3

1044 Words
SMA, kenangan yang paling pertama diingat dari masa SMA bisa beragam, bisa jadi tentang cinta pertama, sahabat yang paling berkesan, pelajaran yang dibenci, olahraga favorit dan lain-lain. Bagi Ratu mungkin yang pertama kali diingatnya adalah kali pertama ia menemukan cita-citanya. Pagi itu ketika semua siswa berhamburan keluar dari kelas setelah mendengar bel istirahat, beberapa justru berlari ke dalam kelas. Mereka menyerukan nama Ratu berkali-kali dengan heboh. "Ratu Ratu Ratuuuu! Jardin lo kecelakaan!" seru 4 orang siswi bersamaan. Ratu yang masih berjibaku dengan catatan Biologi milik teman sebangkunya Rasti hanya mengangkat kepalanya sejenak, menatap 4 siswi tadi satu persatu. "Apa hubungannya sama gue?" balasnya dengan ekspresi bingung. Ratu bukan tidak peduli jika Jardin mengalami hal yang buruk, karena sejak MOS 2 tahun lalu hingga saat ini mereka berteman cukup baik. Meski terlalu sering dipasangkan dalam tugas kelompok, Ratu tidak merasa dia harus tahu segala hal tentang Jardin. Hal itu membuatnya bingung kenapa para siswi itu justru melaporkan kondisi Jardin padanya. "Lo bukannya pacaran sama Jardin?" gumam Desi, salah satu siswi yang dengan heboh menceritakan kronologi kecelakaan Jardin. "Tapi kan lo temennya. Lo berdua sering barengan, masa' lo nggak khawatir sama Jardin?" desak Yani begitu Ratu hanya membalas dengan gelengan pelan. Mereka terlanjur malu karena sudah sangat heboh menghampiri Ratu sedang perempuan itu terkesan tidak begitu tertarik dengan berita yang mereka sampaikan. Tangan Ratu berhenti menyalin catatan dan beralih menggenggam tangan Yani sambil berujar, "iya, gue khawatir. Semoga dia baik-baik aja sekarang... tapi ulangan Biologi gue nggak baik-baik aja kalo nggak selesai nyatet sekarang." Yani menarik tangannya dari Ratu melangkah mundur, menarik diri dan menjauh. Ratu yang melihat ekspresi kecewa dari 4 sekawan itu kemudian memanggil mereka. "Terima kasih sudah ngabarin." ucapnya tersenyum ramah. "Jardin tadi tanding sama kakak kelas, terus pas mau ngoper bola dianya kena sikut terus jatuh. Kabarnya sih tulang tangannya retak." Ratu berusaha fokus namun cerita Desi tentang kecelakaan Jardin terus mengusiknya. Terlebih setelah mendengar bahwa pria itu mengalami tulang retak. Jardin pernah bercerita bahwa keluarganya ingin agar Jardin menjadi seorang dokter bedah. Ratu menjadi tidak tenang, bahkan ketika ujian telah dimulai, Ratu terus menoleh ke bangku kosong milik Jardin. Saat pulang sekolah, Ratu juga melihat sepeda motor Jardin yang masih berada di parkiran. Kunci motornya telah lebih dulu Jardin titipkan sebelum jam pelajaran Olahraga dimulai. Ratu ingin mengantarkan motor itu ke rumah Jardin tapi ia sendiri tidak tahu cara mengendarai motor Kawasaki Ninja 250 berwarna merah tersebut. "Motor lo masih di sekolah." buka Ratu begitu panggilannya diangkat Jardin. ["Lu gak nanya keadaan gue?"] balas Jardin tersenyum miris. Setelah dari rumah sakit, ia langsung diantar pulang ke rumah. Sayangnya ayah dan ibu Jardin lebih khawatir tentang masa depan Jardin yang terancam tidak bisa menjadi seorang dokter bedah dibanding perasaan sang anak. ["Bisa jemput gue, nggak?"] pintanya memecah hening karena Ratu tidak juga bersuara. Ratu tidak mengerti kenapa Jardin hanya diam sepanjang jalan. Setelah Ratu datang menjemputnya, pria itu tidak lagi membuka suara dan hanya menikmati perjalanan tanpa arah mereka sambil sesekali mengintip Ratu yang fokus mengendarai motor maticnya. "Bukannya lebih baik lo istirahat di rumah?" Ratu menghentikan motornya di pinggiran taman kota, Jardin sedang menatapnya kosong. "Gue nggak bawa duit tapi pengen bakso tusuk." balas Jardin mengacuhkan pertanyaan Ratu dan berjalan lebih dulu ke penjual bakso tusuk. Ratu mengikuti langkah Jardin, suasana sore yang ramai dengan pengunjung menjadi pemandangan pilihan mereka untuk menyantap jajanan dalam diam. "Lu tahu cita-cita gue apa?" tanya Jardin setelah menghabiskan 3 tusuk bakso dalam diam. Ratu yang duduk di sebelahnya mengerutkan dahi, tidak yakin dengan arah pembicaraan Jardin. "Gue dulu pengen jadi akuntan, karena di sana hanya ada angka. Tapi keluarga gue pengen gue jadi dokter." imbuhnya memandang lurus anak-anak yang sedang bermain di taman. "Dulu gue pikir mereka sayang banget sama gue, semua yang mereka kasih ke gue pasti yang terbaik, apa pun yang mereka perintahkan pasti sesuatu yang baik... tapi lama-lama gue ngerasa gak punya pilihan selain nurut. Lu tahu, kan? Gue suka Matematika, tapi keluarga gue gak mau tahu. lu juga tahu, kan? Gue gak suka Ipa, tapi mereka gak peduli. Kadang gue mikir, gue anak kandung mereka bukan, sih? Kok gue ngerasa seperti alat pemuas ego mereka?" Jardin meringis miris sedang Ratu menatapnya dengan wajah yang tidak bisa Jardin tebak. Mendengar perkataan Jardin membuat Ratu seolah tersedot ke dimensi lain. Untuk kali pertama dalam 2 tahun pertemanan mereka, Ratu merasa hatinya begitu tergerak mendengar cerita Jardin. Pria yang selalu terlihat santai dan menjalani hidup seolah hanya untuk bersenang-senang itu tidak pernah menampakkan sisi lainnya. "Lo gak cocok mellow-mellow begitu. Mending lo pulang deh. Gue bentar lagi dicariin, udah sore banget." Jardin berdecak kesal mendengar ucapan Ratu, perempuan itu jelas tidak tahu harus merespon apa dan sangat salah tingkah sampai lupa letak kunci motornya. "Lu bisa kali meluk gue, kasih dukungan kek, apa kek... malah salting begitu, gak jelas lu." protesnya sembari memberikan kunci motor pada Ratu. Ratu mengabaikan portesan Jardin dan berjalan lebih dulu. Jardin benar, ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk merespon Jardin karena perasaannya saat ini terasa campur aduk. Selama perjalanan pulang pun Ratu diam-diam mengintip Jardin dari spion motornya. Pria itu masih menatap kosong jalanan. "Thanks udah jajanin gue, kalo gue sudah sembuh ntar lu gue jajanin es serut depan pengadilan." ujar Jardin ketika Ratu mengantarnya sampai di depan rumah. "Lu kenapa? bisa pulang sendiri, nggak? Kayak gak fokus begitu lu dari tadi gue perhatiin." tegurnya setelah menepuk bahu Ratu hingga perempuan itu terkejut. "I-iya, bisa kok." jawab Ratu terbata. Matanya bergerak cepat, memandang ke segala arah. Jardin sudah melangkah menjauh ketika tiba-tiba saja Ratu mengumpulkan keberaniannya. "Jardin!" panggilnya tergesa. Jardin tidak kembali menghampirinya dan hanya berbalik badan, menanti kata-kata Ratu selanjutnya. "G-gue nggak tahu apa boleh ngomong begini, tapi menurut gue... sesuatu yang lo rasa seperti diperalat itu berharga buat gue. Gue bahkan gak tahu cita-cita gue apa, karena orang tua gue nggak pernah peduli sama gue. Kalo lo gak keberatan, biar gue yang ngejar cita-cita lo. Jadi lo masih bisa belajar Matematika yang lo suka bareng gue. Gue janji gak bakal kabur. Hehe.." tuturnya diakhiri kekehan canggung. Langit senja masih memerah seperti biasa, udara sejuk berhembus seperti biasa, kicauan burung juga masih seperti biasa, namun senyuman canggung Ratu saat merasa lega telah mengatakan hal itu pada Jardin membuat detak jantung Jardin tidak biasa. "Kalo ngejar lu, boleh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD