Perjodohan

2414 Words
Sepasang pasangan kekasih tengah b******u, berguling-guling di kasur king size mereka, seperti tidak takut ranjang yang ditempati roboh atau mereka bakal terjatuh saking semangatnya berguling ke kanan dan ke kiri. Bibir mereka saling menghisap, menukar saliva dan memainkan lidah. Pria berperawakan tinggi sedikit berisi dengan d**a dadu dan perut six pack berhasil membuka pakaian atasnya, pemandangan indah tubuh pria itu jadi bisa dilihat sang gadis. Bibir sexy si pria kini menempel pada leher kekasihnya. Satu persatu kancing kemeja sang gadis dibuka hingga tersisa satu kancing lagi yang masih setia terpasang. Drrrrttt… Sial sekali video yang lagi ditonton Milia terjeda oleh panggilan yang masuk ke hapenya. Mana tinggal nonton adegan anu, sekarang malah diganggu. Milia jadi ingin marah pada si penelpon, eh orangnya adalah Yayuk, sahabatnya. Biarpun ponselnya sudah getar-getar macam penyanyi dangdut lagi goyang ngebor, Milia terlalu malas buat menggeser tombol hijau di layar. Kalau didiemin terus ntar lama-lama dia capek sendiri, kalau sudah capek dia pasti matiin telepon. Sudah beres, mudah bukan menolak ajakan orang buat ghibah? Dengan pikiran begitu, Milia berguling ke sana kemari diatas kasur sembari menunggu hapenya diam, baru melanjutkan nonton video yang tadi sudah tinggal ke adegan 18+ saja, lagi seru-serunya. Daripada lihat video kenangan jaman SMA yang masih bikin Milia patah hati kalau diingat, apalagi dilihat, jangan lupa diputar, dijilat lalu dicelupin. Eh itu sih oreo. Jadi lebih baik menonton film dewasa saja. Milia kembali berguling ke posisi tengkurap, menempelkan pipinya yang masih agak chubby ke atas bantal. Tidak terasa sudah beberapa bulan berlalu, dia jadi ingat sosok Zayn yang masih awet sama pacarnya. Duh, kapan mereka putus sih lama banget ya ampun!!! Saking sebalnya, Milia mulai berdoa jelek biar Zayn cepat putus. Biasanya orang tidak mau berdoa yang jelek-jelek biar tidak balik ke dirinya sendiri, Milia sih santai, lha wong dia tidak punya pacar. Drrtttt!!! Gawai yang baru sedetik diam, lagi-lagi bergetar. Milia mengulurkan tangannya untuk menjangkau benda yang tergeletak tidak jauh dari bantalnya, dan dia berdecak dengan sebal. Cocok banget lah si Yayuk kerja di pinjol illegal bagian tukang tagih, gigih banget neleponin orang! Ngeselin! Malas-malasan dia menggeser tombol hijau. “Miliaaaaa!!!!” Suara Yayuk terdengar menggelegar di telinganya. “Tidak sopan banget sih akar kecombang! Salam dulu kek, nanya kabar. Apa gimana kek, main teriak aja di kuping orang. Pengeng tau!” Kekesalan Milia tumpah ruah, jelas banget teriakannya udah kaya orang kesel dan punya dendam kesumat ke Yayuk. Teman dakjal itu malah tertawa ngakak tanpa merasa bersalah sudah bikin sakit kuping orang. “Miliaaaa, dateng ke reuni ngggak ntar malem?” Tiduran di kasurnya, Milia mendesah diam-diam. Ini nih pangkal masalah dia galau, sudah dua kali reunian, Milia masih saja jomblo. Pasti disindir-sindir deh ntar sama yang lain. “Ya ampun, Milia masih jomblo juga? Move on dong, lihat tuh Zayn bahagia banget sama ceweknya, kamu tidak mau bahagia gitu?” Atau tidak, begini waktu Milia dan teman-temannya pesan makanan. “Milia, kamu mah pesen ini aja.” “Jangan, Mil itu mah tidak enak. Ini aja nih, lebih mahal sih, tapi mantap!” Terus yang nyuruh dia pesan makanan tidak enak itu nyeletetuk begini, “Ah, jangan, Mil. Buang-buang duit aja, bentar lagi Zayn ama ceweknya dateng lho, dijamin jadi tidak enak tuh makanan gegara cemburu!” Belum lagi pacar Zayn yang suka manas-manasin, sok-sokan manja dan caper banget ke Zayn. Malasin banget kan digutuin! Nyelekit shay! “Eh, Mil dateng aja ya, tidak kepingin liat apa cowoknya Indri.” Milia kembali mengeluh, bahkan Indri cewek yang beratnya sekwintal yang julukannya gajah bengkak saja sekarang dia sudah punya pacar, tidak kebayang bagaimana manusia-manusia resek itu mengejeknya nanti. Hhhhhhh! Bayanginnya bikin malas pergi. “Gimana? Pergi ya, pergi ya?” Yayuk membujuk. Sembari memeluk boneka monyet seukuran tubuh anak kecil, dia menjawab, “Tidak tau ah, Yuk. Males pergi, mager pen tidur aja.” “Yaaah, kok males sih. Tahun ini banyak yang dateng lho, eh tau tidak Mil. Masaa si---“ Kalau sudah ‘eh, tahu tidak Mil,’ Itu adalah awal dari perghibahan dimulai, untunglah ibu teriak kencang dari luar. “Miliaaaaaaaa!!!!” “Iya, Buuuu!!!” Milia berteriak dengan mulut masih dekat speaker. “Buset. Nyaring banget sih, Mil!” protes Yayuk sampai telinganya berdengung kencang denger teriakan Milia kenceng banget. “Emak manggil nih, udah dulu ya!” Milia langsung bangun ingin pergi ke sumber suara. Yayuk belum menjawab, tetapi Milia sudah mematikan teleponnya secara sepihak. Gadis itu melempar bonekanya asal-asalan ke kasur, kemudian keluar tanpa menyisir rambut. Ibunya berdiri membelakanginya di dapur, sibuk dengan kompor yang kedua tungkunya menyala. ‘Tumben-tumbenan jam segini sudah masak, biasanya beli’. Pikir Milia. Penghuni rumahnya yang kasat mata cuma ada tiga orang, Milia, ibu sama Munaf, adiknya. Sang adik mondok di luar kota. Milia lebih banyak kegiatan di luar, habis Maghrib biasanya baru pulang. Makanya ibunya jarang masak, katanya sih mendingan beli matang daripada masak, sudah capek-capek, badan bau bawang, eh tidak ada yang makan. Mubazir! Biarpun jarang masak, bukan berarti ibunya tidak bisa masak. Rasa masakan ibunya juara. Percaya deh, dulu ibunya pernah buka rumah makan padang, dan ramai banget. Milia melangkah tanpa suara mendekati ibunya yang memakai daster batik merah yang warnanya sudah agak pudar, melihat jedai putih yang dipakai untuk menjepit rambutnya yang sudah dihiasi kembang jambu alias uban, Milia bergumam, ‘Panteslah jedainya dicari dimana-mana tidak ketemu, ada sama nyonya besar toh.’ Wanita itu tiba-tiba memutar tubuhnya, mulutnya sudah terbuat memanggil Milia lagi, dan segera ia ganti dengan ocehan demi melihat anaknya sudah ada di belakangnya. “Kebiasaan banget sih anak gadis bangunnya siang! Tuh liat si Romlah, anak Bu Edy, subuh udah bangun. Si Aisyah, anak Bu Julaikha, jam enam udah pada mandi, udah rapi.” Kebiasaan buibu adalah membandingkan anaknya dengan anak tetangga jika sedang marah. “Yee, mereka kan sekolah, Nyak. Bisa diguyur emaknya kalau pagi-pagi tidak bangun.” Untuk ibunya yang suka membandingkan dirinya sama anak tetangga, Milia memberikan argument cerdas. “Bisaan aja, ngelesnya.” Gerutu ibunya sebal. “Tumbenan Enyak masak banyak banget. ‘kan Munaf belum pulang?” Milia melihat isi kuali yang sedang diaduk oleh ibunya. Kuah santan yang mulai mengental dengan bumbu merah kehitaman nampak menggugah selera, dia tidak tahan untuk bumbu kalio, rendang yang masih belum kering, dengan tangannya. Akibatnya, ‘plak!’ punggung tangannya ditampar dengan semena-mena pakai sutil kayu. “Sakit, Nyaaaak. Ya oloh, cuma dicolek dikit aja pelit banget. Cabe-cabean aja dicolek seneng!” “Ya udah sana, colek cabe-cabean jangan masakan Enyak. Cepet basinya entar kalau kamu colek-colekin mulu! Bantuin petikin cabe ijo sana!” teriak ibunya Milia, padahal dia berbicara sangat dekat dengan audiennya, tapi masih seperti memakai toa. Milia memasang wajah cemberut saat mengambil baskom berisi cabe hijau yang masih belum diapa-apain. “Banyak amat cabenya, ntar tangan Milia panas lho.” “Kagak usah banyak protes bisa gak sih, Mil? Belajar masak dari sekarang, lagian masakan ini buat calon suami kamu ntar.” Mata Milia membulat selebar piring, “Calon suami siapa, Nyak?” Tangan ibunya yang mengaduk isi kuali berhenti, dia menatap Milia dan mengulangi setiap kata dengan intonasi yang sangat jelas. “Calon suami kamu. Awas kalau nanya lagi!” Tawa Milia langsung menyembur keluar, “Calon suami mana? Perasaan Milia masih jomblo deh, halu nih si Enyak!” “Karena kamu jomblo, makanya Enyak cariin. Dah pokoknya tunggu aja ntar malam, dijamin cakep!” Selera Enyak kan bukan main, pasti Milia suka. Abang-abang boyband juga kalah kalua sama abang yang mau Enyak kenalin. “Ini Enyak serius atau becanda sih?” Milia mulai was-was, dia baru tahu enyaknya sudah punya jodoh buatnya, gimana nasib Zayn kalau putus dong? “Serius lah, masa tidak. Ntar kamu jangan kemana-mana, calon suami kamu mau dateng.” sahut ibunya dibarengi tawa renyah yang di telinga Milia menakutkan. Dengan tiba-tiba dia berdiri, menaruh lagi baskom yang dia pegang ke atas meja, “Milia lupa deh, Nyak. Malam ini ada acara reuni.” Mendadak Milia ingat sebuah acara agar dia tidak bertemu dengan orang yang Enyaknya jodohkan, lebih baik dia ikut acara reuni saja. Si ibu yang lagi membuka kukusan dan menuang cairan berwarna hijau dan wangi pandan, bahkan todak mau mengangkat wajahnya saat berkata. “Alah, timbang reuni doang. Kagak usah dateng, palingan yang dateng tidak sampai sepuluh orang. Udah di rumah saja!” Kalau sudah bilang begini, susah menghindarnya. Tapi …. Bukan Milia jika mudah menurut. Namanya Milia, semakin dilarang, semakin dia ngeyel. Perasaan malas pergi yang tadi dia bilang ke Yayuk menghilang, berubah menjadi tidak sabar pergi ke sana. Mendingan ketemu Zayn sama pacarnya deh daripada ketemu jodoh pilihan ibunya yang tidak tahu siapa. Dengan pikiran begitu, jam sembilan malam dia memasuki Bar shecta, club tempat anak muda biasa kumpul. Di sana layanannya lengkap, ada tiga tempat hiburan dalam satu gedung. Biasanya sore sampai malam hari tamu akan mengunjungi cafe di club tersebut untuk makan, kemudian lebih malam lagi mereka akan berkunjung ke karaoke. Setelah lewat tengah malam, lanjut ke diskotik. Untuk reuni kelas, panitia menyewa satu ruang karaoke yang cukup luas di lantai empat. Dasar Milia, langsung naik ke sana dan masuk ke dalam ruangan yang nomornya sudah dikasih, dia malah mampir ke bar yang ramai di lantai tiga. Tema untuk bar malam ini back to school, mirip sama iklan sepatu jaman dia kecil dulu. untuk mengenang hari-hari sekolah yang telah lama berlalu buat pengunjung dewasa. Dekorasi bar diatur seperti ruang kelas, dek diganti dengan meja dan kursi, dan menunya penuh dengan hal-hal yang belum pernah dia cicipi sebelumnya, bathtub gin punch, duck moctail, flaming bikini, atau sloki jolly. Layar LED super lebar dengan jelas menunjukkan hitungan mundur dengan kata-kata hitam di latar belakang putih, ada 21 hari sebelum ujian masuk perguruan tinggi, pertanyaan pertanyaan soal matematika nlimet juga muncul di sana. Milia tertarik pada minuman lucu berwarna hijau muda, ada busa diatasnya dengan bebek karet yang mengapung dalam gelas saji. Tanpa bertanya-tanya lagi, dia duduk di kursi paling ujung dan memesan untuk dia unggah di media sosial. Sembari menunggu minuannya datang, Milia melihat pertanyaan itu selama lima menit, dan otaknya kram mendadak. Minuman yang dia pesan datang, pelayan yang menyajikan bilang, ini adalah rasa cinta pertama. Pas dia cicip, beuh rasanya asam. Sama seperti cinta pertamanya. Sambil menopang dagu, Milia menggeser layar ponsel, ada puluhan pesan dari Yayuk yang bertanya dia di mana? Setelah menjawab, “OTW!” Dia melihat status wa teman-temannya, dan rasa masam dalam minumannya semakin tajam melihat Zayn dan Siska pacarnya menunjukkan pertunjukan penuh kasih sayang. Hidup ini penuh dengan patah hati. Setelah meminum beberapa teguk minuman rasa cinta pertama, lidah Milia merasa lebih terbiasa, dan mulai merasakan manisnya aftertaste yang ternyata enak. Milia memutuskan memesannya dua gelas lagi. Setelah gelas ketiga sisa setengah, dia merasa sedikit pusing, sehingga ketika dia melihat seorang pria berjalan ke bar, dia mengira itu adalah halusinasinya sendiri. Setelan kotak-kotak abu-abu muda, sangat halus, wajahnya sangat menarik, mengenakan kacamata berbingkai tipis. Milia mengikuti pria itu, melangkah lebih kedalam bar, berhenti sejenak, dan setelah mencari sebentar, dia menemukan di mana pria itu duduk. Lampu bar menyala, bergantian antara terang dan gelap, wajah itu rahang yang tegas tapi tatapannya tampan dan lembut. Setiap kali terjadi kontak mata di antara mereka, itu jantung Milia kelojotan. Dia menatap tanpa berkedip, langkah kakinya mantap. Tak peduli musik yang bising, memukul gendang telinganya dengan keras. Sampai dia melewati meja, bau tembakau yang sangat ringan segera berlalu. Milia menyadari bahwa dia gugup dan tanpa sadar menyerap setengah gelas cinta pertama yang tersisa, begitu panas sehingga dia menyeringai, dan kemudian rasa manisnya perlahan meningkat. Dia seperti seorang penguntit kalau seperti ini. Milia melihat terus memantau sang pria yang duduk tidak jauh, dengan kaki panjang terlipat. Anggun, pria itu seperti sedang duduk di aula pertemuan, bukan bar yang bising. Teman-teman yang bersama pria itu tampangnya juga lumayan, tetapi si baju kotak-kotak yang paling cerah dan menawan. Milia terkekeh ke samping ketika dia melihatnya berbicara dengan akrab dengan kelompoknya. “Kenapa telat, Bro? untung belum ketinggalan yang seru.” Temannya yang pakai kemeja hitam yang bertanya. “Ada janji makan malam!” jawab pria yang sejak tadi diamati Milia. Namanya ternyata Deon. Begitu Deon duduk, Andreas mendorong segelas anggur, dan anggur coklat itu direndam dalam bola es dan meluncur melintasi meja. Deon mengangkat tangan untuk menangkap mereka, dan menyentuh gelas orang-orang di dekatnya dengan ujung gelas miliknya. “Dijodohin lagi?” Deon minum sebelum menjawab. “Bisa dibilang begitu.” “Siapa? Teman om atau nenekmu yang mana lagi?” Pria itu menjawab dengan sikapnya yang tidak peduli, “Bukan, tapi anak seseorang yang paling berjasa di hidup gue.” “Wow!” Teman-teman Deon bersorak. Milia mengernyitkan alis, ternyata cowok sekharismatik itu juga dijodohkan, sama dengan dirinya. Seandainya saja pria di hadapan Milia yang dijodohkan dengannya, dia tidak akan menolak. Rugilah kalau menolak, ganteng banget, lebih ganteng dari Zayn. Seandainya dia bisa kenalan dan membawanya ke acara reuni, biar pada mingkem tuh yang suka ngatain dia. Seseorang tertawa, “Wah sepertinya spesial pake telor nih? Umur berapa calon bini lo?” “Entahlah, kayaknya masih kuliah.” “Awokwok, pantes Deon mau-mau aja dijodohin. Anak kuliah, masih kinyis-kinyis. Tahu nggak lo siapa namanya? Biar gue cari akun IG-nya.” Deon tidak langsung menjawab, dan hanya mengulurkan ponselnya. “Nih, nama akunnya Milia_99, tadi anaknya kabur dari perjodohan, jadi ibunya kasih akun IG nih cewek biar gue bisa tahu seperti apa wujud anak gadisnya.” Milia tercengang setelah mendengarnya. Yang diucapkan itu kan username ** pribadi milik Milia. Orang itu dijodohin sama si ganteng adalah dirinya, mimpi bukan sih? Dia mencuri dengar lagi. “Cantik sih, tapi kayaknya bukan tipe Deon deh.” Riko berkomentar. “Mungil gitu, d**a minimalis, tinggi minimum. Kalau lahiran pinggang sempit tuh.” Milia geram sendiri mendengar body shaming terhadap dirinya, tapi ditahan dengan cara menggigiti ujung lengan baju. “Ya lo jangan bandingin orang biasa sama model dong. Mantan Deon sebelumnya kan model, wajar kalau tinggi menjulang. Nih cewek udah pas kok sama Deon mereka mirip pula, sama-sama punya hidung tinggi dan mata buat.” Nyeri di d**a Milia teredam oleh sanggahan Andrea. Meski begitu Millia masih merasa semua kebetulan ini tidak nyata sampai dia membaca pesan dari ibunya. Enyak: ‘Waduh, Mil, kayaknya gagal nih perjodohan, kamu kenapa kabur segala sih. Enyak jadi nggak enak sama Deon.’ ‘De-deon? Jadi bener calon suamiku itu Deon? Beneran cowok ganteng di depanku itu yang akan dinikahin sama aku?’ “Deon, lo jangan minum sedikit dong. Tambah lagi nih segelas.” Si baju kotak-kotak yang menjawab, “Tidak, bro. besok gue mesti ngajar.” ‘Ngajar? Emang dia guru?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD