2.START.

1633 Words
BARRA POV. "Dokter Barra, tunggu!" seru Anggi berteriak padaku, berlari mendekat dengan terburu-buru, sampai membuatnya melompati pagar tanaman yang ada di sekitar tempat parkir. "Ada apa, Nggi?" tanyaku dengan seringaian yang kutahan melihat Anggi yang melompat seperti atlet profesional. "Pasien tadi kolaps, Dokter!" serunya dengan nafas terputus-putus, kemudian berjongkok di depanku mengejar nafasnya. "Pasien yang mana, maksud kamu?" tanyaku tidak paham, karena pagi ini ada 6 pasien yang aku tangani, lagi pula kenapa tidak menghubungiku lewat telefon saja, lebih praktis kan. "Nona Ratna, Dokter, sedang di bawa ke OK untuk segera dilakukan tindakan!" seru Anggi dengan nafas masih memburu. Aku yang hendak masuk ke dalam mobil, memilih menutup pintu mobil, mengucek mataku yang telah lelah, sembari menghela nafas beberapa kali kemudian menguap, ada getaran asing di dadaku yang tidak kutau apa artinya. "Lalu kenapa mencariku, jam kerjaku sudah habis, seharusnya kau memanggil dokter bedah bagian Cyto di UGD, bukan aku," jawabku pada anggi, karena aku yakin dia hanya pingsan karena rasa sakit yang tidak bisa lagi dia tahan. "Dokter Herman baru bisa datang 1 jam lagi, Beliau sedang menangani operasi Cyto di rumah sakit lain, dan dokter Suryo juga sedang menangani operasi kolostomi di ruang lain," jawab Anggi dengan muka cemas. "Itu urusan kalian, bukan masalahku," jawabku pelan, sembari menguap lebar karena rasa kantuk yang kurasakan semakin kuat. "Tapi, Dokter...," "Panggilkan residen, mereka lebih dari mampu kalau hanya untuk operasi seperti ini, Nggi," ucapku, karena gangguan kesehatan yang dia derita, hanya usus buntu, dan dari lab darah yang k****a, tidak ada tanda-tanda ancaman yang serius. Sampai tak berapa lama ponselku ikut berdering, memaksaku membuka ransel yang kubawa, mengambil ponselku yang menyala, terlihat nomer dokter Bowo yang menghubungiku. "Iya, Dokter, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku, setelah menekan tombol hijau di layar ponselku. Mataku seketika membulat setelah mendengar ucapan dokter Bowo, tak menunggu lama, aku segera berlari, mencari jalan tercepat menuju ruang IBS yang ada di lantai 3. Anggi pun ikut berlari di belakangku dengan cepat, setelah mendengar kata "PERFORASI" dari mulut dokter Bowo, membuatku tak lagi bisa berfikir jernih. Dan tak butuh waktu lama, aku telah sampai di lantai IBS dengan nafas terputus-putus, begitupun dengan Anggi yang kemudian juga masuk ke ruangan lain. Aku masuk ke ruangan ganti dan menaruh tas ku asal, membuka pakaianku dan berganti dengan scrub. "Dokter Barra," panggil Ikhsan mendekatiku sembari berlari kecil. "Sudah kamu siapkan semua peralatannya?" tanyaku dan segera mencuci tanganku dengan cepat, menyikat seluruh bagian tangan sampai siku. "Sudah, Dokter, dokter anestesi dan asisten nya juga sudah datang, kami hanya menunggu Anda, untuk segera melakukan tindakan!" ucapnya dengan mimik muka tegang, karena operasi Cyto, adalah operasi tanpa persiapan matang. "Ayo!" perintahku padanya. "Baik, Dok," "Status pasien?" tanyaku padanya. "Ini hasil Lab darah terbarunya, Dok, EKG juga sudah di lakukan, pasien sudah di lakukan anestesi oleh dokter Mira, hasil USG abdomen terdapat cairan bebas, diagnosa dokter radiologi, suspect PERFORASI APPENDIKS dengan kemungkinan peritonitis," jelasnya padaku, dengan cepat aku memakai seragam operasi, dan mendekat pada pasien yang telah terbius di atas meja operasi, tak mau membuang waktu aku segera melakukan tugasku setelah berdoa bersama selesai. *** Butuh waktu sekitar 1 jam 5 menit untuk kami menyelesaikan semua tindakan, tidak ada kendala berat untuk operasi hari ini, karena segera dilakukan, hanya membutuhkan beberapa kali cuci perut, untuk membersihkan sisa pus yang telah menyebar ke semua area abdomen, berbeda kasus jika dibiarkan terlalu lama, bisa di pastikan keselamatan pasien yang jadi taruhannya. Banyak sekali kasus kematian, karena kurangnya pemahaman masyarakat di zaman ini, pernah sekali aku menangani pasien yang datang untuk melakukan operasi terencana. Tapi, entah apa saja yang diberikan oleh keluarga pada pasien sebelum operasi di lakukan, dalam waktu semalam kesehatannya menurut drastis, sampai akhirnya meninggal sebelum sempat di lakukan tindakan. Saat kami melakukan investigasi, baru terjawab, ternyata malam sebelum operasi, di saat pasien harusnya berpuasa, dia justru diberi makan banyak dengan alasan agar kuat saat operasi, yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya, padahal pasien adalah penderita diabetes yang akan melangsungkan operasi pengangkatan kantong empedu. Membuatku tak percaya dengan penjelasan mereka, puasa memang bertujuan untuk membiarkan semua organ pencernaan kosong, di bantu laksatif dan cairan enema untuk hasil maksimal. "Dokter Barra, pasien sudah dipindahkan ke ruang pemulihan, setelah nanti sadar dan tidak ada komplikasi, baru akan di pindahkan ke ruang rawat," lapor Ikhsan padaku, membuatku hanya mengangguk menanggapinya sebagai jawaban dan kembali menguap sangat lebar. "Sudah 'kan?" tanyaku. "Apanya, Dok?" ucapnya balik bertanya. "Aku bisa pulang sekarang?" "Iya Dokter, silahkan," jawab Ikhsan cepat. "Oh ya, saya ingin meminta tolong padamu," "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ikhsan lebih mendekat. "Pasien barusan, pindahkan ke ruangan VVIP, katakan kalau itu permintaanku dan untuk semua biayanya, aku yang akan menanggung," "Nona Ratna?" tanya Ikhsan, dan kujawab dengan senyuman. "Terima kasih, aku pulang dulu," ucapku dan melenggang pergi. Setelah berganti pakaian dan menyelesaikan semua berkas tindakan pasien, aku kembali berjalan menuju tempat parkir. Kunyalakan mesin mobil, dan mulai menjalankannya, karena tubuhku sangat lelah, bukan hanya tubuhku sebenarnya, tapi juga perasaanku. Aku menarik nafas berulang kali mengingat kejadian di ruang Ok tadi, Karena, aku sempat ingin membunuhnya dengan kedua tanganku ini. FLASHBACK. "Dokter," ucap Ikhsan mencengkeram tanganku erat. "Ada apa, San?" Aku meliriknya tajam, membuatnya melepas pergelangan tanganku yang masih memegang alat laparoskopi. "Drainase sudah di lakukan, Dok!" ucap Ikhsan melaporkan tindakan. Aku kembali tersadar, dan pandangan semua orang di sana tertuju padaku. Di dalam ruangan ini ada 7 orang, aku, Anggi, Ikhsan, dokter Mira Sp.anestesi beserta asistennya dan juga satu orang residen beserta pasien. "Kemarilah!" panggilku pada dokter residen yang berdiri di seberang meja operasi. "Iya, Dokter," jawabnya mendekat. "Tutup lukanya!" perintahku dan dengan cepat dia mengambil alih tugasku dan mulai berkerja. Aku memilih mengawasinya dari jarak aman, dan melipat kedua tanganku kebagian d**a. Tubuh yang baru saja aku bedah adalah tubuh perempuan yang sangat aku benci, sedalam aku mencintainya dulu, sedalam itu pula rasa benciku padanya sekarang, membuatku sempat berniat menekan alat laparoskopi yang ada di genggamanku. "Dokter, bisa kita bicara?" tanya Anggi mendekatiku, sembari berbisik. "Bicara apa?" tanyaku. "Tidak di sini, Dokter," ucapnya dengan mimik muka serius. "Tunggu selesai operasinya, Nggi," Aku menghela nafas setelah Anggi berjalan menjauh dan kembali mengawasi dokter residen di depanku, dan saat operasi selesai, aku segera mengikuti Anggi yang menyeretku ke ruang transit pasien. "Ada apa, Nggi?" tanyaku, sembari memilih duduk dan merenggangkan otot tubuhku. "Apa yang tadi mau Dokter lakukan?" tanya Anggi bersedekap. "Memang apa yang kulakukan?" "Saya ini sudah jadi asisten Anda selama 2 tahun, jadi saya tau, apa yang akan Anda lakukan tadi, saya mohon jangan melakukan perbuatan jahat, Dokter Barra!" seru Anggi menggebu-gebu. Aku tidak menjawab ucapannya lagi, karena tuduhannya benar, jika saja Ikhsan tidak menghentikanku, bisa di pastikan dia sudah mati. "Jangan membenci seseorang terlalu dalam, Dokter Barra, semua itu hanya akan menyakiti diri Anda sendiri," ucap Anggi. "Dia wanita yang sangat kucintai, kuberikan semua yang kumiliki untuknya, kau tidak pernah tau rasanya dikhianati, dan aku harap kau tidak merasakannya, Nggi," jawabku. "Saya bicara, karena saya pernah merasakannya, Dokter, hanya saja, saya mohon pada Anda, lupakanlah semua kebencian yang ada di hati Anda, percayalah akan ada orang yang bisa menyembuhkan luka hati itu suatu saat nanti," ucap Anggi melembut. Andai ucapan Anggi adalah kebenaran, lalu kenapa selama 6 tahun lamanya, aku masih belum sembuh. "Hari ini kamu pulang jam berapa?" tanyaku pada Anggi. "Saya?" ucap Anggi balik bertanya. "Iya, kamu, siapa lagi," jawabku tersenyum padanya. "Setelah ini saya pulang, Dokter, memangnya ada operasi lagi?" tanyanya dengan bola mata memandang ke atas, dan alis menyatu. "Kamu mau nggak makan malam dengan saya hari ini, saya ngajak kamu kencan, Nggi," Anggi melirikku tak percaya, dan berganti menggelengkan kepala. "Ikhsan...Ikhsan...!" teriak Anggi berulang kali, berdiri dari kursinya, menuju pintu yang terbuka lebar. "Ada apa sih, berisik kamu itu, ini ruang operasi, Nggi," jawab Ikhsan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu membawa beberapa berkas, dengan nafas turun naik, sepertinya dia segera berlari saat mendengar teriakan Anggi. "Tolong hubungi dokter Rasyid, katakan padanya, ada pasien baru yang butuh bimbingan psikiater sekarang juga!" seru Anggi dengan nada tinggi. "Siapa, Nggi?" tanya Ikhsan. "Dokter Barra yang butuh, aku mau bersiap pulang, aku tunggu kamu di tempat parkir, kalau sudah selesai pekerjaan kamu, langsung ke parkiran!" perintah Anggi pada Ikhsan yang melongo. "Astaga, Anggi, kamu kenapa sih marah marah?" tanya ikhsan tidak paham, sementara Anggi bergegas pergi meninggalkan kami berdua. "Dokter, bilang apa sama istri saya?" tanya Ikhsan memandangku curiga. "Aku hanya menggodanya sedikit, San," jawabku terkekeh kecil. "Jangan begitu, Dokter Barra, saya capek dengar omelannya setiap hari, anak kami jadi menirunya, suka mengomel tidak jelas," keluhnya. "Kamu harusnya senang, kalau dia masih bisa mengomel, perempuan kalau sudah diam artinya dia sudah lelah, sudah menyerah sama kamu," "Kepala saya sudah pusing, setiap hari Anggi selalu mengomel tentang kelakuan ajaib Anda pada saya, nanti malam entah berapa episode yang akan dia bacakan untuk saya," ucap Ikhsan melemas. "Nanti saya belikan kamu helm yang kemarin kamu inginkan, bagaimana?" tanyaku pada Ikhsan sebagai hadiah, untuk menghiburnya. "Kalau begitu, saya akan segera menyelesaikan perpindahan pasien tadi, Dok, tenang saja saya sudah biasa dengan omelan Anggi," ucapnya dengan cepat dan binar bahagia. "Deal yah?" tanyaku. "Siap, Dokter Barra!" jawabnya hormat padaku, membuatku tertawa dengan sifat lucu Ikhsan. *** Aku melajukan mobil dengan pelan, mengganggu Anggi dan Ikhsan, memberiku kesenangan tersendiri. Ruang OK, sudah seperti rumah keduaku, bahkan lebih nyaman di bandingkan rumah orang tuaku. Berbicara mengenai orang tua, membuatku kembali mengingat pesan papa yang baru saja dia kirim. Hari pertunangan mu sudah papa putuskan, jangan terlambat saat datang. tulis papa di pesan itu. Satu masalah belum terselesaikan, sekarang bertambah satu masalah yang akan datang, tanpa sadar fokusku terbagi dan tiba-tiba hantaman itu terjadi tanpa bisa kuhindari, hal terakhir yang kurasakan adalah berputar dan suara teriakanku. "Argh...!!" NB: IBS: Instalasi Bedah Sentral. PERFORASI appendiks: Pecahnya appendiks yang sudah gangren, menyebabkan pus(nanah) masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. CYTO: Operasi darurat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD