Ritual

1488 Words
Brian menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah penginapan yang nampak sepi. Gedungnya terlihat seperti bangunan tua, pun penerangan di halaman depannya hanya bermodalkan dua lampu yang memancarkan warna oranye, sedang langit pun saat ini sudah mulai gelap. "Yaa! Tempat ini terlihat tak berpenghuni!" Seru Arvin yang duduk di kursi tengah, lelaki itu nampak mengedarkan pandangannya, memerhatikan keadaan sekitar, begitu pun dengan ke-enam rekannya yang lain. "AAAAAA!" Arvin mengeluarkan teriakan mautnya, kala ia menoleh ke arah jendela dan ada sosok lelaki tua yang berhadapan langsung dengannya dari luar. Teriakan Arvin selain merusak indra pendengaran juga berhasil membuat para rekannya itu menoleh ke arahnya serentak. "Ada apa?" Tanya Deon yang menempati kursi di sebelah Brian. "I-itu…" Ujar Arvin sedikit takut sembari menunjuk ke arah lelaki tua yang masih menatap ke arahnya. "Ah, itu Kakek yang punya tempat ini. Ayo cepat turun!" Seru Brian yang segera melepaskan sabuk pengamannya dan turun dari mobil, menghampiri si Kakek yang membuat Arvin terkejut sekaligus takut. Pun dengan tubuhnya yang gemetar, Arvin berusaha membuka pintu di sebelahnya. "Kak, kau tak apa?" Tanya Darel yang duduk di sebelah Arvin. "Eum, ya, aku tak apa, hanya sedikit terkejut." Jawab Arvin. Ya memang di antara para rekannya, Arvin memang sosok yang paling penakut. "Ingat, kalian tidak bisa terlalu lama menempati tempat ini!" Ujar si Kakek kepada Brian dengan sedikit berbisik, pun Brian menanggapinya dengan anggukan. Sementara rekannya yang lain sibuk mengambil beberapa barang bawaan mereka. "Ayo, kita masuk!" Seru Deon, memimpin barisan untuk memasuki penginapan yang akan mereka tempati malam ini. Ketujuh lelaki itu pun mengedarkan pandangannya kala mereka sudah berada di dalam penginapan, Deon yang berada di depan pun menghidupkan lampu-lampu yang ternyata tidak cukup terang, sehingga ketika lampu dihidupkan pun masih memberikan kesan yang agak mencekam. Arvin, si lelaki penakut itu hanya mampu berpegangan kuat pada lengan Aksa. "Karena di sini hanya ada 3 kamar, jadi kita akan membaginya," ujar Deon. "Aku akan sekamar dengan Brian, dan Arvin bisa tidur dengan Aksa, sisanya Mirza, Nevan dan," Deon menjeda sejenak ucapannya dan menatap ke arah rekannya yang paling muda, ia juga tengah menatap ke arah Deon dengan sorotan mata yang lugu dan berbinar seperti bayi. "Darel, kau bisa menempati kamar bersama Nevan dan Mirza." Pun Darel menyimpulkan senyuman, gigi kelincinya membuat Darel terlihat semakin manis. Dan tepat saat senyuman Darel terlukis, ada sedikit perasaan bersalah yang menyelinap dalam jiwa Deon. "Kita bisa beristirahat dulu sampai tengah malam tiba." Ujar Brian, rekannya yang lain pun mulai beranjak untuk menuju ke kamarnya masing-masing, terkecuali Darel, bocah berusia 18 tahun itu masih geming di tempatnya, menatap ke arah Brian. Dan ketika Brian baru saja hendak melangkahkan kakinya, "Kak," Darel berhasil meletakkan tangannya di bahu Brian. Pun ia melayangkan tatapan pada Brian yang juga menatap ke dalam matanya. Keduanya seakan berbicara melalui tatap. Pada detik berikutnya Brian mengangguk mantap dan menyingkirkan tangan Darel dari pundaknya, kini giliran dirinya yang menepuk pundak rekan termudanya itu sebanyak dua kali. "Beristirahatlah…" Kata Brian, seraya menapaki anak tangga untuk menuju ke kamarnya, meninggalkan Darel yang masih menatap ke arahnya dari belakang. Pun ketika Brian sudah menghilang di balik pintu yang akan menjadi kamarnya malam ini, barulah Darel menapaki anak tangga untuk menyusul Nevan dan Mirza yang sudah lebih dulu berada di kamar. "Brian," Panggil Deon, kala rekannya itu baru saja menginjakkan kaki di kamar. Pun merasa namanya disebut Brian hanya menanggapinya dengan menaikkan kedua alis matanya bersamaan. "Semuanya sudah dipersiapkan?" Tanya Deon, sembari mengeluarkan sesuatu dari tas besar yang dibawanya. "Hah? Eum, sudah." Jawab Brian. Entah kenapa lelaki itu nampak gugup, terlihat jelas dari sorotan matanya yang tak tentu arah, pun beberapa kali ia mengusap tengkuknya sendiri. Deon pun sebenarnya menyadari hal itu, tapi ia tak ambil pusing. Mungkin ia sedikit gelisah sebab memang yang akan mereka lakukan nanti merupakan hal yang begitu sakral. Sementara Brian, sembari membereskan barang bawaannya sesekali ia melirik ke arah Deon. Berkali-kali terdengar helaan napas berat darinya, pun ia mengusap wajahnya sendiri. "Aku bisa gila…" Lirih Brian, yang hanya dapat terdengar oleh dirinya sendiri. *** "Darel, apa kau hanya akan berdiam diri di situ?" Tanya Mirza yang baru saja selesai merapikan barang bawaannya, kepada Darel yang sejak tadi geming menatap ke arah jendela, deru ombak terdengar dari kamar mereka, pun pemandangan dari jendela menghadap langsung ke laut. Ya, mereka berada di pesisir pantai kali ini. "Apa kau mau menikmati angin di tepi pantai?" Nevan berdiri tepat di belakang Darel, merangkulnya tapi bocah itu tetap saja diam. Pun akhirnya Nevan melempar tatap pada Mirza, mengisyaratkan tanya "Kenap dia?" Yang segera ditanggapi dengan terangkatnya kedua bahu oleh Mirza. "Aku tidak menyangka, ternyata di balik ingar-bingar keindahan kota Omelas justru menyimpan sesuatu yang amat kelam." Ujar Mirza yang tengah berbaring di ranjang. "Ya… Begitulah, apa yang terlihat baik, tidak berarti baik seutuhnya." Sahut Nevan seraya menghampiri Mirza. "Lalu…" Keduanya tersentak kala Darel yang sedari tadi diam akhirnya buka suara. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?" Tanya Darel, menoleh ke arah dua rekannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. *** Arvin menghela napas, lelaki itu nampak gusar di kamarnya. Sementara Aksa yang tengah merebah itu memicingkan mata menatapnya sinis. "Apa kau masih ketakutan?" Aksa buka suara. "Tidak! Eum, maksudku, iya. Ah tidak, tidak!" Jawab Arvin tak karuan, pun Aksa bangkit dari rebahnya, memposisikan diri untuk duduk di atas ranjang. "Jadi iya atau tidak?" Tanya Aksa lagi. Arvin nampak menggigit ibu jarinya sendiri, "entahlah… Apa kita harus melakukan ini?" Aksa menghela napasnya, memalingkan pandangannya dari Arvin, "bukankah kau bilang sudah tahu akan hal ini sejak kita masih berada di sana?" Kini giliran Arvin yang menghela napas, "i-iya… tapi… apa tidak ada cara lain?" Aksa menundukkan kepala, menyembunyikan cairan bening yang sudah bergerumul di pelupuknya, pun ia menggelengkan kepalanya lemah. Arvin yang sebenarnya sudah tahu jawabnya pun hanya mampu ikut tertunduk. "Lalu…" Perlahan Arvin menghampiri Aksa yang masih menunduk, menempatkan diri di hadapan rekannya itu. "Tentang rencana perubahan, apa harus dia yang menjadi gantinya?" *** Brian dan Deon sudah berada di tepian pantai. Dengan berbalut jubah hitam panjang yang juga menutupi bagian kepala, keduanya tengah mengumpulkan kayu yang akan dibakar nantinya, sebuah batu besar dengan pedang di atasnya sudah berada tepat di sebelah kumpulan kayu yang siap dibakar itu. Deon menghela napas, "semoga berjalan lancar!" Serunya. Sementara Brian hanya melirik ke arahnya kemudian menunduk. Pun tak lama kelima rekannya yang lain menghampiri dengan berbalut jubah yang sama. Masing-masing dari mereka sudah membawa topeng berwarna putih dengan corak emas di tangannya. Setelah mereka semua berkumpul, Brian mulai menyalakan api, membakar setumpukan kayu yang ada di hadapannya. Begitu kayu mulai terbakar, ketujuh lelaki itu pun segera membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi kayu tersebut. Darel sempat menepuk pundak Brian hingga lelaki itu menoleh, saling beradu tatap yang mengisyaratkan sesuatu selama beberapa detik sebelum akhirnya mengenakan topeng putihnya masing-masing. Deon melangkahkan kaki. Menebarkan enam kelopak lily berwarna putih di tepian kayu bakar, menyisakan satu kelopak yang berada di tangannya. Pun dilempar begitu saja, membiarkan api yang membara melahap habis kelopak yang tersisa itu. Setelahnya, Deon kembali ke tempatnya. Mereka saling bergandengan tangan. Diiringi deburan ombak, suara pelafalan mantra mulai terdengar. Entah bahasa apa yang mereka gunakan, yang jelas semuanya itu sudah sesuai panduan dari buku yang diberikan Deon pada Brian sepulang mereka berlibur. Sapuan angin menambah suasana menjadi lebih mencekam. Bahkan angin berembus semakin kencang bersamaan dengan semakin kerasnya suara mereka melafalkan mantra. Anehnya, angin yang semakin kencang itu justru membuat api bakaran kayu semakin berkobar. Namun pada puncaknya, tepat saat angin benar-benar menyapu dengan amat kencang, serta deburan ombak pun terdengar menghantam tepian laut lebih keras dari sebelumnya, api pun padam, dan pelafalan mantra tak lagi terdengar. Mereka mulai melepaskan genggamannya masing-masing, Brian melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di hadapan Deon. Detik itu juga, api kembali menyala dengan sendirinya, para rekannya yang lain pun mulai mengikuti langkah Brian mengerubungi Deon terkecuali Darel. Lelaki itu geming di tempatnya, menyaksikan rekan tertuanya yang perlahan di arak menuju batu besar di sebelah api. "B-Brian, apa yang kau lakukan?!" Gertak Deon, jelas lelaki itu berontak. Ini tak seperti yang mereka rencanakan. Pun Deon melempar tatapannya pada Darel yang juga tengah menatap ke arahnya, keduanya beradu tatap dari balik topeng masing-masing. Deon dibaringkan di atas batu besar dengan posisi telungkup, kepalanya melewati batas yang ada di batu seakan siap dipenggal. Di kanan kirinya ada rekan Darel yang lain yang memegangi Deon. Pun pedang yang berada di atas batu itu telah diambil lebih dulu oleh Brian. "Brian! Hentikan!" Teriak Deon. Namun, Brian dan rekannya yang lain sama sekali tak mengindahkan teriakan Deon yang masih terus berontak. Brian mulai mengangkat pedangnya, mengarahkan mata pedang tepat di depan kepala Deon. "Demi kedamaian dan kebahagiaan…" Ucap Brian dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku menyerahkanmu kepada Black Walker, penguasa serta pelindung Omelas untuk membawa…" Kalimatnya sempat menggantung, lidahnya tercekat, bahkan di balik topengnya air mata sudah membanjiri wajah. "Jiwamu…." Tepat ketika Brian merampungkan kalimatnya, sosok dengan jubah hitam berkalungkan lambang bintang dengan ujung lancip di dalam lingkaran atau yang kerap dikenal dengan pentagram, tengah berjalan ke arahnya. Entah dari mana sosok itu muncul, wajahnya tak terlihat sebab jubah yang ia kenakan benar-benar menutupi bagian kepalanya. Sedang Darel, seketika memejamkan matanya kala sosok itu muncul. Ia benar-benar tak tahu mesti bagaimana lagi, rasa sakit itu terasa sangat menghujam, mengingat kalau… Seharusnya ia yang berada di sana, seharusnya Darel, yang ditumbalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD