The Next

1330 Words
"AARGHHH!" Lelaki itu menyapu bersih seluruh benda yang ada di atas meja, membuat semuanya berhamburan ke atas lantai termasuk vas bunga yang terbuat dari kaca. "Kak Aksa! Hentikan!" Ujar lelaki lainnya yang baru saja menginjakkan kaki di ruangan tersebut, mendekap erat tubuh lelaki yang bernama Aksa, berusaha menahannya agar tak lagi buat onar. Namun, Aksa tetap berontak, meskipun tubuhnya lebih kecil dari yang mendekap nyatanya tenaga Aksa lebih kuat hingga akhirnya ia berhasil meloloskan diri. "Semua ini salahku!" Teriak Aksa sembari membalikkan meja yang ada di sudut ruang. "Tidak! Kak! Ini semua bukan salahmu!" Lelaki itu terus berusaha mendekap Aksa agar lebih tenang. "Diam!" Aksa kembali berontak dan membalikkan tubuh menatap ke arah lelaki itu. Kemudian, BUGHH! Sebuah bogem mentah dari Aksa berhasil mendarat di wajah lelaki tersebut, membuatnya sedikit meringis sembari meraba sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Kalau memang bukan salahku, artinya semua ini adalah salahmu, Darel!" Ujar Aksa yang lantas mendorong tubuh Darel sampai lelaki itu sedikit terdorong terbentur pegangan tangga. BUGHH! Kini giliran Darel yang melayangkan kepalan-nya pada Aksa hingga lelaki itu terlempar ke belakang, pun ketika Aksa masih belum memberikan serangan balik, cepat-cepat Darel mendekap erat lelaki itu. Lagi-lagi Aksa kembali berontak dan berhasil meloloskan diri dari rengkuhan Darel. Sementara Darel tetap berusaha untuk menenangkan rekannya itu, sorotan mata Darel menatap ke dalam manik Aksa seakan menyiratkan "hentikan Kak, aku hanya ingin membuatmu tenang!" Sialnya Aksa masih belum bisa dihentikan. Lelaki itu kini meraih sebuah kursi, pun mengangkat dengan kedua tangannya, sementara Darel hanya mampu mengambil ancang-ancang dengan memposisikan lengan kanan di depan wajah untuk melindungi, khawatir kalau Aksa akan melayangkan kursi itu ke arahnya. PRANGGGGG! "Apa yang kalian lakukan?!" Tepat ketika kursi tersebut berhasil dilempar Aksa hingga memecahkan cermin yang tergantung di tembok, suara lelaki dari ambang pintu berhasil membuat Aksa juga Darel mematung. "Kalian sudah gila?!" Pekik lelaki itu, sembari kakinya melangkah memasuki ruangan yang sudah tak keruan bak kapal pecah. Pun ia hanya mampu menggelengkan kepala melihat kekacauan yang dibuat oleh dua rekannya itu. "Aksa, bisa kau jelaskan?" Ujarnya, nada bicaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. "Tanyakan saja pada adik bungsu mu!" Sahut Aksa, dengan wajah yang tertunduk. Pun Darel yang tiba-tiba saja dilempar tatapan menyelidik oleh lelaki itu hanya memberikan reaksi menggigit bibir bawahnya sendiri, serta menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lelaki itu menghela napas, "apa ini tentang Deon?" Suaranya kali ini terdengar dalam, membuat Aksa juga Darel seketika menoleh bersamaan ke arahnya. "Brian…" Lirih Aksa. "Seharusnya ini semua tidak terjadi." Jawabnya. Ya, Brian benar. Seharusnya ini tidak terjadi, seharusnya saat itu mereka tidak pergi berlibur, seharusnya mereka tidak datang ke kota itu, seharusnya mereka tidak menjadikan Deon… Sebagai tumbal. Terlalu banyak kata seharusnya atas kejadian yang sudah terlanjur terjadi, nasi sudah menjadi bubur, tinggal lah penyesalan yang bersarang dalam jiwa mereka. "Mestinya Deon masih ada di sini," ujar Aksa. "Aksa sudahlah…" Kata Brian. "Yang harusnya mati adalah dia!" Seru Aksa sembari mengarahkan jari telunjuknya tepat ke wajah Darel, sorot matanya memancarkan kilatan api kemarahan. Sementara Darel hanya menundukkan dalam-dalam wajahnya, menahan rasa sakit yang menghantam dadanya kala Aksa melayangkan telunjuk ke arahnya. "Kita sudah merencanakan kalau dia lah yang semestinya jadi tumbal!" Aksa menyalak. "Sialnya bocah itu sudah mengetahui lebih dulu…" Kata Aksa lagi, matanya memincing ke arah Darel. "Kau tidak bisa menyalahkannya begitu saja, Aksa!" Ujar Brian. "Kak Aksa benar…" Lirih Darel, dengan kepala yang masih tertunduk. "Mestinya Kak Deon masih ada di sini, mestinya kita semua masih ada di sini. Utuh, tanpa kurang suatu apapun!" Ucapnya dengan suara bergetar. Untuk beberapa detik hening mengisi kekosongan. Tak ada yang bersuara di antara ketiganya, mereka bergelut dengan pemikiran serta penyesalannya masing-masing. Setelah melihat situasi yang sudah agak tenang, Brian mulai merangkul Aksa. Kemudian ia melebarkan tangannya, memberi isyarat pada Darel agar mendekat ke arahnya. Ia menggiring kedua rekannya itu untuk duduk di lantai, dengan keadaan ruangan yang masih berantakan, ketiganya bersandar di tembok. Brian memandang langit-langit, pikirannya mengawang, pun ia menghela napas. Seperti yang sudah diketahui, betapa tadi Aksa menyalahkan Darel atas kematian Deon. Itu dikarenakan memang pada rencana awal, yang akan dijadikan tumbal adalah Darel. Namun semua itu berubah ketika…. *** Darel baru saja membuka matanya, mendapati dirinya berada di ruangan yang gelap. Hanya ada secercah cahaya dari hadapannya. Terlihat seperti… celah tirai? Pun Darel berusaha menelusuri ke balik tirai. Betapa terkejutnya ia ketika matanya bertemu tatap dengan dua manik yang tak asing lagi baginya. Itu Deon, lelaki itu seakan tak mengindahkan keberadaan Darel dan segera menutup tirai itu dengan sangat kencang, memenjarakan Darel dalam kegelapan. Setelah menutup tirai, Deon berjalan ke tengah ruangan. Ruangan itu berornamen klasik khas kerajaan, tapi kosong. Hanya ada setangkai lily putih di atas lantai. Detik berikutnya, ruangan itu diterpa angin kencang. Deon hanya merunduk dan berusaha melindungi setangkai lily itu. Sedang angin semakin menjadi, bahkan tirai-tirai pun terlepas dari tempatnya dan berterbangan menghancurkan ruang. Setelahnya angin itu berhenti, Deon mendapati lily itu sudah tidak ada, digantikan dengan seonggok pasir yang berada di tempat lily semula. Darel yang dipenjara dalam gelap masih berusaha mencari jalan keluar. Lelaki itu kembali memejamkan mata, pun ketika ia membukanya, pupilnya seketika membesar, Darel terperangah kebingungan. Di hadapannya terhampar lorong dengan lampu yang berkedip remang. Tempat itu lagi-lagi berornamen klasik tak terurus. Entah kenapa, Darel pun berlari menyusuri lorong itu, dan tiap kali ia melangkah, lantai yang sudah dipijaknya itu ambruk. Ia seakan lari berkejaran dengan lantai. Lorong itu sempit dan berliku, hingga ketika Darel hendak berbelok, tak jarang ia terpentur tembok. Lagi-lagi Darel dibuat tak mengerti. Dengan napas yang masih memburu, Darel terperangah kala ia tiba di penghujung jalannya. Ia mengedarkan pandangannya dan menoleh ke belakang, ini hanya terlihat seperti ruangan tak berpintu dengan nuansa gelap yang salah satu sisi temboknya mengeluarkan air bak air terjun. Bahkan lorong yang tadi dilewatinya pun tak lagi terlihat. Hanya ada seonggok pasir tepat di depan kaki Darel, lelaki itu sempat merunduk dan meraih pasir tersebut dengan kedua telapak tangannya. Sebelum akhirnya Darel kembali bangkit dan menatap air yang semakin deras keluar dari tembok di hadapannya. Ketika kaki Darel hendak melangkah mendekat ke arah tembok air terjun, perlahan, tembok yang mengeluarkan air itu malah bergerak membuka jalan membentuk sebuah lorong lagi, dengan langkah yang sedikit ragu juga takut, Darel kembali menyusuri lorong gelap itu tanpa pencahayaan sedikit pun. Sampai pada akhirnya Darel menemukan sebuah pintu, ia menatap ke arah lubang kunci, dan entah sejak kapan tangan kanannya sudah menggenggam sebuah kunci berwarna emas. Lantas Darel membuka pintu tersebut, dan Seseorang berjubah hitam panjang serta mengenakan topeng berwarna putih dengan berbalut emas pada bagian atasnya itu tengah berdiri menghadap ke arah datangnya Darel, seolah sosok tersebut telah menantikan kehadiran Darel. Kemudian Darel menghampirinya, menghentikan langkah sampai mereka berada di posisi yang berhadapan. "Black… Walker?" Ucap Darel perlahan. Pun ruangan kembali menjadi gelap. *** Sebuah pintu terbuka, menampilkan sesosok lelaki berbalut jubah hitam panjang baru saja memasuki ruangan bernuansa istana yang sudah tak terurus itu. Ranting pohon tua bertebaran di lantai, pun sosok berjubah hitam itu menatap lurus ke depan, di hadapannya sudah ada 6 sosok lainnya yang juga mengenakan jubah hitam persis seperti dirinya, bedanya mereka dilengkapi dengan topeng putih dilapisi emas pada bagian atasnya yang menutupi wajah mereka. Tepat ketika ia melangkahkan kaki ke arah mereka, ke-enam sosok tersebut pun membalikkan badan. Lelaki tersebut tetap melanjutkan langkahnya, memposisikan diri di tengah-tengah mereka. Ia melirik ke arah sosok yang berada di kanan dan kirinya sebelum akhirnya ia mengenakan topeng yang sama, entah sejak kapan topeng putih itu berada di tangan kanannya. "Kau… yang selanjutnya… Darel…" "Kau… yang selanjutnya… Darel…" Suara itu terus menggema. Lelaki yang baru saja mengenakan topeng itu ternyata Darel. Pun ia memandang ke sekelilingnya. Tak ada siapa pun selain ia dan enam sosok yang bersamanya di sana. Namun suara itu terus menggema dan terdengar semakin keras, anehnya seperti hanya Darel yang dapat mendengarnya, terbukti dengan sosok yang lainnya yang tetap berdiri tenang seakan tak mendengar apa pun. Sementara Darel, ia menutup telinganya dengan kedua tangan. Sebab suara itu benar-benar terdengar semakin memekikkan telinga, kepala Darel terasa berat. Segala sesuatu yang dilihatnya seolah memutar, Darel mulai oleng. BRAAKKK! NGIINNGGGGGGG Pada akhirnya Darel jatuh terkapar di atas lantai dengan telinga yang berdengung, membuatnya semakin menutup telinga dengan kencang. "Kau… yang selanjutnya… Darel…" Itulah kalimat terakhir yang didengar Darel sebelum akhirnya penglihatannya menjadi gelap, pendengarannya pun menjadi sunyi. Lelaki itu, tak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD