Julia terbangun saat mendengar suara seseorang yang mengobrol. Dia mengedipkan mata beberapa kali dan menatap langit-langit atap. Lampu kamar telah dinyalakan dan pemandangan di luar atap kaca tersebut sangat gelap. Ia perlahan bangkit dan menyadari hari sudah malam. Ia menatap sekeliling kamar. Lampu kamar tersebut berwarna kuning sehingga memberikan kesan nyaman dan hangat pada kamar tersebut. Ia bangkit berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Ia tidak tahu ini jam berapa karena ia meninggalkan ponselnya di mobil Lucinda saat rapat pertemuan di kastil Oleas siang tadi. Ia melihat ke tempat tidur dan mendapati Rafael sudah tidak ada disana. Tentu saja, mungkin ia hanya menemaninya sebentar hingga tertidur, batin Julia. Ia masih mendengar suara seseorang yang mengobrol, dan itu berasal dari lantai bawah. Julia melangkah mendekati susuran tangga dan melihat ke bawah.
Disana, ada Regina yang sedang berada di dapur bersama Rafael yang sedang duduk di bangku meja konter. Julia melihat Regina sedang memasukkan beberapa bahan makanan ke kulkas seraya berbicara dengan Rafael, namun Rafael terlihat tidak terlalu mendengarkannya dan dia menatap ke luar. Julia melihat pintu rumah terbuka lebar dan ia menyadari ada seseorang di luar sana. Seolah merasakan kehadirannya, Rafael berbalik dan mendongak menatap Julia.
“Kau sudah bangun?” tanyanya.
Regina menghentikan aktivitasnya dan ikut mendongak menatap Julia. “Oh, Julia! Kemarilah, sayang! Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu,” katanya.
Julia menautkan kedua alisnya dan berjalan menuruni tangga. Setelah sampai di lantai bawah, ia ingin bertanya siapakah yang ingin bertemu dengannya, namun seseorang yang tadi berada di luar berjalan masuk. Julia membelalakkan matanya.
“Lu!” ucapnya senang dan ia segera berlari memeluk Lucinda.
“Aku senang kau baik-baik saja,” kata Lucinda membalas pelukan Julia.
Julia melepas pelukannya dan melihat Matteo yang melangkah masuk.
“Aku menjemputnya tadi sore dan dia ingin mengantar barang-barangmu,” katanya.
Julia menautkan alisnya dan melihat ke bawah, menyadari ada koper besar di samping Matteo. Ia kembali menatap Lucinda.
“Kupikir kau tidak akan kemari.”
“Aku masih perlu mengantar barang-barangmu,” kata Lucinda. Ia lalu menyerahkan ponsel Julia. “Ini ponselmu. Aku sudah memberitahu rumah sakit tempatmu bekerja kalau kau sudah keluar.”
“Apa?” ucap Julia terkejut.
Lucinda akan mengatakan sesuatu, namun Matteo menepuk pundaknya dan memintanya agar dia yang berbicara. Matteo melangkah ke depan.
“Kami tidak bisa membiarkanmu berada di luar, apalagi tanpa seseorang yang menjaga,” kata Matteo.
“Kenapa?”
Julia sudah merasa takut. Ia berpikir bahwa ras Voref akan mengurungnya selamanya, dan memanfaatkannya pada akhirnya. Meskipun ia sudah delapan belas tahun hidup di dunia luar, ia belum terlalu mengenal dunia luar. Setiap kali ada seseorang yang ingin mengenalnya lebih dekat, ia selalu menjaga jarak dan pada akhirnya menjauh. Tragedi yang menimpa seluruh rasnya membuatnya terlalu takut untuk mengenal dunia luar dan orang-orangnya. Seolah merasakan ketakutannya, Rafael mendekatinya dan mengelus punggungnya.
“Aku pikir ada seseorang yang mengincarmu,” kata Matteo.
“Siapa?” suaranya begitu pelan, hampir seperti berbisik. Ia merasa sangat takut, tetapi keberadaan Rafael di sampingnya membuat ketakutannya semakin berkurang.
Matteo menggeleng. “Aku masih belum tahu. Itu sebabnya aku menyuruhmu untuk bertemu Lucinda di tempat yang aman. Sejak awal, rapat pertemuan hari ini terasa aneh.”
Julia ingat kalau Matteo mengatakan hal itu saat mereka berjalan keluar dari kastil Oleas. Ia tidak berpikir bahwa rapat pertemuan yang diadakan siang tadi ada hubungannya dengannya.
“Tenang saja, kau akan aman disini. Aku dan Rafael akan berusaha mencari orang ini,” kata Matteo.
Lucinda tersenyum dan meraih tangan Julia, mengelusnya lembut. “Tidak apa-apa, Julia. Tidak akan ada yang terjadi padamu. Kau berhak untuk hidup bebas dan menemukan kebahagiaanmu sendiri.”
Julia tersenyum dan kembali memeluk Lucinda. Ia sungguh beruntung bisa bertemu dengannya. Ia bagaikan sosok seorang ibu dan kakak baginya, yang melindungi serta menjadi tempat untuk bercerita banyak hal. Jika bukan karenanya, ia tidak akan mungkin bisa hidup sampai saat ini. Lucinda sudah berkorban begitu banyak untuknya. Ia tak tahu bagaimana harus membalas semua yang telah dilakukan Lucinda untuknya.
Lucinda melepaskan pelukannya dan tersenyum. Ia menghapus jejak air mata di pipi Julia dengan ibu jarinya.
“Aku harus pergi. Aku tidak bisa menetap disini terlalu lama, lagipula ini wilayah Werewolf Voref.”
Julia mengangguk. “Baiklah. Berhati-hatilah. Aku akan menemuimu lagi dalam waktu dekat.”
“Baiklah,” jawab Lucinda tersenyum seraya menyentuh wajah Julia. Ia lalu berbalik dan berjalan keluar, diikuti Matteo di belakangnya.
Rafael melangkah ke depan dan mengambil koper milik Julia. Ia menggeretnya masuk ke dalam.
“Makanlah. Kau belum makan malam,” katanya saat melewati Julia.
Julia menyalakan layar ponselnya dan terkejut saat melihat bahwa ini sudah pukul setengah sembilan malam. Ia tidak berpikir bahwa ia akan tertidur cukup lama.
“Julia…”
Panggilan Regina membuatnya menoleh dan mendapati bahwa wanita itu sudah menyiapkan makan malam untuknya di meja makan. Julia berjalan mendekat dan melihat makanan yang sudah disiapkan Regina. Itu adalah pasta jamur yang dibumbui daun bawang di atasnya.
“Kau mungkin mendengar banyak rumor tentang kami yang lebih suka memakan daging mentah hasil berburu, tapi percayalah, kami masih suka memakan makanan normal dan beberapa dari kami bahkan pandai memasak,” kata Regina.
Kedua pipi Julia memerah. Ia merasa malu telah berpikir bahwa Werewolf Voref lebih suka memakan daging mentah. Saat masih hidup di tempat asalnya, Julia dan orang-orangnya sering berburu dalam waktu yang lama karena sulitnya mencari makanan di tempat yang sangat dingin. Ketika telah mendapatkan hasil buruan, mereka akan memakannya bersama. Julia diajarkan oleh kawanannya bahwa hidup harus terus berbagi. Apa yang dia miliki adalah pinjaman dari para Dewa dan tidak akan bertahan selamanya, termasuk hidupnya.
“Apa kau pernah bertemu beruang kutub di tempat asalmu?” tanya Regina.
“Tidak hanya bertemu, kami hidup bersama mereka,” jawab Julia.
Julia ingat dulu ia sering bermain dengan bayi-bayi beruang kutub. Ia dan kawanannya tidak akan pernah memburu dan memakan bayi-bayi beruang kutub itu. Sang induk tahu itu dan sering membiarkan anak-anaknya bermain bersama kawanan Julia. Ia juga ingat dulu ia sering berenang di air yang dingin hanya untuk mengambil ikan-ikan disana dan memberikannya pada bayi-bayi beruang kutub itu. Untuk sesaat, dia merindukan mereka dan ingin kembali untuk melihat mereka. Bayi-bayi itu pasti sudah dewasa sekarang, batinnya.
Setelah makan malam, Julia memutuskan untuk mandi. Dulu, ia terbiasa berendam di air yang dingin bersama teman-temannya. Bukannya ia tak pernah merasa dingin, namun hidup di daerah terdingin membuatnya terbiasa dengan suhu yang sangat rendah. Di tempat asalnya, hanya musim dingin yang ia rasakan. Hanya pemandangan serba putih sepanjang yang ia lihat. Terkadang, ia selalu penasaran dengan kehidupan di luar sana. Di kawanannya, tidak ada yang disebut Alpha, karena mereka semua adalah keluarga dan memiliki derajat yang setara. Namun mereka memiliki seorang Tetua. Dia adalah yang paling tua di dalam kawanannya dan memiliki wawasan yang luas. Julia dan teman-temannya sering mendengarkan kisah yang diceritakan oleh Tetua mereka, yaitu tentang para Werewolf yang hidup di dunia luar. Ia ingat bagaimana Tetuanya menceritakan para Werewolf itu yang hidup di daerah yang sangat hijau dan hangat, dimana banyak binatang dan tanaman yang hidup di dalamnya. Ia juga ingat Tetuanya pernah menceritakan tentang Werewolf Voref, namun saat itu Tetuanya tidak menyebutkan namanya, hanya menceritakan bahwa ada Werewolf yang juga hidup dalam persembunyian seperti mereka, dan memiliki bulu sehitam malam dan mata kuning menyala. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan melihat semua yang pernah diceritakan Tetuanya padanya.
Setelah selesai mandi, Julia keluar dari kamar mandi dan melihat Rafael yang baru saja tiba di lantai atas. Ia tidak terlalu menghiraukannya tadi tapi semenjak Rafael datang ke rumah tersebut dan menemuinya, ia tidak mengenakan apapun selain celana jins. Rafael menghampirinya.
“Kau tidak ingin tidur?” tanyanya seraya menyentuh wajahnya.
Julia menggeleng. Ia sudah tidur cukup lama tadi sore dan baru terbangun satu jam yang lalu. Ia belum merasa lelah.
“Apa ibumu sudah pergi?”
Rafael mengangguk. “Kau ingin melakukan sesuatu?”
Julia menggigit bibir bawahnya, kemudian ia mendongak menatap atap kaca di atasnya. Pemandangan di luar sangat gelap, namun Julia tahu ia selalu ingin melihat hutan saat di malam hari.
“Bisa kau antar aku keluar? Aku selalu ingin melihat hutan di malam hari.”
Julia berpikir Rafael akan menolaknya, tapi ia tidak mengatakan apapun dan langsung menggandeng tangannya dan membawanya keluar rumah. Serigala punya penglihatan malam, dan kelebihan itu juga ada pada mereka bahkan saat dalam wujud manusia. Terima kasih untuk itu sehingga mereka tidak akan tersandung dan terjatuh. Rafael terus menggandengnya dan membawanya masuk ke dalam hutan yang ada di belakang rumahnya. Ia bisa mendengar suara sungai yang mengalir dan binatang-binatang yang bernyanyi di malam hari. Genggaman tangan Rafael begitu erat, dan sesekali ia menoleh menatap Julia untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja. Julia menyadari itu dan berpikir Rafael sangat protektif, dibalik sifatnya yang tidak banyak bicara dan tidak berekspresi.
Samar-samar, Julia bisa mendengar suara air terjun. Julia menatap Rafael dan melihat bahwa ia terus menatap ke depan. Ia berpikir Rafael juga mungkin menyadari bahwa ia sudah mengetahui suara air terjun tersebut. Mereka tetap memiliki pendengaran yang tajam seperti seekor serigala meskipun dalam wujud manusia, sama seperti penglihatan mereka. Ia mendengar suara air terjun tersebut semakin mendekat, dan ia tahu bahwa mereka hampir sampai. Ia tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya dan jantungnya berdebar kencang. Dan ketika ia melihat sebuah danau, napasnya seakan terhenti.
Ia bisa melihat sebuah air terjun kecil yang ada di atas bebatuan. Meskipun itu malam hari, Julia bisa melihat bahwa air danau tersebut begitu jernih. Ia berjalan mendekati danau tersebut dan berdiri di pinggirannya. Ia bisa merasakan air tersebut begitu dingin di kakinya. Namun bukan dingin seperti air es, tapi dingin yang begitu menyegarkan. Ini adalah pertama kalinya ia bisa merasakan air dari tempat hijau dan hangat yang diceritakan oleh Tetuanya, dan ia begitu bahagia. Melihat ekspresi bahagianya itu, Rafael tak pernah berhenti menatapnya. Ia bisa melihat mata biru cerah itu yang dipenuhi rasa penasaran dan kekaguman, serta senyuman lebar yang terukir di wajahnya. Melihatnya yang berdiri di tengah danau dan dibawah cahaya rembulan, Rafael berpikir bahwa Julia terlihat seperti seorang Peri, dan Rafael tak bisa mengalihkan tatapannya sedetikpun. Seolah merasakan tatapannya, Julia menoleh dan tersenyum padanya. Ia berjalan mendekati Rafael.
“Boleh aku berenang di danau?”
Rafael menautkan kedua alisnya. Ia tahu Julia begitu penasaran dan ingin merasakan banyak hal yang ada di hutan tersebut, tapi ini malam hari dan Julia bahkan baru saja mandi. Seolah mengetahui apa yang dipikirkannya, Julia menyentuh wajahnya, membuat Rafael sedikit terkejut.
“Kumohon…,” pintanya.
Rafael tahu ia tak akan bisa menolak apapun permintaan Julia kedepannya. Tapi ia juga perlu tahu apakah permintaannya tersebut terlalu berisiko atau dapat membahayakannya. Jika itu aman, maka ia tidak akan mempermasalahkannya. Rafael mengangguk, membuat Julia tersenyum lebar. Ia berbalik dan kembali berdiri di tengah danau. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia tahu ia cukup malu sekarang untuk telanjang di depan orang lain, tapi itu Rafael, mate-nya, dan mereka akan telanjang di depan satu sama lain kedepannya. Tanpa berpikir panjang, Julia segera melepas seluruh pakaiannya, dan meletakkannya di atas batu terdekat. Ketika ia berbalik, ia terkejut bahwa Rafael sudah berdiri di depannya, dan telanjang.
Rafael menyentuh wajahnya, menatap kedua mata biru cerahnya yang bercahaya di bawah sinar rembulan. Sama halnya dengan Julia, ia terpesona menatap mata kuning Rafael yang menakjubkan. Rafael mendekatkan wajahnya dan mencium Julia, menautkan bibir mereka yang terasa hangat ketika bersentuhan. Julia melingkarkan lengannya di leher Rafael, dan Rafael menyentuh belakang kepala Julia, menyelipkan jemarinya diantara rambut hitamnya yang panjang. Mereka melepaskan ciuman mereka untuk mengambil napas, dan menatap satu sama lain. Julia lalu mendongak, menatap bintang-bintang yang bergemerlapan di langit gelap di atas mereka.
“Di tempat asalku, kami sering melihat aurora di bawah langit berbintang,” kata Julia. Ia lalu menunduk dan tersenyum pada Rafael. “Itu sangat indah.”
“Matamu lebih indah,” ucap Rafael.
Ucapan Rafael membuatnya terkejut. Ia tersenyum dan menatap kedua mata Rafael dalam-dalam. Disana, ia melihat matanya yang dipenuhi cinta, hasrat, dan kekaguman akan dirinya. Julia bertanya-tanya, jika hari ini dia tidak datang ke kastil Oleas untuk pertemuan tersebut, apa yang akan terjadi padanya dan Rafael? Siapa yang akan dinikahinya kelak dan siapa yang akan bersanding di samping Rafael? Hanya memikirkan itu langsung membuat hatinya memanas dan dia sedikit kesal. Seolah tahu apa yang dipikirkannya, Rafael langsung melahap bibirnya, membuatnya terbawa oleh ciuman panas dan penuh cinta yang diberikan padanya. Tangan Rafael yang berada di punggungnya bergerak naik turun, membuatnya mengerang. Rafael langsung memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya, membuatnya terkejut. Lidah mereka saling beradu bersamaan dengan napas mereka yang saling memburu. Julia tidak tahu sejak kapan mereka sudah tidak berdiri di tengah danau, yang ia tahu detik berikutnya adalah bahwa punggungnya sudah menyentuh tanah dan Rafael sudah berada di atasnya, menatapnya dengan kedua mata kuningnya.
Rafael mencium lehernya, lalu bergerak turun mencium tulang selangkanya, dadanya, lalu perutnya. Ia melakukannya dengan pelan dan sangat lembut, membuat Julia mendesah dalam kenikmatan. Julia meremas rambut Rafael dengan kedua tangannya, menahan siksaan kenikmatan dari mulut Rafael yang bermain dengan puncak payudaranya. Ia tahu ia tidak bisa menahannya lagi dan ia merasa berada di puncak. Detik berikutnya yang ia rasakan adalah sesuatu yang keras menerobos masuk ke dalam dirinya, membuatnya terkesiap dan mengerang kesakitan. Rafael memeluknya, dan mencium lengkungan lehernya untuk mengurangi rasa sakitnya. Ketika Rafael merasakan kuku-kuku yang menancap di punggungnya itu semakin melonggar, ia mulai bergerak keluar-masuk dengan pelan dan sangat lembut, dan erangan kesakitan dari mulut Julia itu kini tergantikan oleh suara desahan kenikmatan yang terdengar seperti nyanyian merdu di telinga Rafael.