3.KUNJUNGAN RUTIN.

1716 Words
BARRA POV. "Jangan gunakan tanganmu untuk seminggu ke depan," ucap Bimo pelan, kemudian beralih mencorat-coret kertas resep, menuliskan obat-obatan yang sepertinya harus aku minum. "Cuma terkilir, Bim, bukan patah, jangan lebay," balasku padanya sembari memutar bola mataku beberapa kali, melihat kelakuan Bimo sejak aku mendatanginya tadi pagi. "Kamu itu pasien, jadi jangan ngomel!" balas Bimo sengit, sembari menyodorkan secarik kertas padaku. "Besok aku ada operasi, Bim, kamu nggak ada cara lain?" tanyaku padanya, agar mendapat lampu hijau, untuk kembali bekerja. "Ada, mau aku patahkan sekalian, atau, gimana?" tanyanya dengan senyuman lebar. Aku yang melihatnya memilih menyerah di banding berdebat dengan Bimo, aku lebih sayang nyawaku, daripada egoku. Karena kejadian tadi malam, di sinilah aku sekarang, di ruangan Bimo, teman sejawatku, seorang dokter ortopedi yang terkenal paling garang di rumah sakit ini. Tubuhnya besar, dengan tinggi menjulang, bicaranya irit jika tidak ada perlunya, sangat berbeda saat Bimo sedang bersama istrinya. Bimo akan menjadi sangat cerewet, dan terus mengomel pada kelakukan Mola yang terkadang begitu ekstrim. Dalam pandangan mataku, jika harus kuandaikan, Bimo seperti kura-kura Galapagos yang berbadan besar dan bergerak pelan, sedangkan Mola menyerupai Protozoa bersel tunggal, yang bisa bergerak sangat cepat. "Benar-benar kombinasi yang aneh," ucapku dalam hati. "Jangan lupa, kau minum obatmu, Bar," ucapnya lagi. "Aku tau, Bim, jangan mengomel lagi, capek aku dengar ocehanmu!" seruku dengan perasaan jengkel, karena omelannya yang seperti tidak ada habisnya. "Aku hanya mengingatkanmu, kau itu kenapa, kau ada masalah?" tanya Bimo kembali melirikku. "Nggak ada," jawabku cepat memutus kontak mata dengannya. "Perlu aku panggilkan Rasyid?" tanyanya lagi, membuat bola mataku membulat karena pertanyaannya. Sebelum aku sempat menjawab, pintu ruangan Bimo terbuka, dan munculah Arman dari balik pintu, membawa sebuah kantong keresek sebuah brand minimarket langganannya, yang kutahu pasti berisi makanan. "Oi," sapa Arman padaku dan Bimo, kemudian menutup pintu ruangan dengan pelan. "Ada apa, Man?" tanyaku, sementara Bimo hanya menoleh sebentar dan mulai sibuk dengan laptopnya. "Aku dengar kau kecelakaan?" tanya Arman berjalan mendekat, duduk di kursi yang ada di sebelahku, kemudian mengeluarkan semua isi kantong belanjanya. "Hanya terkilir, nggak parah," jelasku padanya, mengambil sebotol air mineral, yang dia sodorkan padaku. "Barra harus istirahat selama seminggu, jangan biarkan dia menangani operasi apapun," ucap Bimo, membuatku ingin sekali mengikat mulutnya dengan suture. "Separah itu 'kah?" tanya Arman pada Bimo, memberikan sebotol air mineral pada Bimo. Mulailah rapat pembahasan tentang tanganku yang terkilir, Bimo yang selalu membesar-besarkan masalah, di tambah Arman yang juga suka mendramatisir keadaan, membuatku yang menjadi topik pembicaraan hanya bisa banyak-banyak menghela nafas. Kami bertiga adalah teman seangkatan, walau mengambil spesialisasi yang berbeda, aku lebih memilih menjadi dokter bedah umum pada awalnya, sebelum mengambil subspesialis disgetif. Bimo mengambil bedah ortopedi, sementara Arman memilih menjadi dokter urologi. Tapi pada akhirnya, kami bertiga kembali di pertemukan saat kami sama-sama bekerja di rumah sakit ini. Aku beranjak dari kursi yang aku duduki dan memilih untuk pergi, tak lupa memakai jaket yang kubawa untuk menyembunyikan Arm Sling yang kupakai, sebenarnya aku sudah menolak untuk memakainya, tapi Bimo memaksaku dan aku tak kuasa menolak, karena sejujurnya aku takut dengannya. Hari sudah beranjak siang waktunya aku melakukan visit pasien, untuk melihat kondisi mereka pasca operasi kemarin hari, aku juga harus membuat laporan pada direktur medis mengenai cedera yang kualami, agar tugasku di OK ada yang menggantikan, meski aku sejujurnya tidak ikhlas. "Aku pergi dulu," pamitku pada mereka berdua, melangkah menuju pintu. "Kau mau kemana?" tanya Arman membuatku kembali menoleh padanya, karena dia memandangku dengan mata yang menyipit curiga dan mulut terus mengunyah. "Aku mau ke ruangan direktur medis, kau mau ikut?" tanyaku menawari. "Oh, aku pikir mau ke ruang VVIP," ucap Arman, membuatku seketika kembali berbalik pada Arman. "Apa maksudmu, Man?" tanyaku mulai merasa tidak nyaman. "Kemarin ada pasien yang baru pindah ke sana, aku mendengar kau yang meminta," jawab Arman ringan kembali sibuk dengan makanan di depannya. "Man," ucapku mengingatkan Arman, karena ucapannya benar-benar menyinggungku. Aku tau mereka kadang keterlaluan dalam bercanda, tapi harusnya mereka ingat, untuk tidak mencampuri urusan pribadiku terlalu jauh. Arman masih memandangku, menumpu dagunya dengan telapak tangan, sementara, Bimo hanya melirikku, tautan jarinya menutup sebagian wajah Bimo, dan hanya mata tajamnya yang terus mengawasiku. "Hentikan, Bar," ucap Arman pelan. "Jangan campuri urusanku!" bentakku pada Arman, sementara Bimo yang sejak tadi hanya memandangku, mulai ikut bicara setelah menghela nafas. "Lakukan keinginanmu, tapi ingat, Bar, kau sendiri yang akan merasa sakit, karena kau menggali luka lamamu yang belum benar-benar sembuh," ucap Bimo. Aku memilih keluar dari ruangannya dengan hati dongkol, kugenggam handle pintu itu dengan erat, kusalurkan emosiku kemudian menutup pintu dengan bantingan keras. Semua pasien yang tengah menunggu check-up di depan ruangan Bimo, memandangku dengan ekspresi terkejut, karena kelakuanku pasti mengejutkan mereka semua. Aku bergegas pergi dari sana, banyak sekali pegawai rumah sakit yang menyapaku dan ada juga yang bertanya mengenai Arm Slim yang kupakai, namun, alih-alih menjawab aku memilih untuk menghindar dan segera pergi. Bergegas menuju gedung administrasi tempat direktur medis berada, agar aku bisa segera mengunjungi wanita yang beberapa hari ini membuat kepalaku pusing. "Bu Ferin ada?" tanyaku, pada resepsionis yang berjaga di bagian gedung medis. "Dokter Barra, mohon tunggu sebentar akan segera saya hubungi Beliau," jawabnya dengan senyum mengembang dan rona pipi yang merekah, meraih gagang telfon memulai panggilan. "Baiklah," "Em, Dokter," panggilnya padaku. "Iya?" "Saya dengar dokter habis kena musibah yah?" tanyanya. "Hanya terkilir saja, tidak parah," jawabku singkat. "Em...," gumamnya seperti hendak bicara dengan gagang telepon masih menempel di telinganya. "Sudah tersambung?" tanyaku lagi, mulai tidak sabar. "Oh, itu, Dok...," jawabnya terbata, membuatku semakin malas, jika harus berlama-lama di dekatnya. "Dokter Barra, ada apa mencari saya?" Tiba-tiba Bu Ferin muncul dari arah belakangku. "Saya ingin melapor, Bu," ucapku padanya karena lega tak lagi harus menunggu lama. Pembicaraan kami berlangsung singkat, dan Bu Ferin memberikan persetujuan mengenai tugasku di ruang OK yang akan digantikan oleh Suryo selama 3 hari ke depan. Setelah bincang-bincang singkat dengan Bu Ferin, beliau menjelaskan semua tugas visit akan digantikan oleh Herman mulai besok pagi, berdasar laporan si comel Bimo. Aku pun memilih pamit, dengan langkah lebar aku bergegas menuju ruang rawat inap VVIP. "Lho, Dokter Barra, kenapa?" tanya kepala perawat yang bernama bu Eka, dia mendekat padaku tergopoh-gopoh membawa baki berisi cairan infus dan beberapa perlengkapan lain. "Hanya keseleo, Bu," jawabku pelan. "Kok bisa sih, Dok?" tanyanya lagi sembari mengusap lenganku dengan pelan tak lupa muka genit yang membuatku hanya bisa menelan ludah sembari mengambil jarak darinya. "Karena ngantuk, saya jadi kehilangan kendali, Bu," jawabku, 'Ya bisalah, namanya juga kecelakaan' ucapku dalam hati. Memang yah, emak-emak di manapun dan di zaman apapun, sudah tau jawabannya pasti tetap bertanya, dan juga mana ada orang yang dengan sengaja kecelakaan. "Lho kok Anda yang datang?" tanya Nova mendekat padaku. "Herman sedang tindakan, Va, kenapa kamu sudah kangen?" tanyaku menggoda Nova, karena dari beberapa perawat kudengar Nova tengah dekat dengan Herman. "Bukan begitu, Dok," jawabnya kemudian menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sempat merona. "Semua sudah siap untuk visit 'kan?" "Sudah, Dok," ucap Nova mendekatiku, sembari membawa beberapa rekam medis pasien di tangannya, karena dia yang akan menemaniku melakukan visit pasien hari ini, menyelamatkanku dari gangguan bu Eka lebih lama lagi. "Kalau begitu, saya visit dulu, Bu Eka," pamitku pada kepala perawat itu, kemudian melangkah menjauh. "Iya, Dokter Barra, silakan," jawabnya terus tersenyum padaku. Pasien pertama yang aku kunjungi, adalah seorang anak muda yang baru saja menjalani Kolesistektomi, setelah mengecek bekas lukanya yang telah diganti perban penutupnya, aku melihat rona wajahnya sudah kelihatan cerah, dan kuputuskan memberinya izin untuk pulang, dan melakukan rawat jalan. Karena hasil lab darahnya pagi ini juga sudah bagus, dan pulang ke rumah adalah hal yang baik untuk penyembuhannya, aku tidak mau pasienku stress, karena harus tinggal terlalu lama di rumah sakit. Pasien keduaku, seorang lelaki berumur 54 Tahun, menderita Diabetes tidak terkontrol, yang membuatnya harus di Opname lebih lama untuk membuat gula darahnya stabil, sebelum tindakan dilakukan. Operasi yang dia jalani, adalah operasi kolaborasi, setelah dilakukan pengerukan prostat oleh Arman, baru aku dan rekanku melakukan tindakan pengangkatan usus besarnya, yang sudah tidak bisa lagi di selamatkan, akibat penyakit Cronh's atau Cronh's disease yang sudah lama dia derita. "Bagaimana kabarnya hari ini, Pak?" tanyaku, setelah membaca lab darahnya hari ini. "Baik, Dok," jawabnya pelan. "Maaf, Dokter, boleh saya bertanya?" tanya sang anak yang berada di depanku. "Iya, ada apa?" "Apakah Ayah saya harus menggunakan kantong ini selamanya?" tanyanya menunjuk kantong kolostomi yang ada di perut kanan ayahnya. "Iya, Mas, usus besarnya sudah diangkat seluruhnya, jadi memang harus menggunakan kolostomi Bag seumur hidup, sebagai wadah pembuangan sisa-sisa pencernaan," jawabku, dan kulihat mimik mukanya berubah semakin mendung, sementara pak Burhan hanya tersenyum kecil, sembari menggenggam tangan sang anak. "Kalau selang ini, Dokter?" tanyanya lagi menunjuk selang yang terdapat di hidung ayahnya. "Ayah Anda masih harus menggunakannya, Mas, NGT ini sebagai jalan masuk makanan dan minuman untuk ayah Anda," jelasku padanya. Aku tau dilema besar apa yang ada di hatinya, melihat orang tuanya terbaring lemah di rumah sakit, ditambah dengan adanya kolostomi Bag, juga NGT yang terpasang di hidung sang ayah. Tapi apa yang bisa kita lakukan, kita hanya manusia, sakit selalu datang tanpa perlu undangan. Aku sebagai dokter hanya bisa membantu sesuai kemampuanku, dan aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang sangat maksimal. Tapi semuanya kembali lagi pada kehendak Tuhan, hidup mati seseorang ada di tangannya, kami sebagai dokter hanyalah perantara, bisa berhasil, bisa juga gagal. "Kalau begitu saya permisi," pamitku, karena aku masih harus mengunjungi satu pasien terakhir. "Terima kasih, Dokter" balasnya, dan aku melenggang pergi setelah berpamitan meninggalkan ruangan mereka. "Tinggal satu lagi, Dok," ucap Nova. "Berikan rekam medisnya, aku akan visit sendirian," ucapku, saat kamu telah tiba di depan pintu ruang rawat inap pasien terakhirku. Kuhentikan langkah kakiku, menadahkan tangan kananku pada Nova, bisa kulihat rasa penasaran di wajah Nova padaku, namun, dia tetap memberikan map itu tanpa bertanya lagi, meninggalkanku sendirian di depan pintu ruangan pasien terakhirku hari ini. Aku mengetuk pintu itu beberapa kali, tak ada jawaban dari dalam, dan kuputuskan untuk masuk saja melihat apa yang dilakukan orang yang ada di dalam sana, sampai tidak berkenan menjawab salam. Kubuka pintu dengan pelan, pandanganku lurus ke arah ranjang yang tertutup tirai, aku berjalan mendekat ke arah ranjang kemudian menariknya sampai terbuka, mataku menyipit memandang ranjang kosong tanpa penghuni. NB: Suture: Benang bedah atau benang operasi. Kolesistektomi: Pengangkatan kantung empedu melalui proses bedah. NGT: Selang nasogastrik. Kolostomi Bag: Kantong yang digunakan untuk menampung feses pada pasien setelah menjalani operasi pengangkatan usus besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD