01 | Teman Baru, Teman Lama

2059 Words
Mika berlarian kecil menuju kelasnya, sesekali tersenyum menyapa teman yang dikenalnya. Secepat mungkin ingin segera tiba di kelas. Mika lupa hari ini ada tugas mata pelajaran matematika yang selain membingungkan, juga memuakkan. Mika tak mengerti kenapa orang - orang harus diajarkan matematika yang rumit dan kompleks. Banyak rumus yang harus diahafalkan, banyak teori yang harus dipahami. Padahal kan tidak semua dari yang sekolah akan jadi ilmuan, guru Mipa atau lain sebagainya yang membutuhkan otak kriting hasil belajar matematika. Harusnya mereka cukup diajarkan cara menghitung uang, karena itu yang pasti mereka butuhkan sepanjang hidup. Hmm... terkadang Mika sampai berpikir kalau sekolah itu bukan membuat murid pintar, tapi makin stress. Bayangkan, mereka dituntut menguasai belasan mata pelajaran yang tentu tidak semua mereka sukai. Bagus memang, bisa memperluas pengetahuan. Tapi kan tidak semaksimal jika mereka mempelajari bidang tertentu yang mereka suka. Kenapa tidak ada sekokah yang seperti kuliah saja, langsung pilih jurusan dan memilih sendiri mata pelajaran yang ingin dipelajari? Entahlah, memang tahu apa si 'bodoh' ini? Masuk ke kelas, hampir semua siawa sudah duduk rapi di bangku masing-masing. Kepanikan yang dibawa Mika, jelas memancing perhatian. "Kamu kenapa?" tanya Aninda, teman sebangku Mika yang katanya paling pintar di kelas. Mika bersyukur karena Aninda yang pintar di semua mata pelajaran tidak memilih duduk di bangku depan, dan lebih memilih duduk di bangku paling belakang dengannya. "Aku pinjam PR kamu dong, aku lupa belum buat," ujarnya memelas, sambil mengeluarkan buku tugas matematikanya. Aninda menghela napas. "Yakin, lupa?" Meskipun begitu, Aninda tetap mengeluarkan bukunya juga. Sebenarnya dibandingkan memberi contekan, Aninda lebih nyaman mengajari Mika. Tapi karena waktunya tidak memungkinkan, ya terpaksa memberi contekan saja daripada Mika kena masalah. Aninda menjadi salah satu orang yang tahu bahkan untuk mencapai tahap 'bodoh' ini, Mika telah berusaha sangat keras untuk mengatasi diskesianya. Mika pamer gigi yang baru disikatnya sehabis mandi. "Sebenarnya pura-pura lupa. Habis matematika sih, males banget." "Kalau pelajaran lain?" "Kayaknya sih sama, malas juga." Mika tertawa sendiri. "Udah ah, jangan ganggu aku." "Ya Ampun, Bundaaa ... banyak banget." Mika semakin panik mengetahui tulisan yang harus dicopy paste sebanyak dua halaman. Mika harus menulis angka demi angka dan tanda per tanda agar tidak salah. Salah satu titik, maka salah seterusnya. Mika sangat serius mengerjakan, gadis itu berharap waktu berhenti berputar selagi ia menyelesaikan tugas ini. Harapan konyolnya tentu saja tak terjadi. Menyuruh Mbah Sakti dari gunung Kawi untuk melakukannya pun percuma, tidak ada cukup waktu buat Mbah dukun merapal mantra. Bel tanda masuk berbunyi, Mika ingin menangis karena baru mengerjakan satu nomor. Masih ada 4 nomor lagi yang harus disalin. "Yahh... Gimana dong, Nin?" "Sudah, bilang saja kamu nggak mengerti sisa soalnya." Pak Bara bukan guru killer sih, tapi termasuk guru yang disiplinnya lebay. Tidak bisa dikompromi. PR sama dengan pekerjaan rumah, jadi harus dikerjakan di rumah. Pak Bara mengucapkan selamat pagi, serentak semua murid menjawab. Kecuali Mika, yang sibuk mengejar ketertinggalan. "Pak Bara kayaknya lupa ada PR," bisik Aninda. "Iya kah?" Sontak Mika mendongak dan melihat Pak Bara tengah membuka buku paket bahan ajarnya hari ini, padahal biasanya dia langsung menyuruh mengumpulkan tugas sebelum mulai pelajaran. "Bagus deh, semoga nggak ada yang iseng ngingetin—" "Pak, kita ada PR," celetuk seorang siswa yang duduk sebaris dengan bangku Mika. Mika melotot horor ke arah sana, pada siswa yang tengah menyeringai melirik Mika sambil menggigit-gigit ujung pulpen. Bibir Mika menipis menahan geram, Marco pasti sengaja melakukannya. Pak Bara tampak mengingat-ingat sebentar. "Oh iya, hampir saya lupa," ujarnya, membuat Mika menangis dalam hati. "Tumben kamu malah mengingatkan, Co. Punyamu sudah kamu kerjakan." "Sudah, dong, Pak. PR kan dikerjakan di rumah, bukan di sekolah." "Nyontek siapa?" "Wah, Pak Bara sepele banget. Saya ngerjain sendiri lah, Pak." Pak Bara mendengus tak percaya. Tentu saja siapa yang akan percaya kalimat itu jika yang mengucapkannya adalah seorang Marcio Akbar, murid dengan nilai terendah di kelas dan dalam pengawasan guru BK saking seringnya dia membuat masalah. "Ya sudah, Darren bantu kumpulkan tugas teman-temanmu sebelum kita mulai pelajaran." Mika semakin panik. Kumis hitam tebal dan rambut setengah botak Pak Bara menambah tekanan. Ketua kelas berdiri, mengambil satu per satu tugas teman-temannya. "Udah, Mik, kumpulin." Aninda menarik bukunya, dan menyerahkannya pada Darren sang ketua kelas. "Yah yah yah... Ini tanggung banget, Nin." "Cepat, mau dikumpul apa nggak?" Mau tak mau, Mika menyerahkan. Tapi... Mika menahan bukunya di udara. Mengerjakan satu nomor dengan tulisan berantakan, bukankah sama seperti bunuh diri? Pak Bara orang yang pintar, sudah berpengalaman belasan tahun mengajar, jadi pasti sudah terbiasa dengan segala tingkah muridnya. Dan, tapi lagi, kalau Mika mengaku tidak mengerjakan, sama saja Mika menyerahkan diri untuk mati. "Apa ada yang belum mengerjakan?" Suara Pak Bara bernada menyindir menggema, matanya mengarah tepat pada Mika dan Darren berada. Buru-buru Mika ingin menaruh bukunya di atas tumpukan tuku di tangan Darren, ketika Darren lebih dulu bersuara. "Mika belum membuat tugasnya, Pak." Mika mengeram. Oh sialan sekali punya ketua kelas yang amanah dan bijaksana. "Yang merasa tidak mengerjakan PR, pasti tahu kan apa yang harus dilakukan." Tentu saja mereka tahu. Yakni, tidak dapat nilai dan tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu jam mata pelajaran. Darren menatap Mika tanpa rasa bersalah. Mika melemparkan tatapan peluru yang meleset karena Darren melengos pergi. Mika menoleh pada Keisha. "Nin," rengeknya. "Keluar saja, daripada kena marah lagi." Akhirnya Mika pun beranjak pergi, setelah sebelumnya sempat mengambil ponsel sebagai teman bosan selama di luar nanti. * Mika duduk di bangku panjang yang tersebar di sepanjang lorong depan kelas. Memasang headset di kedua telinganya, menonton video trik drum terkini di Youtube agar suaranya jangan sampai menimbulkan kegaduhan. Sejujurnya, ini hukuman yang menyenangkan. Menjadi menyebalkan karena sudah dipastikan nilai akhir semesternya kalau tidak dibawah rata-rata ya rata-rata saja. Sedangkan Mika tidak bisa main-main dengan nilai sekolahnya karena sang Bunda sangat sensitif dalam hal itu, mengingat dirinya sudah kelas 12 dan Mika harus masuk ke universitas yang bagus. Jika nilai Mika jelek, hukuman paling mengerikan yang akan diterimanya adalah Bundanya akan mematahkan semua stick drum miliknya. Tiba-tiba seseorang berdiri di depannya ketika Mika sudah mulai terhanyut dalam kasyikannya. Mika mendongak menatap wajah sang pemilik tubuh tinggi menjulang. Tampan sekali. Mengingatkannya pada seseorang, tapi siapa ya? Ugh—seandainya Mika dianugerahi memori lebih kuat. Mika tersenyum, menunjukkan senyuman terbaiknya berharap cowok itu mendapat first impression baik tentangnya. Jodoh kan bisa datang kapan saja, siapa tahu jodohnya memang cowok ini. Astaga, Mika cekikikan menertawai pikiran konyolnya. Mika menegaskan ini bukan semacam love at firat sight, hanya sekadar kekaguman karena wajah tampannya saja. Pemuda itu tipe cowok idamannya. Tinggi, tegap, berkulit tidak lebih putih darinya, potongan rambutnya sederhana dan rapi, dan alisnya tebal dan hitam. Ah... pokoknya Mika yakin cowok ini hidupnya tidak neko-neko. Tidak ribet juga. Pemuda itu menunjuk telinga Mika, isyarat agar Mika melepaskan salah satu headsetnya. Mika melakukannya sambil buru-buru bangkit berdiri. "Iya?" "Ehm... bukannya ini jam pelajaran ya, kamu kok..." "Ah.. " Mika mengibaskan tangan santai. "Biasalah, namanya juga manusia, ditakdirkan buat lupa. Lalu jadi pikun buat masalah PR." Pemuda itu manggut-manggut mengerti. Tanpa sengaja matanya melirik badge name di d**a kiri Mika. Mikayla A. Dinta, tertulis disana. "Aku murid baru, tapi aku kesulitan mencari kelasku." "Tentu, ayo." Sambut Mika dengan senang hati. Pemuda itu melihat papan kecil bertuliskan 11-2 di atas pintu dibelakang Mika, sebelum kemudian berjalan mengikuti Mika. Bibirnya tersenyum samar, penuh misteri. "Kamu pindahan dari mana?" tanya Mika bukan berusaha bersikap akrab, memang banyak orang bilang ia memang mudah akrab dengan siapa saja. Mika tidak peduli kalau sikapnya dianggap tidak tahu malu, bersikap ramah sama semua orang kan dianjurkan oleh semua guru, termasuk guru TK nya dulu. "Surabaya." "Asli surabaya?" "Enggak, hanya tinggal disana sejak mulai masuk SD." "Dulu aku pernah punya teman yang pindah ke Surabaya. Eh, aku nggak tahu sih kami sebenarnya berteman apa enggak karena dia selalu bilang nggak mau temenan sama aku." Mika terdiam sejenak, mengingat-ingat gambaran Leo yang tak tahu apa masih hidup atau sudah mati di medan pertempuran ikan sura dan buaya itu. "Dia itu menyebalkan, galak, dan suka ngatain aku bodoh. Padahal dia juga bodoh. Masa ya, dia bilang naik kereta api dari Jakata ke Surabaya itu butuh waktu seharian. Padahal sebenarnya cuma belasan jam saja." Mika tertawa mengejek. "Mungkin karena saking bodohnya dia sampai tidak tahu kalau seharian itu 24 jam, bukan belasan jam." "Ya, dia sepertinya bodoh sekali." Mika menjentikkan jari setuju. "Bener, kan." "Masih ketemu sama dia?" tanya pemuda itu. Mika menggelengkan kepala. "Enggak pernah, habis lulus TK udah nggak pernah ketemu lagi jadi aku nggak tahu gimana kabar dia sekarang." Mika mengembuskan napas dalam, lalu mendesahkan sebuah harapan tulus. "Di mana pun dia berada sekarang, aku harap dia baik-baik aja. Aku khawatir dia nggak punya teman kalau masih suka menyendiri dan galak kayak dulu." "Kalau seandainya tiba-tiba kamu ketemu dia, kamu mau ngapain?" Mika menyipitkan mata, berpikir. "Karena dia sering ngatain aku bodoh, aku mau teriak keras-keras di depan wajahnya kalau dia itu bodoh. Lebih bodoh dari aku." "Oh ya?" "Lihat saja nanti." Mika mengangguk pasti. langkahnya berhenti sejenak si depan salah satu mading. "Mau lihat-lihat dulu?" Pemuda itu melihat seluruh isi mading yang kebanyakan berisi artikel - artikel copas dari internet, puisi, lalu sisanya kreasi kreatif. "Itu band sekolah ini?” tanya pemuda itu menunjuk poster di pojokan mading. Mika menengok, lalu mengiyakan. "Itu salah satu ekskul yang ada di sini, tapi peminatnya nggak begitu banyak. Kalau kamu bisa main alat musik atau nyanyi, gabung saja, bilang sama aku, nanti aku carikan posisi." "Kamu anggotanya juga?" Mika menaikturunkan alis bangga. "Aku drummer utama setelah Kak Alvin lulus tahun lalu." "Kamu drummer?" Terselip nada tak percaya disana. Mika memakluminya, ia bahkan senang setiap mendapat reaksi kaget seperti itu. Dilihat dari penampilan yang bersih dan feminim, terlebih Mika gemar memakai barang warna pink, banyak orang yang tak percaya hobby yang digemari Mika. Semua itu karena Bundanya yang selalu berbisik bahwa ia adalah perempuan, dan takut Mika akan jadi ke-punk-punk-an ala anak band pada umumnya. Jika tidak, mungkin Mika sudah ketularan menjadi laki-laki seperti kebanyakan temannya. "Di sini sekolahnya lumayan besar, lumayan lengkap juga fasilitasnya. Cuma sayang banyak aturan, ribet." Mika bercerita beralih topik, seolah sedang berperan sebagai school guide untuk murid baru yang berjalan disampingnya. "Aturan dibuat untuk membuat kita teratur, bukan malah ribet. Kalaupun kamu merasa ribet, mungkin karena kamunya yang nggak bisa diatur." "Memang." Mika membenarkan dengan anggukan. "Dibandingkan diatur, aku lebih suka mengatur." "Egois." Mika tertawa pelan meningkahi keterusterangan murid baru ini. "Aku cuma asal ngomong, kaku amat sih. Sekalipun aku nggak suka, aku bisa apa? Aturan di buat oleh penguasa, dan di sekolah ini aku bukan siapa-siapa. Jadi aku harus tetap patuh kalau nggak mau dapat masalah. Tapi sesekali boleh lah melanggar biar nggak bosan. Kita, kan, bukan semut yang jalan mesti mengikuti garis." "Murid yang pintar akan taat aturan, bukan karena mau diatur kayak semut. Apa kamu ini murid terbodoh di sekolah ini?" Mika terkejut mendengarnya. Untuk ukuran orang yang baru bertemu kurang dari 15 menit, blak-blakannya keterlaluan. "Aku akan jawab kalau kamu kasih tahu aku siapa nama kamu, alamat rumah kamu, dan semua akun media sosial kamu." Pemuda itu menautkan alis. "Buat apa?" "Buat blacklist nama kamu kalau sewaktu-waktu kamu jatuh cinta terus nembak aku, lalu aku bakar rumah kamu, dan hack semua akun kamu karena kamu berani-beraninya ngatain aku bodoh." Pemuda itu tertawa pelan, suara renyah tawanya seloah menguapkan kekesalan level menengah yang dialami Mika. "Kalau begitu kamu memang benar-benar bodoh." "Apa?" Mika melotot, kesalnya naik satu level. "Tadi aku bertanya apa kamu murid terbodoh atau tidak, bukannya nuduh kamu bodoh. Aku mana tahu ternyata kamu masih bodoh?" Pemuda itu geleng-geleng seolah tak habis pikir. "Apa yang kalian lakukan disini?" Suara seseorang menengahi. Mika menyimpan dulu marahnya, selagi masih ada Bu Cempaka, yang kebetulan adalah wali kelasnya. "Mikayla, kenapa kamu tidak di kelas?" Mika meringis kecil. "Saya sedang dihukum Pak Bara, Bu." Bu Cempaka hanya menghela napas, sama sekali tidak heran. Lalu beralih pada pemuda itu. "Kamu murid baru pindahan dari Surabaya itu, kan?” "Benar, Bu." "Kenapa tidak ke kelas?” "Saya tadi minta tolong dia mencarikan kelas saya, Bu." "Mikayla..." Mika mendongak penuh tanya, kenapa Bu Cempaka memanggilnya dengan nada seperti itu. "Kamu iseng sekali ngerjain teman baru. Kenapa nggak diajak langsung ke kelas kamu dan malah diajak muter-muter?" Kelas? Bodoh, Mika baru ingat ia belum menanyakan kelas pemuda itu. "Memang kelas kamu dimana?" "Dia ini Leonardo Lukman, teman baru kamu di kelas 11-2." Leonardo Lukman? Tunggu dulu, Murid baru pindahan dari Surabaya? Bodoh? Mika membulatkan mata. DIA ITU LEO.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD