66

1105 Words
Bianca memegang bekas tamparannya yang terasa panas sekaligus perih. Hatinya juga ikut mendesir kuat. Ini baru pertama kali, dia ditampar oleh orang yang di bawah usianya. Dia perlahan menengok ke arah Marsel dengan mata berkaca-kaca. “Saya tidak berkata apapun pada Ayahmu. Dia sendiri yang membagikan harta warisnya seperti itu,” “Bohong! Jangan pura-pura polos. Apa Lo enggak merasa bersalah? Lo udah rebut suami Ibu gue dan sekarang Lo rebut lagi hal yang seharusnya jadi milik Ibu gue.” Lagi, Marsel melayangkan tamparan ke pipi tirus Bianca. “gue benci lo!” kepalan kuat tangan Marsel menimpa tepat di pipi kiri Bianca. “Pergi!” “Gue enggak akan pergi sebelum Lo ngerasain apa yang Ibu gue rasain!” Marsel mencengkram kerah Bianca, lantas meninju pipi wanita di hadapannya ini dengan keras. Tidak cukup, Marsel mendorong tubuh Bianca hingga terbentur keras ke tembok. Marsel lanjut menampar kembali dengan brutal. “Bahkan semua tamparan yang Lo dapat, enggak akan bisa menebus kesalahan Lo di masa lalu!” “Ibu gue harus berjuang sendiri, sedangkan Lo terus membelenggu Ayah biar enggak ketemu istri sahnya!” “Lo tau? Ibu gue hamil besar waktu itu. Dia sering ngidam dan mengeluh sakit pinggang. Yang ibu gue butuhin, Cuma kehadiran Ayah gue, tapi gara-gara Lo, Ayah gue enggak mau pulang ke rumah!” “Gue benci Lo!” “Gue benci Putri Lo!” “Gue benci kalian semua!” Nafas Marsel memburu. Kepalan tangannya bahkan sudah berdarah. Dia memandangi Bianca yang sekarang bahkan sudah terkulai lemas. Marsel tersenyum miring melihat luka lebam di beberapa titik wajah Bianca. Tidak cukup, dia juga menendang perut wanita itu sampai merosot jatuh ke bawah. Bianca terbatuk-batuk. Dia tidak sadar, keluar darah dari mulutnya. Marsel mengusap kasar keringat yang keluar dari pelipisnya. Dia beranjak dari sana dengan langkah lunglai. Tatapannya kosong, namun hatinya sudah merasa puas karena telah melampiaskan semuanya. *** Mereka berdua diam, menikmati pemandangan indah di hadapannya. Kini, keduanya berada di sebuah rumah pohon yang bagian depannya sudah terhubung dengan hutan lebat. Semilir angin membuat siapapun terhanyut dalam suasana nyaman ini. “Perasaan gue enggak enak,” kata Alista mendadak, dia meletakkan Boba yang baru ia minum setengah. Arsen menengok, “Itu Cuma perasaan,” jari jemarinya tiba-tiba memegang telapak tangan Alista. “nggak perlu dipikirin,” “Tapi kalau beneran terjadi sesuatu gimana?” Alista balas menatap Arsen dengan raut panik. “Sesuatu apa? Enggak ada hal yang perlu Lo khawatirkan. Semuanya aman, Ta.” Genggaman tangan Arsen semakin mengerat. “Kapan kita pulang?” “Nanti. Baru aja kita sampai di sini masa mau pulang?” “OEMJI! ARSEN! ALISTA! KALIAN BERDUA DI SINI?!” Mereka berdua terperanjat mendengar suara cempreng barusan. Alista segera melepaskan tangannya dari genggaman Arsen dan membuang pandang ke arah lain. Diam-diam, matanya mencari benda yang bisa menyembunyikan wajahnya, tetapi tidak ketemu juga. “Ini serius kalian berdua, kan? Ya ampun, kenapa kalian ada di sini? Sejak apa? Kok Cuma berdua doang? Yang lain mana?” Rifka mendekat, lantas memandang wajah Alista dan Arsen secara bergantian. Benar. Dirinya tidak salah orang ternyata. Rifka meraih kamera yang digantung di lehernya. Dia hendak memotret wajah mereka berdua, namun pandangannya teralih pada Arsen yang mencekal lengannya. “Sen, bolehlah gue foto kalian berdua. Lumayan, kan, dapat foto gratis.” Respons Rifka cengengesan. “Sama siapa aja Lo ke sini?” “Keluarga gue, kok, kenapa? Tenang aja gue enggak akan bilang lihat kalian di sini, tapi gue mau fotoin kalian berdua. Sebentar doang. Satu foto aja deh,” mohon Rifka. “Al, bujuk pacar Lo dong.” Pintanya, menatap Alista. Yang ditatap hanya memalingkan muka dan berlagak tidak melihat. “Mending Lo pergi aja,” sergah Arsen. Rifka memicing tidak terima. “Enggak. Alista pasti mau tetap gue di sini. Ya, kan, Al?” tanya Rifka. Alista lagi-lagi tidak menjawab. “sombong Lo ah. Gue sebar berita kalau kalian liburan berdua sekarang, nih.” "Eh, jangan." sergah Alista. Rifka tersenyum penuh kemenangan. "iya, gue ke sini sama dia. Emang kenapa? Kita berdua emang udah sahabatan dari lama. Iya, enggak, Sen?" Alista menengok ke arah Cowok tersebut sambil menyikutnya pelan. "Iya," "Tuh, dengar, kan?" "Jadi enggak ada apa-apa di antara kalian, nih?" "Enggak." "Beneran?'" "Iya, Rifka. Enggak percayaan banget, sih, lo." gemas Alista. "Oh, oke deh. Gue pergi dulu--eh, ini kursi rodanya siapa?" Alista merotasikan bola mata. Rifka terlalu kepo. Dia jadi malas untuk menanggapinya. "Itu punya gue," "Ya ampun, Al? Kaki Lo kenapa?" tanpa izin, Rifka menyingkap rok panjang yang dikenakan Alista hingga tampaklah kedua kakinya yang diperban. "Oemji! wajib di update ke lambe turah SMA kita nih! siapa tahu ada orang yang ikhlas menyumbang dana," "Dia enggak perlu sumbangan. Udah gue bayarin semuanya," jawab Arsen yang justru dihadiahi oleh tatapan galak dari Alista. "Cie... kalian berdua pasti ada sesuatu! Iya, kan? Iya enggak? Iyalah masa enggak," "ENGGAK ADA SESUATU, RIFKA!" Gadis itu tersentak mendengar jawaban kompak dari kedua lawan bicara di hadapannya ini. Terlebih lagi saat melihat raut kesal Keduanya membuat dia langsung terkekeh sambil mengusap leher. "Ya, santai aja kali. Gue pergi sekarang, deh. Arsen, jaga teman gue baik-baik, ya." Rifka menepuk-nepuk pundak lebar Arsen. "dadah! Langgeng buat kalian berdua!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Alista tertawa kecil sembari geleng-geleng melihat sikap Sahabatnya itu. "Teman Lo aneh-aneh, ya," "Teman Kakak juga," sahut Alista tidak mau kalah. "Yang mana?' "Altair. Ingat waktu pertama kali aku ke markas? Altair menghadang gue sama Karisa dan bilang gue harus jadi pacarnya buat syarat biar gue bisa ketemu sama Kakak," jelas Alista. Arsen sedikit terperanjat dari duduknya. "Jangan mau. Sialan itu anak. Gue bakal bilangin biar dia enggak dekat-dekat Lo lagi," Lagi-lagi Alista tertawa. Arsen memandangnya dengan sirat bingung. "Kenapa? Lo kesurupan?" "Kakak tau enggak? Reaksi Lo kayak gini mirip laki-laki yang cemburu sama pacarnya," "Oh, iya? Jadi gimana? Gue udah pantas belum?" Tawa Alista terhenti. "Pantas buat apa?" tanyanya serius. "Pantas jadi pacar..." Arsen mengantungkan ucapannya. Tatapan Alista tidak lepas dari wajah Cowok di sebelahnya ini. "Seseorang." **** Hari sudah senja. Entah sudah berapa lama Arsen mendorong kursi roda demi menuruti permintaan Alista untuk berkeliling di tempat ini. Tapi dirinya sama sekali tidak keberatan. Alista tersenyum saja sudah membuat rasa lelahnya hilang. "Gue penasaran, deh, Kak," Alista berusaha menengok, namun apalah daya. Kakinya membuat dia kesusahan. "Penasaran apa?" "Hari ini lo baik banget bawa gue ke sini. Apa ada udang dibalik batu?" Arsen melepaskan genggamannya pada ujung kursi roda, setelahnya dia beralih berdiri di depan Alista. Arsen mencondongkan badan hingga wajahnya berada dekat di hadapan Adiknya. "Enggak ada maksud apapun karena gue..." ia menggantungkan kalimat bersamaan dengan kedua jarinya yang menarik sudut bibir Alista. "...pengin lihat lo senyum hari ini," BRUKK!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD