlihat mereka semua bertepuk tangan dan berpelukan. Perasaan Rara mulai tak enak, ia pun ikut bergabung. "Rara!" Sumi memeluk anaknya dengan haru. "Kenapa, Ma?" "Akhirnya kamu menerima perjodohan ini. Terima kasih! Akhirnya...kamu menikah!" pekiknya, lalu ia berpelukan lagi dengan Tina. Rara menatap Elang, dan pria itu tersenyum jahil. Ia mengeluarkan kotak cincin dari saku celananya. "Rara, sini dekat Elang," panggil Tina. Rara menjadi salah tingkah. Ini semua hanya rekayasa Elang, tapi entah kenapa mulutnya tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Tidak bisa membantah atau pun menolak sampai cincin terpasang di jari. "Aku kejebak!" teriak Rara dalam hati. Pertunangan Rara dan Elang selesai. Sepertinya semua memang sudah direncanakan Elang. Buktinya saja ia sudah menyiapkan cincin dengan ukuran yang pas di jari manis Rara. Kedua orangtua mereka pulang. Sementara Rara dan Elang diminta untuk berduaan dulu untuk pendekatan. Mereka pun diminta pulang bersama. Rara dan Elang keluar dari Restoran, kemudian Rara memukul lengan Elang dengan keras karena kesal. Pria itu sudah lancang mengatakan bahwa ia menerima perjodohan ini. "Aduh, pelan banget mukulnya!" Elang mengusap lengannya. "Berani banget kamu bilang kalau kita sama-sama setuju dijodohin!" "Loh, kamu kan bilang setuju, Ra. Buktinya ...pas aku pasang cincin, kamu juga santai aja. Berarti kamu setuju!" jawab Elang tanpa merasa bersalah. Rara tidak bisa menjawab. Yang dikatakan Elang benar. Ia tidak bisa berkutik tadi. Ia sendiri juga bingung kenapa ia jadi sebodoh itu. Sekarang ia sudah berstatus tunangan Elang, kedua orangtua mereka juga tampaknya sudah bahagia sekali. Apa mungkin sekarang ia menemui mereka dan bilang kalau tadi hanyalah rekayasa Elang. Rara memegangi keningnya, tanda ia mulai stres. "Rara?" panggil Elang. "Kenapa?" balas Rara ketus. Elang berjalan menuju mobilnya. "Enggak boleh jutek sama calon suami, nanti kusihir kamu jadi isteriku!" "Kusihir kamu jadi kodok! Terus kubuang di parit! Berenang sana saya kecebong!" Rara mendengus sebal, lalu masuk ke dalam mobil Elang. Elang masuk, lalu menoleh."Tanpa disuruh udah masuk ke mobil, ya. Udah enggak sabar mau jalan sama aku. Kamu mau ke mana? Aku antar kamu...sampai pelaminan sekali pun." "Receh banget, sih," kata Rara sedikit tertawa. "Jadi kita mau kemana, Ra?" "Ke pelaminan kan katanya? Ya udah...ayo ke sana, kalau bisa kamu wujudkan malam ini juga," kata Rara menantang Elang. Ia berani seperti itu karena pernikahan tidak akan bisa diwujudkan dalam satu malam. Elang mengetuk stirnya pelan."Wah, sepertinya kamu udah enggak sabar ya. Bisa, sih...malam ini juga kunikahi kamu. Tapi, nikah siri." Elang tersenyum lebar. "Enggak mau!" kata Rara. "Ya deh...nanti kita nikah resmi ya. Sabar aja...aku pasti sama kamu kok, aku enggak akan kemana-mana apa lagi sampai kepincut wanita lain," kata Elang sambil menyalakan mobil. "Idih! Apaan, sih! Pede banget!" "Kita pergi kemana, Rara...ke hotel mau enggak?" "Ngapain?" "Main kelereng." "Mau ngapain ke hotel, kamu mau apa-apain aku, ya? Kamu pikir aku cewek apaan, Elang. Baru beberapa menit kita tunangan...udah kayak gini kelakuan kamu," omel Rara. "Ra, ngucap, Ra....omongan kamu kecepatannya mengalahkan kecepatan larinya Zohri deh. Daftar jadi atlet sana." "Apaan, sih!!" Rara semakin kesal. Rasanya ingin menenggelamkan Elang ke  tempat pembuangan sampah. "Aku...mau ajak ke hotel dimana nanti resepsi nikah kita diadakan. Kamu mau cepat-cepat nikah, kan...makanya kuajak ke sana biar kamu lihat," jelas Elang akhirnya. Rara terdiam, hatinya sudah terlanjur kesal dan tidak mood ke mana-mana lagi."Aku mau pulang aja." "Enggak mau lihat hotelnya?" "Enggak. Bete,"jawab Rara cepat. Kemudian ia menyandarkan badannya ke sandaran dan membuang pandangan ke luar jendela. "Ya udah kalau enggak mau ke hotel, kita jalan dulu kemana gitu, biar makin dekat." Elang masih terus berusaha. "Elang! Aku mau pulang!" teriak Rara sambil menjambak rambutnya sendiri. Sementara Elang terlihat santai sekali, kemudian melajukan kendaraannya meninggalkan tempat itu.   ** Pagi sudah tiba, Rara terbangun dengan badan yang sedikit pegal. Ia menguap, melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam. Ia segera bangun, mandi, dan bersiap-siap pergi ke toko jam tangan yang ia miliki. Saat menuruni anak tangga, ia melihat kedua orangtuanya sudah duduk di meja makan. "Hai, Ma, Pa." "Hai, Ra. Mau kemana sudah rapi?" tanya Adi. "Ya ke toko dong, Pa." "Kamu...sudah enggak boleh kemana-mana, Ra. Biar toko, Fadli aja yang urus mulai sekarang," balas Adi. Fadli adalah sepupu Rara. Rara mengambil piring dan mulai menyendok nasi goreng."Loh memangnya kenapa, Pa? Rara masih sanggup kok jalankan toko itu." "Kamu kan mau menikah. Jadi, kamu persiapkan diri aja di rumah, sama Mama." Rara terbelalak. "Menikah? Tapi, kan...calonnya enggak ada." "Kamu mimpi ya...semalam kan kamu sudah tunangan sama Elang. Itu cincinnya di tangan kamu," kata Sumi. Rara melihat cincin di jari manisnya. Ia menepuk jidatnya. Ia hampir lupa kalau semalam ia bertemu dengan pria menyebalkan."Tapi, kayaknya...Elang enggak cocok sama Rara deh,Pa, Ma." Sumi melirik anak semata wayangnya itu. Ia mulai curiga kalau anaknya akan membatalkan perjodohan ini dengan alasan yang logis lagi seperti sebelumnya."Enggak cocok bagaimana?" "Elang itu ngeselin banget!" Rara bergidik ngeri saat mengingat betapa tengilnya Elang saat mereka berduaan. "Memangnya dia ngapain?" "Suka gangguin Rara, Ma, suka bikin Rara kesel juga!"   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD