02 | Musuh Bebuyutan

2674 Words
Pak Bara terpaksa menjeda sejenak ceramahnya di muka kelas ketika Bu Cempaka masuk mengantarkan Leo, sekaligus memperkenalkannya sebagai murid baru. Kini Leo berdiri di depan, menghadap puluhan teman barunya dengan gertur dan tatapan tenang. Terlalu tenang sampai nyaris tak terlihat seperti seorang murid baru yang umumnya grogi dan malu. "Halo, selamat pagi," sapa Leo tanpa canggung, yang disambut keheningan kelas, tidak ada yang menyahut. Maklum saja, Leo bukan karakter novel si cowok super ganteng dengan gaya cool hingga membuat para siswa perempuan menggeliat genit seperti ulat keket. Wajah Leo biasa saja, banyak yang lebih ganteng dari dia, tapi lebih banyak lagi yang lebih jelek darinya. "Perkenalkan nama saya Leonardo, kalian bisa panggil saya Leo. Saya pindahan dari Surabaya." Hanya itu saja perkenalan dirinya. "Leonardo siapa?" sahut Marco, cowok pembuat onar di kelas angkat tangan. Marco memang tidak punya malu, selalu memanfaatkan segala kesempatan untuk mencari perhatian. "Leonardo Dicaprio? Lho, nggak jadi tenggelam sama kapal Titanic, ya? Atau, Leonardo Da Vinci? Bangkit dari kubur supaya orang berhenti debat tentang misteri Monalisa?" "Cukup, Marcio. Itu garing," tegur Bu Cempaka, menyebut nama asli pemuda itu. Mika yang mengintip di luar pintu berdecak malas, mendengar lelucon garing Marco. Kalaupun ada yang tertawa, mereka sudah pasti anak bully-an Marco yang terpaksa tunduk jadi anak buahnya. Bu Cempaka mempersilakan Leo untuk duduk di meja kosong, dan mempersilakan Pak Barra melanjutkan pelajaran. Mika melirik Leo, dengan tenang Leo mengeluarkan buku dan langsung tampak larut dalam pelajaran. Berbagai sumpah serapah Mika desiskan untuk Leo. Bukannya langsung mengenalkan diri pada Mika, dia malah mengerjai Mika. Dari caranya menyinggung kata 'bodoh' saja, sudah jelas Leo mengenali dan mengingat dirinya. Atau, mungkin sekarang Leo itu bodoh? Tadi kan mereka sudah ada di kelas, masa sih Leo tidak melihat papan penunjuk? Mika mengepalkan kedua tangan, gatal ingin mencabik-cabik wajah sok kalem Leo. Tapi, bagaimana bisa Leo langsung mengenali Mika? Mereka sudah 11 tahun tidak bertemu. Meski merasa wajah Leo familiar, Mika tidak bisa mengenalinya sekali lihat. Barulah tadi saat Mika memperhatikannya betul-betul, baru Mika menemukan kesamaan garis dengan wajah Leo. Merasakan kulit lengannya dingin seperti menyentuh logam, Mika menunduk. "Ah, badge name sialan." Mika berganti mengumpati benda mati yang sebelumnya pasti ditangkap pengelihatan Leo. *** Satu jam mata pelajaran Matematika sudah selesai, Mika dipanggil untuk mengikuti satu jam sisanya. Mika menyesal, harusnya waktu 45 menit itu bisa dipakainya bersantai. Tapi apa nyatanya? huh, Leo benar-benar mengacaukan semuanya. Keisha melirik temannya yang melamun itu, lalu menyenggol lengan Mika. Mika melotot marah. Keisha memutar bola mata malas. "Lo kenapa sih, Mik? Tumben, stres habis dihukum. Biasanya juga bodo amat," tanyanya berbisik. "Gue bukan stress karena dihukum," Mika menjawab dengan nada normal, mungkin lupa sedang berada dimana sekarang. "Tapi?" "Tapi—" Ehem! Pak Bara berdehem keras, sengaja sepertinya. Sontak saja Mika memperbaiki sikap duduknya, membekap mulut yang terkadang suka lupa situasi dan kondisi. "Sepertinya 45 menit masih kurang untukmu, Mikayla?" Mika megiris kecil. "Tidak, Pak. Itu sudah cukup." Pak Bara menghembuskan napas, kentara sekali sedang menahan emosi. Menghadapi murid-murid seperti Mika ini memang susah-susah gampang. Dibiarkan tambah rusak, diurus bisa jadi yang mengurus kena tekanan darah tinggi. Ditindak keras, besoknya orang tua murid pasti kirim surat somasi. Waktu berputar sangat lambat, sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Fokus Mika terbagi antara papan tulis dan Leo. Leo duduk sendirian di satu baris dengannya, mereka sama-sama di pinggir tembok dan dipisahkan oleh dua buah bangku di tengah-tengah. Hingga saat-saat yang ditunggu Mika pun tiba. Pak Bara keluar dan akhirnya Mika memiliki kesempatan melabrak Leo. Niatnya begitu. Mika baru saja beranjak hendak menghampirinya, tapi Leo tampak sudah asyik mengobrol dengan teman di depannya. Lebih lagi, Leo sedang menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, ada murid baru, anak-anak iseng pasti sedang menyiapkan 'upacara penyambutan' untuknya. Penggagasnya siapa lagi kalau bukan Marco. Guru selanjutnya datang tepat waktu, dan yang hanya dilakukan Mika hanya menunggu waktu istirahat tiba. Mika bersumpah, ia sama sekali tidak bisa fokus karena Leo. *** Istirahat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mika menolak ajakan Keisha makan ke kantin meskipun tadi pagi ia belum memasukkan apa-apa ke dalam perutnya selain setengah gelas s**u cokelat. Mika menopang dagu di tempat duduk, menunggu kesempatan untuk menerkam Leo. Kesempatan itu tiba saat Leo ditinggal kedua teman di depannya keluar, sementara pemuda itu tampak sedang membaca selembar kertas yang entah apa itu. Mika menghentakkan kaki ke lantai, menghampirinya dengan langkah terukur. Leo mendongak melihat seseorang berdiri di samping mejanya. "Ada apa?" tanyanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Seperti mereka belum pernah saling mengenal sebelumnya. Mika tertawa megejek. "Lo tahu kan siapa gue?" Leo sok-sokan melirik badge name Mika, Mika yang sadar langsung menutupi dengan kedua tangan. Leo menahan senyum geli, gadis ini masih konyol saja. "Kalau aku nggak salah ingat, tadi kamu bilang kamu bukan siapa-siapa di sekolah ini. Jadi apa aku harus tahu siapa kamu?" "Bukan itu maksud gue!" sentak Mika. "Lo sudah tahu siapa gue. Lo tadi lihat badge name gue dan lo sengaja ngerjain gue dengan pura-pura nggak tahu di mana kelas lo padahal lo sudah ada di depan kelas tadi. Ayo, bilang. Atau jangan- jangan lo sengaja sekolah di sini karena tahu gue sekolah disini juga. Sudahlah, ngaku saja," cerocos Mika mengingatkan Leo dengan kereta api, cepat, panjang, dan bising. Leo sengaja tetap diam sesaat, menatap Mika lama. Membuat yang ditatap jadi salah tingkah, tak nyaman ditatap lekat oleh lawan jenis. "Apa? Lo lihat apa?" sentak Mika, agar Leo berhenti menatapnya. "Jatuh jatuh cinta, ditanggung sendiri, ya!" peringat Mika. Selama hampir 18 tahun hidup, dari TK sampai SMA, sudah ada beberapa cowok yang menyatakan cinta padanya, baik secara terang-terangan atau masih kode-kodean. Tapi tidak ada satu pun yang Mika hiraukan. Bukan karena tidak ada satupun yang Mika sukai balik, Mika sungguh ingin merasakan pacaran, tetapi Mika lebih takut omelan bundanya kalau sampai ketahuan. Leo memalingkan muka sekilas. "Sudah selesai ngomongnya?" "Hah? "Kamu berisik." Leo bangkit berdiri, meninggalkan Mika dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantong celana abu-abunya. Mika tergagap tanpa suara, saking tak menyangka dengan reaksi macam apa Leo barusan. Orang sakti mungkin bisa melihat kepulan asap keluar dari kedua lubang hidungnya bersamaan dengan keluarnya dua tanduk di kepala. "Ah, ya." Tiga langkah berjalan, Leo berbalik karena teringat sesuatu. Sontak Mika memasang wajah berlagak galak. "Apa kamu nggak mau teriak bodoh di muka ku sekarang?" *** "Kenapa sih, Kak, cemberut terus dari tadi?" Sadin jelas merasa aneh melihat si sulung yang biasanya ceria dengan segala kekonyolannya, tiba-tiba berubah jadi sangat pendiam. Mika mengunyah buah apelnya malas-malasan. "Nggak papa, lagi males aja, Bun." "Kak Mika sih malesnya tiap hari, Bun" celetuk Sikka. "Kak Mika pasti lagi ada masalah sama pacarnya, tuh." Gerak tangan Ssdin yang tengah mengupas buah apel langsung berhenti seketika, begitu mendengar kata 'pacar'. "Kamu punya pacar, Kak?" "Apaan sih, Bun." Mika memutar bola mata. "Nggak ada, Sikka ngasal. Kalau Bunda sekarang mau kasih izin, besok Mika jamin Mika sudah punya pacar." Sadin mengembuskkan napas lega, tangannya kembali bergerak melakukan kegiatan yang sempat terjeda. "Bunda sama Ayah kan nggak pernah ngelarang kamu pacaran, cuma ... kamu sama pacar kamu tidak boleh berduaan, itu saja." Mika mendesah berat. "Bunda suka bercanda ya. Gimana ceritanya coba orang pacaran nggak boleh berduaan. Kalau mau nge-date gimana?" "Kan bisa ajak Sikka, atau nggak Bunda atau Ayah mau kok temenin." "Memangnya aku anak TK, kemana-mana diikutin orang tua?" "Yaudah kalau begitu nggak usah pacaran. Lagipula apa pentingnya sih, kamu kan nggak akan menikah dalam waktu dekat. Kamu masih harus kuliah dan wujudin cita-cita kamu." Sejak awal Sadin dan Duta mengerti tren abadi anak SMA, belum gaul kalau belum punya pacar. Karena itu mereka tidak melarang, lebih kepada mengawasi secara ketat agar tidak kecolongan. Bagaimana pun juga Sadin percaya hukum karma itu ada. Jangan sampai Mika melakukan apa yang ia dan Duta lakukan dulu, dan Sadin harus merasakan apa yang orang tuanya rasakan. "Bunda ngelarang Kak Mika pacaran, tapi Bunda sama Ayah juga udah pacaran sejak SMA, tuh." Kali ini Mika mengangguk menyetujui ucapan Sikka. Bukan r "Justru karena Bunda pernah, makanya Bunda ngelarang. Pacaran saat masih sekolah itu nggak seenak kelihatannya lho, nanti Sikka juga nggak boleh pacaran sebelum lulus SMA." "Memang nggak enaknya gimana, Bun?" Sikka lebih penasaran pada banyak hal, sementara Mika cenderung melihat apa yang ada di depannya saja. Seringkali Mika hanya sekadar memberi anggukan mendukung agar pertanyaan Sikka dijawab. Namun, beberapa kali bertanya hal sama, jawaban Bundanya selalu sama. Nggak boleh, ya nggak boleh. Titik. Suara kentongan tukang bakso keliling langganan terdengar. Wajah Mika sumringah. "Bun, bakso ya?" "Kamu ini jajan terus." "Ah Bun, kasihan Abangnya kalau semua orang ngomong kayak Bunda. Di mana perputaran ekonominya? Dia itu kerja, hitung-hitung berbagi rejeki." "Memang paling pinter ngomong kamu," Sadin memutar bola mata, tapi tangannya sambil mengeluarkan pecahan uang 20 ribu dari dalam kantongnya. Dengan cepat Mika mengambilnya dan membawanya berlari mencegat abang tukang bakso. "Kakak, Sikka juga mau." Sikka berlari mengejar kakaknya. Sadin bersyukur memiliki mereka berdua, dunianya menjadi semakin ramai dan ceria. Perbedaan jauh antara Mika dan Sikka memaksa Sadin dan Duta belajar untuk menjadi orang tua yang kreatif serta bijaksana dalam menghadapi keduanya. Capek dan pusing memang, tapi karena kini Sadin melewatinya bersama Duta, segala sesuatu jadi terasa jauh lebih mudah. Ponselnya berdering, Duta menelpon. Segera saja Sadin mengangkatnya. "Halo, kamu dimana? Kenapa belum pulang?" "Aku masih di jalan. Mika sudah pulang?" "Sudah, sekarang dia sedang beli bakso di depan sama Sikka. Oh ya, tolong belikan rujak kalau di jalan lewat ada yang jual, ya?" "Tumben." "Nggak tau, lagi pengen makan yang asem-asam. Kayaknya segar." *** Abang tukang bakso bertopi merah pusing mendengar dua gadis yang adu keras ingin bakso apa. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. "Aduh, Neng-Neng cantik, ngomongnya satu-satu dong, Abang pusing ini." "Punya saya duluin, Bang. Bakso urat kasih yang besar-besar 3 biji." Sikka menunjuk-nunjuk bakso yang diinginkan. "Nggak boleh nggak boleh." Mika mengibas-ngibaskkan tangan. "Bunda cuma ngasih uang 20 ribu mana dapat 3 bakso besar. Kamu pengen aku makan bakso sebiji aja?" "Kakak kan lebih tua, ngalah dong sama adeknya yang masih dalam masa pertumbuhan." "Enak aja Kakak disuruh ngalah terus." Bukannya tidak sayang, Mika hanya tidak mau mengalah dalam hal makanan kesukaan. "Udah deh, ambil tengahnya aja, buatin 10 ribu 10 ribu, Bang." "Yahh... kak, Sikka kan pengen bakso besar." "Sikka ribet deh, kalau mau sana masuk ambil uang dulu." Tin!tin! Suara klakson motor berhenti di depan rumah tepat di seberang rumah mereka. Motor kurir pizza memanggil sang pemesan. Tak lama seorang gadis berambut panjang berlarian keluar. Mika langsung sibuk dengan baksonya, pura-pura tidak lihat. "Halo, Kak Icha." Sikka melambai pada gadis itu, Mika ingin memotong tangan adiknya saat itu juga. "Halo Sikka, makan bakso ya?" "Iya, sini, Kak." "Aku udah terlanjur pesen pizza, kamu mau?" Icha menunjukkan 2 box pizza yang baru diberikan kurir padanya. Mika mendengkus di dalam hati. Telanjur, dia bilang? Mika berani bertaruh Icha tidak makan makanan yang dijual di pinggir jalan, apalagi oleh Abang-Abang gerobakan. Sikka menggeleng. "Makasih, Kak Icha. Sikka makan makso aja. "Mika mau, nggak?" Mika mencibikkan bibir, berlagak sibuk memperhatikan gerak lincah tangan tukang bakso. Pura-pura tak dengar, seperti halnya Icha pura-pura baik. "Kak, Kak Mika." Sikka mencoleknya, Mika melotot tak suka. "Ditanyain Kak Icha tuh, mau pizza apa enggak." Mika menoleh pada Icha sekilas sembari tersenyum ogah-ogahan. "Oh, enggak. Terima kasih." "Kak Mika nggak suka Pizza, Kak," timpal Sikka seolah menjelaskan yang tentu saja tak perlu. Mika tidak punya masalah dengan berbagai makanan, terutama Pizza. Pizza adalah salah satu makanan yang tidak pernah salah. Icha kemudian menjawab kalau dia mengerti, dan basa basi masuk terlebih dulu. Selepas Icha melewati gerbang rumahnya, Mika menyenggol lengan Sikka. "Ngapain, sih, dijelasin segala? Yang nggak aku suka itu Icha-nya, bukan Pizza-nya." "Kakak bener-bener ya, pikirannya kayak anak kecil. Nggak boleh gitu, Kak. Nggak baik." Sikka geleng-geleng kepala, mengingatkan Mika dengan bundanya setiap kali Mika melakukan sesuatu yang menjengkelkan tapi harus tetap sabar. Sejurus kemudian bakso milik Sikka sudah siap, dan dia masuk duluan begitu saja. Mika ternganga, tak percaya yang barusan berbicara itu adalah adiknya yang baru umur 10 tahun. "Hei, yang anak kecil itu kamu. Aku ini Kakakmu, Sikka, Kakakmu!" Mika sungguh tak tahu takdir macam apa yang mengikat dirinya dengan Icha. Icha adalah temannya semasa di playgroup dulu, Mika tidak memiliki kenangan baik lantaran Icha tidak pernah mau bermain dengannya dan menghasut teman-teman lain yang mau bermain dengan Mika dengan mengatakan bahwa Mika itu bodoh, kalau mereka bermain dengan anak bodoh, maka mereka akan ketularan bodoh. Sikka dan keluarganya pindah ke lingkungan perumahan ini baru dua tahun lalu, dan entah bagaimana rumah mereka saling berseberangan pesis. Wajar saja jika Sikka bisa begitu bersahabat dengan Icha. *** Setelah kenyang makan bakso, Mika pamit pada Ayah dan Bundanya untuk jogging sore di sekitar kompleks, bakar kalori katanya. Tetapi mana ada yang percaya. Sebelum makan apapun, Mika tidak akan mau repot-repot menghitung jumlah kalori yang masuk ke tubuhnya. Pun setelahnya, ia tidak akan mau menyiksa diri olahraga demi membakar kalori tersebut. Mika olahraga hanya kalau ada perlunya. Klik! Suara jepretan kamera. Mika tersenyum puas menatap pada layar ponselnya, foto yang baru diambilnya. Berupa foto kakinya dalam balutan sneakers baru, warnanya pink fuschia. Mika langsung mengunggahnya dengan menambahkan caption, 'Adakah yang olahraga sore ini? Sempetin ya, Guys. PR nggak akan ada habisnya, jangan sampai sakit karena guru nggak menerima alasan sakit saat kita tidak mengumpulkan tugas. Semangat, Guys. Tak sampai hitungan menit, satu like muncul, dari akun milik Keisha. Bukan hanya sekedar ngelike, Keisha juga menyempatkan komentar. keisharatu11 Padahal cuma mau pamer sepatu baru Mika tertawa, tahu saja sahabatnya satu ini. Mika ingin membalas, tepat ketika ia mendengar suara derap orang berlari dari arah belakang. Mika menoleh, dan langsung memutar kepalanya ke depan kembali. Malas lantaran mengetahui itu adalah Icha. Icha berhenti dihadapannya. "Tumben lihat lo jogging." "Memang bukan mau jogging, cuma pengen selfie aja—" ucapan Mika tercekat, menyadari ada yang salah. Agaknya Icha juga merasa sama, keduanya saling memperhatikan satu sama lain dari ujug kepala hingga kaki. Jaket mereka sama. Wajah pura-pura ramah Icha seketika berubah jutek. Tanpa bicara apa-apa keduanya melepas jaket masing-masing, naasnya, tanktop yang mereka pakai warnanya juga sama meski model talinya berbeda. Mereka tidak mungkin melepas tanktop juga. Icha berdecak. "Kenapa sih lo suka niru-niru barang gue?" Mika hampir tersedak mendengarnya. "Maaf ya, kita bahkan nggak berteman di media sosial, jadi bagaimana bisa gue tahu barang-barang yang lo punya? Apa yang akan lo beli dan apa yang ada di lemari lo." "Alesan." Mika tertawa. "Lo pikir gue sudi apa samaan barang sama lo?" "Sudah dari dulu lo selalu ingin punya apa yang gue punya." "Itu karena gue ingin bisa punya banyak teman kayak lo dan yang lainnya," balas Mika. Bagaimana bisa Icha menyinggung kenangan itu tanpa beban, sedangkan bagi Mika hal tersebut sempat membuatnya takut di hari pertamanya di sekolah dasar, takut dirinya akan dikucilkan karena dianggap bodoh serta tidak punya mainan yang kebanyakan temannya punya. "Ngeles terus. Baju ini pernah gue upload ya di **, nggak perlu saling follow buat bisa lihat. Lagian, siapa yang tahu kalau ternyata lo diam-diam follow gue pakai akun palsu, secara followers gue puluhan ribu." "Hah? Apa gue kelihatan sekurang kerjaan itu?" Icha menghendikkan bahu tak acuh. "Kali aja kan." Mika menipiskan bibir geram. "Lo baru boleh sombong kalau followers lo sudah puluhan juta ya, Cha. Lo bukan satu-satunya yang jago makin piano, jangan terlalu bangga," desis Mika. "Emang lo bisa apa?" tantang Icha. Mika mengepalkan tangan kuat-kuat agar tetap diam di sisi tubuhnya. Tak dipungkuri, Icha punya banyak pengikut di sosial media. Dia terkenal karena sering membuat konten cover instrumental piano lagu-lagu yang sedang booming, setahu Mika dia juga mengoleksi piala-piala kontes di berbagai ajang dari berbagai negara. Semua orang memuji-muji Icha, termasuk Sikka. Sedangkan Mika? Mika mungkin tidak punya koleksi piala atau angka pengikut di sosial media untuk menunjukkan eksistensi dirinya, tetapi setidaknya Mika menyukai hidupnya saat ini. Mika memakai lagi jaketnya, menyumpalkan kembali headset di telinga, lalu melanjutkan joggingnya seolah Icha tak pernah menganggunya. Mikayla yang sekarang, bukan Mikayla si bocah yang sangat ingin menjadi teman Icha sampai-sampai menangis. Mikayla yang sekarang punya banyak teman dan dia tidak butuh teman seperti Icha. Bagaimanapun juga Mika dan Icha tidak akan pernah akur. Yang namanya musuh, ya selamanya musuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD