61

1075 Words
"Sel! Udah woy. Kelakuan Lo kayak begini enggak ada gunanya." Brian mencoba menyingkirkan botol yang kesekian kali akan diminum oleh Marsel. "Balikin, Bri! Mending Lo ikut minum sama gue," jawab Marsel dengan kedua mata sayu. Dia merebut alih botol yang dipegang Brian, lantas menuangkannya ke gelas kecil di dekatnya. Marsel menyodorkan gelas itu di hadapan Brian, namun beberapa detik kemudian tangannya ditangkis. "Gue tau Lo sedih dan terpukul. Enggak gini caranya buat lampiaskan rasa itu. Lebih baik Lo olahraga atau ngelakuin hal yang bermanfaat," saran Brian. Marsel tiba-tiba tertawa. Brian harap sahabatnya itu tidak gila gara-gara kepergian Ayahnya. "Siapa bilang gue sedih? Gue ngerayain kematian dia! Udah sejak lama gue berharap dia mati. Andai aja gue waktu itu bisa bunuh dia secepatnya biar Ibu enggak menderita gara-gara kelakuannya orang itu. Lagian buat apa gue sedih karena kematian orang enggak berguna itu? Buang-buang air mata gue aja!" Brian tercengang dengan penjelasan Marsel. Jika Cowok itu tidak bersedih, kenapa tadi ada air mata yang menetes? Walau Brian sudah mengenal Marsel selama lima tahun ini, dia belum bisa memahami sifat Marsel. "Gak paham gue sama Lo," Brian tidak sengaja hendak mengambil botol minuman. Langsung saja dia menabok tangannya itu mengingat nanti akan menyetir. "Marsel, ternyata kamu di sini. Aku cari kamu ke mana-mana. Janji kamu sekarang kita--loh, Brian? Ngapain Lo di sini juga?" tanya Fani setelah mendapati sosok lain di dekat Marsel. "Lah, justru gue yang tanya. Lo buat apa ke sini?" tanya Brian balik. "Gue disuruh dia buat ke sini," Fani mengalihkan pandangan kembali pada Marsel yang masih saja menengguk minuman. "Beb, udah dong. Aku datang ke sini. Bukannya disambut, kamu malah sibuk minum!" Dia merebut botol itu dari genggaman Marsel. "Tunggu. Beb? Kalian bertiga pacaran?" "Emang kenapa?" "Wah, Sel. Serius? Lo udah punya si Alista juga." kata Brian terkejut. Ia menatap wajah Marsel untuk meminta penjelasan, tapi sepertinya Temannya itu sudah mabuk. "Alista? Siapa?" tanya Fani terheran-heran. "Dia pacarnya Marsel," "Hah?! Jangan ngada-ngada Lo, Bri. Bilang aja Lo iri," "Sumpah, Ni. Gue enggak iri, lagian buat apa gue iri?" Brian geleng-geleng kepala tidak setuju. Enak saja. Mentang-mentang tampangnya begini, dia jadi diremehkan. "Biarin aja. Mau dia pacar Marsel atau bukan, Marsel bakal tetap bersama gue." "Apa?" suara familiar itu berhasil memindahkan perhatian Mereka. Brian langsung terperanjat dan berniat untuk pergi, takut rambutnya menjadi pelampiasan kemarahan Mereka. "Buat apa ke sini? Soal Marsel biar gue yang urus." kata Fani tidak bersahabat. Alista justru menarik lengan Fani, membuat perempuan itu spontan menjauh dari Marsel yang kini sudah tidak sadarkan diri sambil bergumam tak jelas. "Apaan, sih, Lo. Emang segitu penting Lo di hidup dia?" "Kayaknya Lo enggak tau gue siapanya dia," kata Alista, setelahnya ia tersenyum penuh arti. Fani menghempaskan tangan Alista yang masih mencengkram lengannya. "Lo pacarnya, kan? Kalau emang iya, dia enggak mungkin berani dekati gue. Tapi apa yang sekarang Lo lihat? Dia main sama gue di belakang Lo," "Sorry aja. Gue nggak percaya perkataan orang asing kayak Lo," Alista kini mengulurkan lengan Marsel, kemudian menempatkannya di pundak. Dia berusaha menegakkan badan Kekasihnya itu meski terasa lumayan berat. "Awas aja lo, ya!" **** "Apa? Dia meninggal?" "Iya. Gue aja baru tau dari berita tadi. Lo enggak buka HP, Sen?" "Gue enggak sempat," Arsen terduduk usai mendapat kabar dari Karisa yang datang beberapa menit lalu. Ini terjadi begitu cepat, membuat dirinya tercengang. Karisa menyambar duduk di samping Arsen. Dia kemudian memegang pundak lebar Laki-laki tersebut. "Sabar, Sen. Gue juga enggak nyangka, tapi mau gimana lagi. Udah jadi takdir." Karisa diam, menjeda perkataan yang akan ia katakan selanjutnya. "...lo sama Alista masih marah sama Tante Bianca? Gue yakin, Tante Bianca butuh kehadiran kalian berdua." Arsen menengok, matanya melirik Karisa. "Bukan urusan Lo," sinisnya membuat Karisa tertunduk dalam. "Gue cuma kasih saran. Enggak berniat buat ikut campur," Bukan menjawab, Arsen memegang telapak tangan Kalista, lalu menyerahkan kunci yang ia ambil di balik saku. "Gue titip rumah ini." Karisa mendongak, lantas tatapannya beralih pada kunci yang sekarang ada di genggamannya. "Tapi Lo mau ke mana?" Arsen tak menyahut sama sekali. Kaki jangkungnya itu berdiri, kemudian beranjak keluar. Kalista yang melihat itu sudah paham sendiri. Apalagi tujuan Arsen kalau bukan ke rumah Bianca. Setelah Arsen benar-benar sudah pergi, Karisa bangkit. Pandangannya mengeliling di setiap sudut rumah ini. Dia akui, meski rumah ini sewaaan, namun tidak beda dengan rumah mewah di luaran sana. Karisa mendorong handle pintu kamar milik Alista. Dia penasaran saja dengan isi ruangan sahabatnya itu. Tangannya terulur meraih sebuah foto Alista dan Arsen tengah berpose di depan Sekolah Dasar. Senyum mereka mirip dan berhasil menular ke Karisa. Namun senyum itu perlahan pudar melihat sesuatu di samping kaki ranjang. Karisa meletakkan foto tersebut, lantas membungkuk dan mengambil benda itu yang ternyata sebuah kaus kaki. Tunggu. Kaus kaki siapa? Ia tahu betul Alista tidak mungkin memakai kaus kaki berwarna abu-abu seperti ini dan juga terdapat huruf 'M' di sana. "Ah, positif thinking aja mungkin punya Arsen." kata Karisa, menjawab rasa penasarannya sendiri. "tapi kok kenapa bisa ada di situ?" Karisa menggeleng pelan. Ia meraih ponsel, jari-jarinya bergerak mengetik pesan pada Alista. [Kaus kaki siapa ini? Gue ragu kalau ini milik Arsen, Al. Ada huruf 'M' nya.] Gadis itu juga mengirimkan foto kaus kaki tersebut. Karisa kembali duduk, menunggu balasan pesan Karisa yang akan datang. *** Kedua mata elang menatap tajam sebuah rumah yang tengah dikerumuni oleh banyak orang. Tidak ada niat untuknya pergi ke dalam rumah itu. Dia di sini hanya akan memastikan Adiknya ada di sana atau tidak, sebab dia sudah menelepon Alista, tetapi tidak diangkat juga. [Lo ada di rumah Marsel? Keluar sekarang juga.] Pesan singkat itu dia kirimkan pada Alista, berharap Gadis keras kepala itu segera membacanya. Dua detik berikutnya, pesan tersebut bercentang biru. Iris mata cokelatnya kembali memperhatikan ke arah rumah itu. Dan benar saja. Seperti yang dia duga, Adiknya itu tengah keluar dari rumah itu dan menghampirinya. Arsen membuka kaca jendela, hingga Alista berhenti dengan tatapan terkejut. "Kakak mau melayat? Kok enggak bilang-bilang? Ayo masuk ke dalam mumpung--" "Masuk." singkat Arsen dengan tatapan dingin. Alista yang mendengarnya semakin tersentak. "Hah? Lo nggak mau masuk ke rumah Marsel dulu? Ada yang lain juga kok. Kak Damian sama Altair ada di sana," "Kita ke rumah Ibu sekarang. Kalau Lo enggak mau, gue tinggal dan pergi sendiri," Alista tergemap. Dia baru sadar kalau seharian ini dirinya tidak melihat Ibu Bianca terlebih lagi, sekarang adalah hari pernikahan Bianca dan Lorenzo. Dia tidak bisa membayangkan sehancur apa hati Ibunya sekarang. "Lo enggak mau ikut? Ya udah, gue sendiri yang--" "Gue ikut."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD