Kenangan Tentang Dinar

1037 Words
Hari demi hari tak satupun terlewati, Dinar selalu mengunjungi pohon beringin besar yang ada di pinggiran hutan di desa Dinar. Sejak saat itu juga Dinar jarang bermain dengan teman-temannya. "Dinar, kamu sekarang sombong sekali, gak mau temenan sama kami lagi!" ucap salah satu teman Dinar yang sedang bermain bersama teman yang lain. "Maaf, bukan aku gak mau berteman sama kalian tapi aku..." ucapan Dinar menggantung saat melihat sosok anak laki-laki melambaikan tangan dari kejauhan. "Fiko..." seru Dinar sembari tersenyum dan berlari ke arah Fiko. "Fiko...?" ucap teman-temannya hampir bersamaan dan melihat arah berlari Dinar. Dinar berlari menghampiri Fiko yang sudah menunggu di kejauhan. Teman-temannya menyaksikan dari kejauhan, Dinar berjalan sambil meloncat-loncat gembira dan tangannya yang diayun-ayunkan seperti sedang bergandengan. "Dinar mau kemana tuh?" ucap teman Dinar. "Gak tau, dia aneh sekali!" tambah teman satunya lagi. "Iya, dia seperti gandengan sama orang, tapi gak ada siapa-siapa di sana!" tambah teman lainnya. "Jangan-jangan...? Aaaa...." mereka berlari ketakutan saat memikirkan sosok hantu. Dinar bermain dengan Fiko di bawah pohon itu. Ia tampak sangat bahagia. Mereka bermain ayunan hingga kejar-kejaran. "Fiko, memangnya gak ada hantu lain yang tinggal di sini selain kamu?" tanya Dinar. "Gak ada, dari kecil ayahku meninggalkan aku di pohon ini sendiri. Sedangkan hantu yang lain tinggal di dalam hutan itu" Fiko menunjuk sebuah hutan yang tidak jauh dari pohon itu. "Apa aku bisa liat mereka ya kalo aku ke sana?" tanya Dinar. "Aku juga gak tau, tapi kayaknya bisa! karena kamu manusia istimewa, kamu aja bisa liat aku!" jawab Fiko. Dinar memandang jauh hutan yang dibicarakan Fiko. Hatinya tergerak ingin masuk ke hutan itu. "Fiko, aku mau ke sana" Dinar menunjuk hutan itu dengan jarinya. "Gak usah Dinar, aku takut mereka akan mengganggumu" cegah Fiko. "Kan ada kamu yang jagain aku!" ucap Dinar lagi. "Gak ah...mending kita ke sana aja, di sana ada laut yang indah" bujuk Fiko. "Beneran...?" mata Dinar berbinar saat mendengar kata laut. Tanpa pikir panjang iapun menarik tangan Fiko dan mengajaknya berlari menuju laut. Sesampainya di pinggir laut "Aaaaaa....indah sekali...Fiko...!" Dinar berteriak kegirangan. Fiko turut bahagia menyaksikan kegembiraan Dinar. Mereka bermain pasir di tepi laut, membuat istana pasir, dan melukis wajah mereka di pasir putih yang terhampar luas di tepi laut itu. Berlari menerjang ombak yang berdeburan, saling memercikan air, berkejar-kejaran, berlari, mendorong, terjatuh di air pantai. Baju yang dikenakan Dinar basah kuyup begitupun Fiko. "Aaaaa...." teriak Dinar. "Aaaaa...." sahut Fiko. "Fikoo...." teriak Dinar lagi. "Dinaaarr..." Fiko menyahut teriakan Dinar lagi. Lalu mereka tertawa lagi. Tampak sekali kegembiraan di wajah mereka. "Fiko, kalo di duniamu, hantu bisa berubah jadi tua gak?" tanya Dinar saat mereka duduk bersebelahan di hamparan pasir putih. "Aku juga gak tau, karena aku belum pernah tua" Fiko sedikit menggoda Dinar. "Ah...Fiko, aku tanya bener-bener tau!" Dinar kesal. "Aku juga jawab bener-bener, aku gak tau karena aku belum pernah tua. Tapi, yang jelas, ayahku pun tua, mereka yang ada di sana pun bisa berubah tua. Tapi, mungkin umur kami tidak akan sama dengan manusia. Di dunia kami, jika seorang anak sudah menginjak dewasa maka ia tidak akan menua, sampai saatnya ia harus menghadap Dewa barulah akan berubah menjadi tua" jelas Fiko panjang lebar. "Jadi, jika mereka menua itu berarti pertanda bahwa mereka akan menghadap Dewa?" tanya Dinar penasaran. "Benar" jawab Fiko singkat. ***** "Fiko, apa kamu sudah menua sekarang? gimana kabarmu? kamu pasti sangat kesepian sendirian di sana!" ucap Dinar seorang diri membayangkan kenangan indah saat mereka bermain bersama. Ya...Dinar dan Fiko terpisah karena suatu hal. Kini Dinar tinggal di kota dengan orang tua kandungnya. ****** Fiko yang dulu adalah si hantu kecil yang lucu, kini sudah tumbuh menjadi hantu dewasa. Saat ini ia berusia 50 tahun setara dengan 25 tahun usia manusia. Dan mulai sekarang sampai sekitar 450 tahun ke depan wajahnya tidak akan berubah. Fiko duduk di pinggir pantai dimana dia dan Dinar sering bermain bersama. Itulah yang ia lakukan saat ia merindukan Dinar. Semua kenangan tentang Dinar terbayang di benaknya. Ia kesepian, hari-harinya terasa suram semenjak kepergian Dinar. Ayah yang satu-satunya ia punya sudah menghadap Dewa. Kini ia benar-benar sebatang kara. Hanya ada satu hantu wanita yang sering mengunjunginya secara tiba-tiba. Namun entah kenapa Fiko tak tertarik untuk bermain dengan hantu wanita itu. "Hahhh...." Fiko membuang nafas kasar. Ia ingin mengusir kegelisahan tentang kekhawatirannya tentang Dinar. 'Dimana Dinar sekarang?' 'Apa Dinar baik-baik saja?' 'Apa Dinar bahagia seperti dulu?' 'Kenapa tiba-tiba Dinar menghilang tanpa jejak?' 'Apa yang terjadi?' Semua pertanyaan itu terus menghantui pikiran Fiko. Ia sudah berkeliling kampung dimana Dinar dulu tinggal, namun ia tak menemukan sosok Dinar. Empat puluh tahun waktu di dunianya ia mencari sosok Dinar sahabat kecilnya. Namun bayangan Dinarpun tak ia temukan. "Duaaaarrr..." sesosok hantu wanita yang tiba-tiba muncul mengejutkannya. "Kamu lagi mikirin apa?" ucap Allea si hantu wanita sembari memeluk Fiko dari belakang. "Ada apa? kenapa kamu tiba-tiba muncul di sini?" tanya Fiko ketus. "Karena aku merindukanmu!" Allea ingin mencium bibir Fiko, namun gagal, karena Fiko lebih cepat menghindar dan berdiri meninggalkan Allea. "Fiko..." teriak Allea kesal. "Aku peringatin kamu ya...kalo kamu ingin berteman denganku jaga sikapmu!" jelas Fiko. "Apa salahnya kalo aku nyium kamu, kamu kan milikku Fiko..." Allea masih berusaha meraih tubuh Fiko. Fiko menghilang dengan cepat, menghindari kegilaan Allea. "Fikooo..." teriak Allea lalu menghilang ingin mengejar Fiko. ****** "Dinar..." sapa ibu Dinar sambil mengelus rambut Dinar. Dinar masih duduk di tepi jendela kamarnya. Ia menatap jauh ke depan mencari bayangan hutan dan pohon besar yang mengingatkan kenangannya bersama Fiko. Namun sejauh matanya memandang ia tetap tidak menemukan apa yang ia cari. Dinar tersenyum menatap wajah ibunya. "Ada apa ma?" tanya Dinar kemudian. "Kamu mikirin apa sayang?" tanya ibu Dinar balik. "Ga ada ma, Dinar cuma..." ucapan Dinar menggantung, ia tak berani berkata bahwa ia merindukan kampung dimana ia tinggal dulu, karena orang tuanya terang-terangan melarang ia berkunjung ke tempat itu lagi. "Ma, kenapa Dinar bisa di besarin di kampung itu?" tiba-tiba Dinar menanyakan hal itu. "Ada banyak penyebab yang membuat kamu tinggal di kampung itu. Dan sekarang belum saatnya kamu mengetahuinya!" jelas ibu Dinar. Dinar tak tau misteri apa yang disimpan ibunya, sehingga ibunya bersi keras melarangnya kembali ke kampung itu walau hanya berkunjung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD