28. Pulang

1049 Words
Pandangan Arsen tidak lepas dari Gadis yang tengah terbaring lemah di depannya. ia tidak bisa pergi sekarang. Bahkan Sesil tak meninggalkan tas sama sekali. Dia jadi kesulitan untuk mengetahui siapa keluarga Gadis ini. Arsen menunduk, kepalanya menyandar di samping brankar. Sayup-sayup kedua matanya terpejam. Hari sudah malam. Ditambah lagi tadi siang dia tidak bisa tidur. Jadilah ia mengantuk walaupun sekarang masih jam 20:30 Belum sepenuhnya ke alam mimpi, Arsen bisa merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia mengerjap. Matanya terbuka lebar, mendadak jadi segar seketika. "Makasih..." parau Sesil, suaranya nyaris hilang lantaran semua tenaga yang ia miliki sebelumnya lenyap entah ke mana. "Jangan terlalu banyak ngomong. sudut bibir Lo masih terluka." Sesil membalas senyum. Kedua matanya menyipit dengan tatapan sendu. Arsen tidak tahu apa yang telah Mereka lalukan, tapi yang terpenting Sesil harus sembuh terlebih dahulu. Perlahan manik cokelat Sesil berkaca-kaca. Dalam sekejap saja, bulir air mata jatuh, menuruni pipi. "Gue enggak tau apa yang terjadi sama lo, tapi gue harap Lo yang kuat, ya." kata Arsen sekedar menyemangati. Tidak menjawab, Sesil justru berusaha untuk duduk. Arsen yang pengertian pun langsung memegang punggung Sesil dan membantu Cewek itu duduk. "Siapapun nama kamu, aku ucapin makasih. Kalau enggak ada kamu, mungkin aku..." "Lo enggak usah maksain diri buat bicara. Sudut bibirnya masih terluka." Sesil menggerakkan pelan kepalanya ke kanan kiri. "Bibir aku enggak terlalu sakit. Dan juga aku bisa nahan rasa sakit ini," Arsen tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak mungkin memegang atau memeluk Sesil dan berkata semua akan baik-baik saja. Tidak. Posisinya sekarang masih orang baru di dalam hidup Gadis itu. Dia tak mau dicap sebagai pria lancang. "Lo hafal nomor orang tua, kan?" tanya Arsen dengan tatapan serius. Ia mengambil kertas beserta pulpen yang sudah disediakan di sana. Sesil langsung meraih kedua benda itu. Ia menulis nomor telepon Ayahnya. Sementara nomor telepon Sang Ibu, ia tidak ingat. Arsen mengamati nomor telepon itu. Dan menuliskannya di ponsel. Baru akan memencet ikon hijau untuk melakukan sambungan, sebuah panggilan masuk dari nomor Altair. Dahi Arsen mengernyit. "Sebentar. Gue mau angkat telepon ini dulu." tutur Arsen pada Sesil. Ia berdiri, melangkah agak jauh dan menerima telepon itu. "WEH! GAWAT, BRO! GUE LIAT SI ALISTA DI TOILET SAMA SI MARSEL DAN BARU PULANG SEKARANG!" Arsen mengusap telinga. Refleks, dia menjauhkan ponselnya akibat suara Altair yang membuatnya pengang, tapi di sisi lain, dia benar-benar tidak percaya dengan perkataan Altair. "Jangan bercanda. Buruan bilang di mana dia sebenarnya." "Gue enggak bercanda, Bro! Dia emang ada di sana! Gue punya bukti kalau Lo enggak percaya." "Man--" Sambungan tiba-tiba diputus sepihak oleh Altair. Arsen mendecak, kesal karena Altair main mematikannya begitu saja tanpa kejelasan. Tak lama, notifikasi berbunyi. Menampakkan Altair yang mengirimkan foto. Arsen membukanya. Di sana terlihat Alista sedang dibonceng oleh Marsel. Posisi Mereka ada di depan gerbang sekolah. Arsen terpaku. Adiknya dengan Marsel bersama? Ini tidak beres. Pasti Marsel telah berbuat sesuatu yang buruk. Sial. Ia menyesal tidak memaksa Alista pulang bersamanya tadi sore. Dari arah belakang, seorang pria datang dan mencengkram pundak kiri Arsen. Dia membalikkan tubuh Arsen secara paksa. Tanpa berkata apapun, kepalan kuat tangannya meninju keras rahang Arsen hingga tertoleh ke samping. "KAMU SUDAH APAKAN KEPONAKAN SAYA, HAH?!" bentak Pria berkepala botak itu, mengisi setiap sudut ruangan. Orang-orang yang ada di sana pun kompak menoleh. Arsen memegang rahangnya yang telah terasa nyeri. Dia menatap Laki-laki tersebut dengan tatapan heran. Salah dirinya apa? Kenapa Pria itu main memukulnya di depan banyak orang seperti ini. Tidak cukup, Pria botak mencengkram kerah Arsen. Raut wajahnya yang begis itu sukses membuat orang-orang di sekitarnya bergidik ngeri. Sebagian perawat yang ada di sana memilih mundur untuk menghindari sasaran. "KAMU APAKAN DIA?! CEPAT JAWAB!" "Tunggu. Saya tidak mengerti. Keponakan Anda siapa?" "Jangan pura-pura tidak tahu. Sesil adalah KEPONAKAN saya!" Arsen tergemap. Melihat ekspresi Bocah di depannya terlihat tidak merasa bersalah sama sekali, kemarahan Pria itu semakin naik ke ubun-ubun. "Kamu pasti bagian dari anak yang membully dia di sekolah! Saya sudah bilang beberapa kali, jangan mengganggu dia! Kenapa kau dan teman-temanmu tetap keras kepala?! Kalau terdapat luka parah pada tubuh keponakan saya, saya tidak akan membiarkan kalian tidur dengan tenang di rumah. Kalian harus di penjara!" "HEY! jangan membuat keributan di sini! Keluar sekarang!" tegur Satpam dari ambang pintu sana. Pria botak itu mencengkram baju Arsen dari belakang. Tidak membuang waktu lama, dia langsung menggeret Arsen keluar rumah sakit. Sesil yang menyaksikan sedari tadi, merasa bingung sendiri. Ia sudah berusaha menjelaskannya pada Pamannya itu, tetapi adik ibunya itu malah menyimpulkan sendiri. Sementara Arsen mulai dilepaskan ketika sampai di halaman depan rumah sakit. Di sini tidak banyak orang. Hanya ada gerombolan laki-laki di ujung jalan sana tepatnya di warung yang biasa digunakan untuk nongkrong saat malam hari. "Anda salah paham. Saya orang yang menyelamatkan dia." "Jangan berbohong pada saya!" Pria botak itu akan melayangkan pukulannya kembali. Beruntung Arsen segera menghindar. "SIAL! KEMARI--" "PAMAN BERHENTI!" bentak Sesil dari belakang pintu sana. Ia kemari dengan bantuan seorang suster. Dengan infus yang masih melekat di tangannya, Sesil mendatangi Mereka. "Paman salah paham. Dia baik. Dia yang nolongin aku. Dia bukan salah satu orang yang membully aku! Paman kenapa enggak dengar penjelasan aku dulu?" suara Sesil melirih di akhir kalimat. Kepalanya mendadak pening bersamaan dengan tubuhnya yang melemas **** Arsen menatap lama pintu rumah. Ia ragu, harus memencet bel atau tidak. Lagian tak mungkin juga, kan, dia terus di sini. Yang ada seluruh tubuhnya memerah karena digigit nyamuk. Gadis itu memejamkan mata, sebelum akhirnya berani memencet tombol bel. "Dari mana aja?" Alista perlahan membuka mata. Tadi suara Arsen. Tapi dia yakin. Itu bukan berasal dari arah depan, melainkan dari belakang. Dan benar saja. Arsen di belakangnya dengan tatapan datar. Tapi yang jadi perhatiannya, luka berdarah di sudut bibir Arsen. "Kakak habis berantem?" Alista mencoba menyentuh luka tersebut, tetapi malah ditepis. "Masuk." "Kak, itu--aww! Aduh, jangan jewer dong!" Sampai di dalam rumah, Arsen melepaskan tarikannya pada daun telinga Alista. "Gue udah cariin lo ke mana-mana bahkan gue sampai ke rumah Farhan. Habis ngapain aja sama Marsel di kamar mandi, hm? Kenapa lo enggak mengabari gue sama sekali?" "A--aku enggak habis ngapa-ngapain di kamar mandi kok. Aku sama dia terkunci enggak sengaja di kamar mandi. Kami juga jaga jarak waktu di dalam sana," jelas Alista. Pandangan Arsen tidak lepas sampai ia bisa menyimpulkan kalau Alista benar-benar berkata jujur. Kentara dari raut wajahnya. "Gue harap lo enggak bohong."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD