07. Pengganggu

2366 Words
Seperti biasa. Aku berangkat setiap pagi untuk bersekolah. Setiap hari aku diantar Pak Fadlan. Sedangkan Kak Arsen? Dia berangkat sendiri menggunakan motor. Tadi Ibu Bianca sudah menyuruhnya untuk pergi bersamaku, tetapi Kakak malah ingin berangkat sendiri. Aku keluar dari mobil itu setelah sampai di sekolah. Di kelas baruku, aku bisa melihat Rafael sedang berdiri di ambang pintu sana. Ia tersenyum padaku, tapi entahlah. Wajahnya tidak terlalu jelas akibat hujan yang deras dan juga kenapa dia tersenyum? Aneh. “Al," Aku menengok, perlahan aku tersenyum mendapati Karisa berlari ke arahku. Dia juga membawa payung kuning yang tidak tahu sudah berumur berapa. “Ada berita tentang Kakak lo!” “Kenapa? Berantem lagi?” tebakku, menyimpulkan kejadian yang terjadi beberapa hari lalu. Karisa menggelengkan jari telunjuknya. Berarti tebakanku salah. “Dia masuk geng motor masa!” Aku membulatkan mata. Apa yang dibilang Karisa?! Gabung di geng motor?! “Serius? Jangan bilang ini Cuma prank. Awas, lho.” ancamku. Bukan tanpa alasan, biasanya Karisa sering mengerjai aku ketika aku sedang serius-seriusnya. “Ini bukan prank! Ini sungguhan. Real. Dua rius dah.” jawaban Karisa membuatku semakin tak percaya. “Coba tunjukin ke gue di mana markas geng itu.” “Ayo ikut gue!” Karisa menggandeng tanganku. Aku berjalan menyamakan kecepatan langkah temanku itu. “Kok ke halaman belakang sekolah?” tanyaku heran. “Sebentar lagi sampai.” Selang beberapa menit, Karisa berhenti di depan sebuah tempat. Sebuah rumah yang ukurannya lebih kecil dari rumah Ibu Bianca. Cat di dinding itu bawahnya kebanyakan sudah mengelupas. Sofa yang terletak di hadapannya juga ada bagian yang terkoyak seperti sudah dimakan oleh tikus. Tidak perlu ditanya lagi, rumah itu pasti sudah lama. Eh, tapi kok aku baru tahu sekarang tentang rumah itu. “Di sini? Yakin, Kar?” aku memastikan. Karisa mengangguk cepat menanggapi pertanyaanku. “Iya udah masuk ayo,” lanjutku mengajak. Aku merasakan lenganku dipegang erat oleh Karisa. Dia kelihatan ketakutan. “Bareng. Jangan tinggalin gue nanti. Itu rumah isinya Cowok semua, gue takut, Al." Eh? kemana Karisa yang pemberani dulu? Temanku itu berubah menjadi pengecut yang ditagih hutang. Aku merotasikan bola mata. “Perasaan lo bisa bela diri deh, Kar. Kenapa harus takut coba? Hajar aja Mereka kalau berani macam-macam.” “Mereka Cowok, Al. Tenaga Mereka lebih kuat dari gue. Kalau lo mau masuk, masuk sendiri aja sana.” Karisa malah berniat meninggalkanku. Kejamnya. “Ya ampun, Kar. Lo sahabat gue apa nggak sih.” Aku berusaha bersabar. Karisa menampakkan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi. Dia terkekeh. “Bercanda.” “Eh, ada Cewek cantik. Ada gerangan apa sampai kalian datang ke markas kita?” Aku mendengar suara asing. Kompak aku dan Karisa menengok. Cowok itu tersenyum ke arah kami berdua. Aku akui, dia tampan. Tapi aku perhatikan penampilannya agak berantakan. Seragam yang dikeluarkan, beberapa kancing terbuka hingga menampakkan kaus hitam, dan apa itu? Mataku menyipit, aku baru menyadari kalau Cowok itu juga tidak memakai kaus kaki. “Kenapa, Neng Cantik? Jangan merhatiin gitu ih. Akang jadi malu.” Laki-laki itu menyentuh pundakku. Spontan aku berdesis jijik sembari melangkah mundur. Fix, dia cowok jadi-jadian. Karisa dan aku saling berpandangan sekilas. Detik berikutnya, setelah mendengar perkataan Cowok itu rasanya aku ingin muntah. Dia tiba-tiba menjulurkan tangan. Aku tidak berniat menjabatnya. Karisa pun sepertinya sama. Justru dia terus menarik-narik ujung lengan seragamku. “Gue mau ketemu Arsenio Kavindra. Ada enggak?” tanyaku to the point. Basa-basi itu membosankan. Aku lihat dia menurunkan lengannya. “Ah, teman baru itu. Lo Cewek ke sepuluh yang nanyain soal Arsen ke gue. Dan... kesabaran gue udah habis kayak uang bulanan emak gue.” “Terus?” sungguh. Aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Laki-laki itu banyak basa-basi. Membuang waktu saja. “Jadi kalau lo mau ketemu dia yang kece itu, lo harus penuhin tiga syarat.” “Apa aja?” “Satu, kalian harus kasih nomor telefon kalian. Kedua, Kalian harus jawab sejujur-jujurnya pertanyaan; kalian jomblo atau udah punya pacar. Ketiga, salah satu dari kalian harus jadi pacar gue.” Tanpa rasa ragu, aku menggeplak kepala Cowok yang belum ku ketahui siapa namanya. Lancang sekali. Baru kenal sudah meminta pacaran. Aneh! Dia terlihat sangat terkejut dengan tindakanku. "Al, harusnya lo nggak pukul dia.” bisik Karisa tepat di telingaku. “Dia pantas dapat itu. Lo takut sama modelan Cowok kayak dia? cih, bukan sahabat gue Lo, Kar!" “Lo berani nampar gue?” Cowok itu berjalan mendekat. Aku lihat Karisa mundur. Aku tetap di posisi ini. Ku tatap matanya dengan tatapan sengit. Dia juga balik menatapku garang. Aku tidak akan kalah! “Kenapa?! Orang lo yang salah, ya, lo harus dapat hukumannya dong. Oh, iya, satu hal lagi nih. Catat. Gue sama dia bukan Cewek yang lihat Cowok tampan langsung suka apalagi klepek-klepek.” ucapku lantang. Semoga saja tidak ada murid lain yang dengar karena jika iya, aku akan jadi pusat perhatian. Dan aku tak menyukai hal itu. “Cewek unik.” “Sekarang tunjukin ke gue. Di mana Arsen? Cepat. Gue mau ketemu dia. Enggak Terima basa-basi. Ngomong langsung pada intinya.” Kataku, tidak menghiraukan perkataannya barusan. “Ada di dalam. Masuk aja sana. Ada yang lain juga kok." “Thanks. Yuk, Kak." Aku dan Karisa berbalik badan. Ternyata pintunya terbuka lebar. Aku mengetuk pintu, seluruh Cowok yang ada di dalam sana menatap kami berdua. Tepatnya empat Laki-laki. Mataku hanya tertuju pada satu orang. Siapa lagi kalau bukan makhluk bernama Arsen. “Kalian siapa? Para kaum Cewek enggak boleh ke sini.” Terdengar nada bicara tidak bersahabat di antara Mereka. “Dia bukan Cewek biasa, Bos! Dia bidadari yang turun dari kayangan. Dia juga bukan Cewek gampangan yang pernah gue temuin sebelumnya.” Suara Cowok aneh itu terdengar lagi. Aku jengah mendengarnya. “Bukan waktunya cari mangsa, Al.” sahut seorang Cowok di sudut sana. “Ayolah, Hans. Stok gebetan gue udah habis nih. Semuanya malah berpaling ke si Arsen.” Wait! Kenapa nama Kakakku disebut?! “Lo udah sering gaet Cewek. Sekali-kali gue kek.” Aku memerhatikan Cowok yang baru saja berbicara. Wajahnya berbeda sekali. Teman-temannya begitu bening, sedangkan dia paling... ah, sudahlah. Setiap Laki-laki tampan dengan ciri khas yang Mereka miliki. “Emang mereka mau sama lo, Gan? Hahaha!” “Gini-gini gue laku!” “Laku? Serius? Jangan bilang lo bilang laku karena ditaksir sama Bu Denis.” Aku menyenggol lengan Karisa, “Bu Denis siapa?” bisikku. “Bu Dennis itu penjaga kantin di warung paling pojok. Biasanya kantin itu emang sering dikunjungi sama mereka Cowok-cowok bandel yang suka bolos.” jawab Karisa. Aku mengangguk paham. “Hey, kalian lagi bisik-bisik soal apa? Apa kalian mempertimbangkan keputusan kalian buat jadi pacar gue?” Aku melirik ke cowok aneh. Aku lihat alisnya naik turun. Tapi sama sekali aku tidak tertarik untuk meresponsnya. Sadar akan tujuanku ke sini, aku berdeham beberapa kali. Semua orang barulah diam. “Arsen, ikut gue.” “Weh, gila pesona cantiknya terpancar.” Melihat Arsen sudah berdiri dari duduknya, aku berbalik badan dan keluar dari rumah itu. Suara langkahnya mengikutiku dari belakang. Aku berhenti setelah jaraknya jauh dengan markas tersebut. “Jangan ikut geng-geng'an enggak jelas kayak gitu bisa enggak sih?! Gue yakin Ibu enggak akan beri izin, Kak.” “Geng-geng'an? kata siapa?" Loh, apa tadi kata Arsen? Aku memalingkan muka, beralih menatap Karisa untuk meminta penjelasan. "Ya..., gue dengar begitu..., habisnya mereka selalu bareng jadi gue ngiranya, kan, mereka geng." jawab Karisa terlihat ragu. Aku mencuri pandang ke arah Kakak yang tengah menatapku dengan datar. "Anu..." aku bingung harus mengatakan apa. "Makanya--" "Kakak balik lagi enggak pa-pa kok," sergahku memotong ucapannya. Bukan perkataan yang aku dapatkan, melainkan sebuah sentilan di kening. "Makanya otak itu dipakai buat berpikir dulu sebelum bergerak. Udah gue li--" "Kalian pergi enggak?! Aku udah bilang ke kalian, jangan ganggu aku lagi!" "Reaksi dia terlalu berlebihan. Iya enggak? Santai, Sa. Kita-kita di sini cuma mau main sama Lo. Kita enggak akan nyakitin lo kalau Lo nurut sama kita. Betul, kan, Guys?" "Aku enggak mau! Tinggalin aku sekarang!" "Unch... unch... unch..." "Santai dong. Mau kita kasarin?" Aku kompak merapatkan bibir, bersama dengan Kakak dan Karisa. Kami bertiga saling berpandangan. Kakak mengisyaratkan aku untuk diam. Kak Arsen melangkah lebih dulu disusul dengan aku dan Karisa hingga kami berhenti di sebuah halaman belakang sekolah sisi kiri yang terdapat semak belukar. Di sana aku melihat seorang perempuan tengah berdiri dikelilingi lima Laki-laki. Sepertinya para cowok itu bukan dari sekolah ini. Wajah mereka asing. "Tinggal bilang iya apa susahnya?!" cowok dengan seragam yang kancingnya dibuka semua hingga menampakkan kaus hitam polos itu menampar Gadis yang belum aku ketahui namanya. Tamparan dia sepertinya keras. Aku bisa mendengar suaranya dari sini. Aku menatap iba perempuan itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Baru saja akan pergi, Kakak menahan tanganku. "Biar gue aja," "Enggak. Gue aja," kataku mantap. Aku keluar dari tempat persembunyian dan tidak sengaja menginjak ranting pohon. Mereka semua menatapku. Aku tidak gentar. "Kalian Cowok banci. Kenapa beraninya ngeroyok satu perempuan?!" "Siapa Lo? Jangan cari gara-gara!" "Apa Lo mau main sama kita? Biarin aja, Bro. Suruh dia ke sini. Lumayan," "Iya, gue mau main sama kalian nih." aku maju mendekati mereka sambil mengikat rambutku yang tadi tergurai. Sekilas aku melihat perempuan itu menggeleng. Tekadku tetap bulat. Sampainya di dekat mereka, aku menendang tulang kering salah satu Cowok dari mereka berlima. Sisanya tampak menatap garang ke arahku. Setelah satu dari mereka terkapar, aku lanjut memukul yang lain. Aku pelintir tangan mereka, berkali-kali tendangan dan tinju yang aku hantamkan ke rahang mereka, ternyata melelahkan juga. Keringatku sampai mengalir turun menuruni pipi. Aku segera menyekanya dengan kasar disertai nafasku yang memburu. "Cabut. Dan Lo, hidup Lo enggak akan aman mulai sekarang!" teriak seorang laki-laki yang sepertinya merupakan pemimpin dari mereka berempat. Mereka ngibrit lari ketakutan bagaikan pengecut. Aku berdecih. Sungguh menguras tenaga sekali menghajar para pengecut itu. Aku menolehkan kepala ke samping, tepat ke perempuan yang aku tolong. "Liat gimana gue ngelawan mereka, kan? Pakai cara itu buat menghadapi mereka di lain waktu. Sekarang Lo enggak boleh takut lagi," "Sasya! Lo enggak pa-pa? Sumpah, gue sama Rifka khawatir. Enggak terjadi apa-apa, kan? Semua baik-baik aja? mereka enggak berbuat sesuatu yang jahat, kan?" Wanita berkepang satu itu memerhatikan perempuan yang aku tolong. Namun, detik berikutnya dia menoleh ke arahku. "Makasih!" dia mendekapku erat sekilas. Aku terkejut, namun sudut bibirku perlahan terangkat. "Sama-sama," Dia melepaskan pelukan, lalu tangannya menjulur di hadapanku. "Kenalin gue Kiara, nama Lo siapa?" "Alista," bersamaan dengan jawaban itu, aku menjabat telapak tangannya. "Tadi Lo diapain aja sama mereka? Kenapa mereka bisa punya dendam sama Lo?" "Kenalin, dia Rifka. Rifka, bisa berhenti wawancaranya?" tegur Kiara. Wanita dengan rambut pendek itu menengok ke arahku dan menjabat tanganku juga. "Kalau Lo butuh teman curhat, gue bersedia." Rifka mengedipkan satu matanya. Sepertinya dia orang yang asyik. "Eh, jangan. Mulut dia ember bocor. Gue jamin rahasia Lo akan terbongkar. Tau akun gosip SMA ini? Dia yang pegang akun itu, Al." jelas Kiara. Aku paham sekarang. "Jangan buka kartu, Nyet." "Awas Lo, ya." Kiara tiba-tiba menggandeng tanganku. "kita ke kelas bareng. Sasya, ayo. Mulai sekarang Lo enggak boleh pergi sendiri lagi. Harus sama gue, oke?" Sasya terlihat mengangguk. Dia juga berjalan menghampiriku. "Makasih. Karena kamu aku selamat dari mereka," "Iya," Kami bertiga akhirnya pergi dari halaman belakang yang mencekam itu. Aku baru teringat. Di mana Karisa dan Kak Arsen? Mereka tidak terlihat di tempat persembunyian tadi. Aku beralih pandangan ke Markas itu, tidak ada juga. Ah, biarlah mungkin mereka... Ketemu! Arsen dan Karisa terlihat keluar dari ruang laboratorium IPA. Aku tidak tahu mereka habis berbicara tentang hal apa sebab... wajah mereka terlihat tidak senang. Baru beberapa hari ini, aku sudah mendapatkan teman. Kami berempat masuk ke dalam kelas ketika bel berbunyi. Aku melewati jam pelajaran dengan lancar. Sebenarnya mudah bagiku untuk menyesuaikan diri di tempat baru, namun memulai sebuah pertemanan itu menurutku hal yang sulit sekaligus canggung. Tak terasa langit sudah berwarna oren. Jalanan masih becek lantaran tadi pagi hujan. Aku menunggu pak Fadlan datang menjemput. Kak Arsen tiba-tiba melintas. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Sombong sekali. Ah, menyedihkan. Dalam waktu sebentar, suasana sekolah sudah sepi. Aku sendirian. Aku merogoh tas untuk mengambil HP guna mengabari Pak Fadlan. Tapi kok tidak nyala juga? Aku lupa. HP nya lowbat. Semalam aku ketiduran jadi tidak sempat mencharge ponsel. Aku berjongkok, menunggu Pak Fadlan datang. 15 menit berlalu. Aku masih kukuh di tempat. 30 menit berlalu. Mungkin sebentar lagi Pak Fadlan datang. 50 menit berlalu. Kesabaranku sudah habis. Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku pulang dengan jalan kaki saja. Sepi. Tidak ada siapapun. Hingga akhirnya suara deru motor yang berisik terdengar dari arah belakang. Aku menepi untuk menghindar, tapi Mereka malah menghadangku. Para pengendara motor itu melepaskan helm mereka masing-masing. Dari seragam yang Mereka kenakan, aku bisa menduga kalau Mereka merupakan murid dari sekolah lain. Tapi mengapa Mereka menghadangku coba? "Dia Cewek yang tadi, Bos!" teriak salah satu dari Mereka. Seringaiannya membuatku bergidik ngeri. "Mereka udah menjatuhkan harga diri kita. Sekarang giliran kita yang jatuhin harga diri dia! Buat dia malu sampai enggak punya keberanian lagi buat keluar rumah!" Keempat Cowok itu mendekatiku. Aku tetap diam di tempat dengan tatapan was-was dan keringat yang mulai muncul. Mataku menyorot tajam ke arah Mereka. Sepertinya Mereka tidak tahu kalau aku bisa saja menghancurkan 'barang' berharga Mereka. "Kalian mau apa? Kalian kira gue takut gitu?" tanyaku dengan kepercayaan diri yang tinggi. "Wah, dia nantang kita, Bos." "Nantang sama aja meremehkan. Sial. Gue akan buat lo enggak punya harga diri lagi setelah ini." "Pengecut. Beraninya lawan Cewek. Pakai helm lagi. Cowok kayak kalian harusnya pakai rok aja." lanjutku. Kilatan marah dari manik Mereka begitu pekat. Suasana di sekitarku mendadak panas padahal hari sebentar lagi akan malam. Tiba-tiba tanganku dipegang oleh Mereka. Aku memberontak. Salah satu dariku mendekat. Aku mengerahkan seluruh tenaga. Aku tendang dia hingga dia kesakitan memilih untuk menjauh. Kini aku fokus pada dua cowok yang memegang tanganku. Mulai dari tulang kering hingga barang kecil Mereka. Aku membuat semuanya terkapar tidak berdaya! Kurasakan pundakku dipegang dari arah belakang. Aku refleks menoleh dan memelintir tangan orang itu. Aku juga menendang perutnya sampai Cowok itu terjatuh lemah tak berdaya sama seperti yang lain. "Sial! Gue kira dia Cewek lemah!" "Wajah enggak mencerminkan sifat aslinya, Bos. Kita pulang aja. Si joni gue nyeri." "Pulang?! Lo mau nyerah? Gue jamin besok Lo dikeluarkan dari sekolah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD