2

1107 Words
"Lo putus lagi sama Jean?" Jardin diam membisu. Tidak ada jawaban, Jardin hanya bangkit dari tidurnya dan meninggalkan kamar dengan bantingan pintu yang keras. "Mereka sudah selesai." gumam Putri ketika Tania terkejut dengan suara bantingan pintu di luar.Tania bangun lebih dulu ketika aroma masakan yang menggunggah selera menggelitik penciumannya. Diliriknya Putri yang masih berjibaku dengan dunia mimpi, perempuan itu ternyata susah bangun pagi. Tania memilih keluar dan menghampiri Ratu yang tengah menyiapkan sarapan setelah membersihkan diri. Rasa takjub segera mengerubunginya begitu melihat sosok Ratu. “Oh, halo, temannya Putri. Kita belum sempat kenalan semalam.” sapa Ratu masih sibuk dengan nasi gorengnya. Tania meringis, bingung harus merespon apa pada perempuan dewasa di hadapannya. “Tania, kak. Ada yang bisa aku bantu nggak, kak?” Tania segera menghampiri Ratu namun tawarannya ditolak dengan halus. Punggungnya baru saja bersandar pada kursi di meja makan ketika dari arah berlawanan Jardin datang menghampiri Ratu. Pria itu membisiki sesuatu kemudian Ratu menyuapinya sesendok nasi goreng. Gerak-gerik mereka terlihat alami, sama sekali tidak seperti dua orang yang habis bertengkar hebat semalam. “Selamat pagi, duhai Adinda. Apakah tidurmu nyenyak? Sudahkah Adinda Putri membersihkan diri?” Tania nyaris tersedak mendengar sapaan Ratu yang terdengar menggelikan dan benar-benar tersedak ketika mendengar Putri membalas sapaan tersebut. “Selamat pagi, Baginda. Dinda sudah merapikan segala persiapan dan telah siap untuk berangkat sekolah.” “Jangan kaget, mereka memang berasal dari dunia yang berbeda.” ujar Jardin ikut duduk di meja makan. Ratu datang dengan dua piring nasi goreng dan satu piring roti bakar. Jardin segera menyantap roti bakar dan bergegas bangkit dari duduknya. “Lu yang nganter anak-anak.” tandasnya menyisakan setengah dari roti bakar dan pergi sebelum Ratu sempat menjawab. Putri dan Tania akhirnya berangkat sekolah bersama Ratu. Dalam perjalanan yang berjarak 2 km tersebut hanya bersuarakan percakapan Ratu dengan rekan kerjanya. Putri masih sibuk memeriksa pekerjaan rumahnya sementara Tania memilih memandangi jalanan. “Duhai Adinda, hadiah apa gerangan yang engkau hendaki kali ini?” tanya Ratu yang segera menyita perhatian kedua remaja itu. “Dinda hanya mengharapkan kepulangan Baginda Ratu semata.” balas Putri seketika mendapat cubitan dari Tania. Perempuan itu tampaknya tidak bisa menahan lagi kegelian percakapan dua generasi tersebut. “Apakah Dinda tahu sesuatu tentang Jardin dan Jean?” Ratu memutar kemudi dengan tenang, pertanyaannya pun mengalir begitu saja. “Tidak, Baginda.” “Baiklah.” “Jean itu pacarnya bang Jardin.” Tania dengan panik menutup mulut Putri yang menjawab pertanyaan berbisiknya dengan suara lantang. Ia merasa sangat malu saat Ratu meliriknya dari kaca depan. “Aku pikir kak Ratu pacarnya bang Jardin. Hehe..” Tania terkekeh canggung. Ratu menangkap ekspresi bersalah Tania yang tampak seperti ingin melompat keluar dari mobil setelah menyuarakan pikirannya. “Aku cuma teman.” Ratu tersenyum, rasanya sudah lama ia tidak mengatakan kalimat itu kepada orang lain. Sudah sangat lama hingga pikirannya kembali ke sepuluh tahun lalu, ketika mereka belum menjadi teman. Mobil jazz merah Ratu berhenti tepat di depan sekolah. Putri dan Tania telah berbaur dengan murid-murid lain, tapi pandangan Ratu masih terpaku pada sekolah menengah atas tersebut. Para siswa berjalan dengan malas memasuki kelas, bercanda dengan teman, dan saling menyapa. “Apa yang terjadi di sekolah saat itu?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Ratu mencoba mengingat kenangan lain semasa sekolahnya namun yang muncul hanyalah momen kebersamaannya dengan Jardin. Awal pertemuan mereka, ketika penerimaan siswa baru. Bersama roda mobilnya yang melaju menuju bandara, Ratu kembali terbayang suasana menegangkan ketika ia terlambat datang di hari pertama masa orientasi siswa. Kala itu Ratu bisa saja tidak terlambat memasuki gerbang tapi Jardin terus memanggil karena ia menjatuhkan jam tangannya di jalan. “Lu ngejatuhin ini.” ujar siswa laki-laki berkepala botak dengan topi kerucut kekecilan itu sembari menunjukkan jam tangan milik Ratu. Dari penampilannya Ratu bisa menebak bahwa mereka masuk ke sekolah yang sama. “Itu yang asyik PDKT di gerbang, mau sekolah apa pacaran?!” tegur seorang panitia menggunakan pengeras suara, sontak semua orang yang sudah berbaris rapi di lapangan menoleh kepada mereka berdua. Ratu dengan panik berlari memasuki barisan. “Eh eh eeeeh! Enak aja langsung baris... sini maju!” seru panitia yang lain meminta agar Ratu maju ke podium. “Itu pacarnya juga enak banget jalannya santai begitu. Oh pantes... yang ini Ratu, jadi lu Rajanya?” olok si panitia begitu membaca name tag Ratu. “Jardin, kak. Bukan Raja.” balas siswa laki-laki tadi dengan datar. Tidak terdengar segan sama sekali. Berbeda dengan Ratu gugup setengah mati, Jardin dengan santai membalas tatapan kakak panitia. “Bagus deh, karena lu berani... supaya teman-teman yang lain bisa nyontohin keberanian lu, kalian berdua kita jadiin maskot. Denger ya, semuanya! Jardin dan Ratu mulai sekarang jadi maskot angkatan kalian, jadi kalian harus mencontoh dua orang ini, dari suka telatnya, ngebangkangnya, gak sopannya, semuanya! Biar gak usah lulus MOS kalian semua!!” Ratu tidak dapat mengangkat kepalanya mendengar suara keras kakak panitia yang sangat kesal. Ratu bahkan tidak menyimak dengan baik apa yang dikatakan panitia yang lain dan berjalan kaku ke barisan setelah diteriaki oleh panitia lain. “JARDIN, RATUNYA DIBANTUIN DONG!” goda panitia tidak ada habisnya. Setelah ditetapkan sebagai maskot angkatan, Jardin dan Ratu sering menjadi sasaran empuk panitia MOS. Pernah suatu kali, Jardin mendapati Ratu kebingungan mencari barang yang diminta kakak panitia sebagai tugas tambahan Ratu. Pria itu membantu Ratu mengambil buku di tumpukan tertinggi rak buku dan menasihati Ratu untuk tidak terlalu takut dengan panitia. “Lu takut sama mereka? Santai aja, mereka gak akan bisa ngusir lu dari sekolah cuma gara-gara MOS beginian. Lu gak ngelanggar peraturan, ga buat keributan, ya sudah... santai.” “Selamat siang, Para Pejuang! Tadi kak Rosi gak sengaja lihat ada teman kalian yang masih gak tahu caranya make dasi... jadi sekarang kita minta Jardin dan Ratunya yang romantis setiap saat buat ngasih contoh make dasi, gimana? Setuju, nggak?” Seruan dan sahutan saling bersambut mendengar pertanyaan kakak panitia. Seseorang telah melaporkan bahwa Jardin membantu Ratu untuk menyelesaikan tugasnya. Di dalam ruang serbaguna sekolah yang dipenuhi para siswa baru itu, Jardin dan Ratu berdiri dengan canggung. Jardin yang awalnya tidak peduli dengan perintah panitia perlahan gugup ketika menyadari ia dan Ratu saat ini menjadi pusat perhatian semua orang. Ditambah jaraknya dengan Ratu yang terasa aneh. Perempuan itu sama sekali tidak gugup, apalagi salah tingkah ketika panitia terus-terusan menggoda mereka. “Ratu menghayati banget, tuh!” “Cieee istri idaman Jardin!” “Sekolah dulu yang bener ya, Mama Papa!” Tidak satu pun kata-kata itu masuk ke telinga Ratu, ia tetap fokus memasangkan Jardin dasi yang terus diberikan oleh kakak panitia. “Jardin, kenapa lu?” tegur panitia ketika mendapati Jardin terus mematut pandangannya pada Ratu. “Cantik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD